Sunday, March 04, 2012

Tradisi Bual dalam Belantara Budaya Melayu di Riau

--UU Hamidy


Keraguan Nilai

Mendengar kata “bual” mungkin ada orang membayangkan sesuatu perbuatan yang kurang baik. Dari kata “bual” dia membayangkan pembual, yang sering disamakan dengan perbuatan yang suka berbohong.

Hal itu tidak dinafikan. Jangankan kata “bual”, kata-kata lain yang membayangkan perbuatan baik pun dapat disalahgunakan.

Apapun juga yang menjadi kekayaan budaya manusia, semuanya dapat disalahgunakan.

Bahkan agama Islam yang lurus, tetap dapat diperalat oleh penguasa thagut dan orang munafik.

Karena itu benarlah ajaran Islam yang menilai setiap perbuatan berdasarkan pada niatnya. Niat itulah yang akan menentukan tujuan, sehingga juga memberi petunjuk pada kualitas amalnya.

Dalam belantara budaya Melayu terutama di Riau, bual atau berbual-bual sebenarnya semacam kontak sosial atau suatu cara (teknik) komunikasi. Pertemuan atau kontak sosial akan menjadi lebih akrab dengan berbual-bual.

Sementara dengan berbual orang dapat menyampaikan berbagai ide, pikiran, keinginan, bahkan penilaiannya tentang segala sesuatu yang berlaku dalam minda masyarakatnya.

Dengan demikian, sebenarnya pergaulan hampir tak mungkin berlangsung tanpa ada komunikasi dalam bentuk berbual. Dalam peristiwa itu mungkin tampil seorang pembual, yang bualnya hampir tak bernilai.

Jadi, pembual adalah sifat orang. Karena itu tidak dapat dipakai untuk menilai pergaulan yang berlangsung dengan berbual.

Arah Bicara

Dalam belantara budaya Melayu di Riau, mereka telah berbual di mana saja. Beberapa tempat yang banyak dipakai ialah: pondok di ladang, panggung tempat menunggu kebun, barung-barung tempat istirahat kerja di hutan, di dapur sambil betanak menggulai dan di kedai sambil minum kopi.

Berbual di pondok, panggung dan barung-barung biasanya untuk pengisi waktu istirahat atau bonti ponek (berhenti melepas penat) dari bekerja. Mereka berbual mungkin sambil makan atau mempersiapkan perkakas untuk melanjutkan pekerjaan.

Karena singkatnya waktu, maka bahan berbual biasanya terbatas pada hal-hal ringan. Jarang sampai pada perkara penting, karena nanti dapat mendesak waktu untuk bekerja.

Berbual di dapur sambil betanak menggulai merupakan peristiwa yang khas untuk kalangan perempuan Melayu. Bahan berbual di dapur sulit ditentukan arahnya. Ada hanya bual-bual sambil bergurau agar rasa penat tak terasa.

Ada bual yang bisa terarah apabila menyangkut cara dan bahan masakan, sehingga dapat menambah pengetahuan tentang seluk-beluk memasak yang lebih hemat, enak dan lebih aman.

Ini terjadi bila ada di antara yang hadir di dapur, punya pengalaman dan ilmu tentang dunia masakan yang memadai.

Tapi karena sifat manusia yang sering lalai mengingat Allah Swt, juga telah menampilkan bual yang dapat menjurus pada pergunjingan. Meskipun arah ini belum tentu selalu dominan, tapi tentu dapat merusak citra dan kualitas bual.

Bual Kreatif

Sejak bila kedai dikenal dalam dunia budaya Melayu di Riau, belum dapat diketahui dengan jelas. Tapi yang dapat diketahui, kedai mencapai kejayaannya bersamaan dengan kemakmuran petani getah atau petani karet di Riau.

Mahalnya harga getah di Riau semula dalam zaman Belanda tahun 1930-an, kemudian pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap (tokoh Masyumi) tahun 1950-an, telah membuat kedai menjadi pusat jual-beli, yang memainkan peranan penting di perkampungan orang Melayu di Riau.

Ada hubungan berantai antara harga getah dengan kedai. Getah yang mahal memberi peluang pada induk semang atau tauke getah di kampung-kampung untuk membuat kedai.

Di kedai inilah petani getah menjual getahnya kepada induk semangnya. Karena anak semang (petani karet) memerlukan bahan kebutuhan sehari-hari, maka induk semang telah mengisi kedainya dengan bermacam barang.

Dengan demikian, tauke getah mendapat dua keuntungan, yaitu keuntungan dagang getah dan keuntungan barang-barang dari kedainya. Sedangkan anak semang hanya mendapat kemudahan menjual getah dan membeli barang kebutuhan hidupnya.

Sungguhpun begitu, ternyata kedai tidak hanya memainkan peranan sebatas kepentingan dagang. Kedai kemudian memainkan peranan budaya yang cukup memadai dalam masyarakat Melayu di perkampungan sepanjang aliran sungai terus ke muara sampai ke gugusan pulau di lautan.

Kenyataan ini berlaku, karena kedai tidak lagi sebatas tempat transaksi dagang, tetapi telah melebar pada pergaulan dan kontak-kontak sosial yang berbagai ragam. Kepentingan itu memang telah dipenuhi oleh kedai.

Sebab kedai mengambil tempat di tepi lebuh (jalan sepanjang kampung) pada perkampungan yang relatif ramai atau banyak disinggahi orang lalu-lalang.

Kedai di samping menyediakan berbagai barang, juga menyediakan hidangan kopi dan teh serta makanan ringan misalnya pisang goreng. Kedai yang demikian menjadi tempat yang suka disinggahi, karena orang sambil istirahat dapat pula menikmati makanan ringan dan minuman.

Keadaan ini memberi peluang pada warga kampung untuk bertemu, bergaul dan berbual-bual. Karena itu kedai juga telah menjadi pusat informasi.

Sebab, segala berita dan kejadian yang berlaku di kampung, bahkan juga berita di tempat lain, dengan mudah dapat diketahui melalui kedai. Karena di kedai selalu saja ada pengunjung yang dapat menyampaikan berita baru.

Kedai telah menjadi medan pertemuan tidak resmi bagi para warga di kampung-kampung orang Melayu. Di situ mereka berbual bermacam perkara, mulai dari hal-hal biasa sampai pada masalah yang lebih penting.

Mereka berbual tentang kehidupan, terutama mengenai mata pencaharian yang berhubungan dengan dunia perekonomian mereka. Tapi keadaan masyarakat juga dapat jadi bahan bual mereka.

Karena itu, ketika ada seseorang yang berkualitas ikut dalam berbual, maka mereka bisa mendapat ide, gagasan dan pikiran yang mencerahkan.

Sementara itu bisa timbul suatu suasana yang khas di kedai. Pada suatu waktu dan suasana yang baik, dapat muncul pembual kreatif. Dia barangkali mula-mula berbual tentang perkara kehidupan sehari-hari yang biasa saja.

Tetapi karena dia kaya pembayangan batin, maka bualnya dapat meningkat pada imajinatif, sehingga muncullah bentuk bual berupa kelakar yang kreatif-imajinatif. Kelakar kreatif-imajinatif ini menimbulkan suasana geli sehingga peserta jadi tertawa.

Kelakar dalam bentuk bual kreatif ini, sepintas lalu memang tak ada dasar logikanya. Apalagi bual kreatif ini muncul secara spontan bahkan sebagian dapat berasal dari reaksi atau pertanyaan hadirin di kedai itu.

Sungguhpun begitu, kalau dapat disimak dengan pikiran yang jernih, rupanya ada tersisip nilai-nilai yang berharga tentang perikehidupan. Ini terjadi, karena pembual kreatif ini sebenarnya mengambil bahan bualnya tetap berpijak pada peristiwa kehidupan.

Karena itu, bual kreatif ini disamping dapat menyegarkan pikiran dan semangat, sebenarnya juga telah menjadi semacam cara menyampaikan pesan-pesan yang benar. Inilah yang terjadi dengan bual kreatif cerita Yong Dolah di Bengkalis.

Yong Dolah adalah tokoh bual kreatif yang belum ada lagi tandingannya sampai hari ini.

UU Hamidy
, budayawan penerima Anugerah Sagang 2007. Mengajar di Universitas Islam Riau (UIR), menulis telaah dan kritik sastra serta puluhan buku tentang sastra dan budaya Melayu.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 4 Maret 2012

No comments: