-- Defri Werdiono
PADA usianya yang ke-63 tahun, Arsyad Indradi terus berkarya. Lebih dari 1.000 judul puisi telah ia hasilkan. Sejumlah rekan menjulukinya sebagai penyair ”gila”. Baru-baru ini komunitas bloger di Tanah Air juga telah menobatkan dirinya sebagai bloger tertua di Indonesia.
Arsyad Indradi (KOMPAS/DEFRI WERDIONO)
Abah Arsyad, begitulah ia biasa dipanggil. Di kalangan sastrawan Kalimantan Selatan, sosok pensiunan pegawai negeri yang beken dengan rambut panjang ini sudah tidak asing lagi. Ia sudah malang melintang di dunia sastra sejak puluhan tahun silam.
Ditemui di rumahnya di Jalan Pramuka, Banjarbaru, Kalimantan Selatan, Minggu (12/2), Abah Arsyad menunjukkan delapan buku hasil karyanya. Buku-buku yang ditulisnya itu, antara lain, berjudul Nyanyian 1.000 Burung, Romansa Setangkai Bunga, Anggur Duka, dan Risalah Penyair Gila.
Selain itu, ada juga buku yang berjudul Kalalatu, Narasi Musafir Gila, dan tidak ketinggalan Buku Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan. Buku-bukunya tersebut dicetak sejak awal tahun 2007. Abah Arsyad ternyata tidak mencetak buku-buku itu melalui penerbit atau percetakan buku yang umumnya mematok harga mahal. Dia mencetak sendiri dengan cara manual.
Bisa dibayangkan bagaimana ribet-nya. Ia harus menulis ulang di komputer, membuat tata wajah (lay out), dan mencetak isi buku itu, halaman demi halaman. Setelah itu baru dirapikan dan dijilid dengan tangan. Padahal, tidak semua buku tergolong tipis. Buku Antologi Puisi Penyair Nusantara, misalnya, memiliki tebal 728 halaman.
Menurut Abah Arsyad, semua yang dilakukan itu semata-mata lantaran dirinya ingin menerbitkan buku sastra. Sementara menerbitkan lewat jalur yang lazim melalui percetakan modern biayanya cukup tinggi. ”Mencari sponsor untuk menerbitkan buku sastra juga cukup sulit,” ujarnya.
Yang menjadi catatan, sebelum menerbitkan sendiri buku-bukunya itu, Abah Arsyad ternyata tidak menguasai komputer. Jangankan mengetik, mematikan dan menghidupkan peranti modern tersebut dirinya mengaku tidak bisa. ”Memang di rumah saya ada komputer milik anak, tapi saya sebelumnya tidak bisa menggunakannya,” ujarnya.
Gayung bersambut
Buku pertama yang diterbitkan adalah Antologi Puisi Penyair Nusantara 142 Penyair Menuju Bulan. Seperti bunyi judulnya, buku itu berisi puisi karya 142 dari 186 penyair di Indonesia. Mereka antara lain Ahmadun Yosi Hertanda, D Zawawi Imron, dan I Made Suantha.
Sebelum membuat buku itu, Abah Arsyad terlebih dahulu mengumpulkan berbagai bahan. Bukan hal mudah, perlu upaya. Abah Arsyad memulai proses pengumpulan naskah dengan cara menghubungi teman secara beranting. Ia juga dibantu seorang kawan yang bekerja di salah satu media massa. Di media tersebut, ia mengumumkan bahwa Kelompok Studi Sastra Banjarbaru (komunitas sastrawan yang ia dirikan) hendak membukukan karya-karya puisi dari para penyair menjadi sebuah antologi.
Rupanya gayung bersambut. Selama dua bulan, lebih dari 100 penyair mengirimkan karya mereka. Bahkan, ada beberapa penyair yang mengirimkan karya di luar batas waktu yang telah ditentukan. Pengirimannya pun menggunakan cara tradisional, yakni melalui surat.
”Karena tidak bisa komputer dan tidak memiliki e-mail, pengirimannya pun dilakukan melalui surat,” ujarnya sambil tertawa.
Begitu bahan terkumpul, Abah Arsyad masih dibantu oleh kawannya menyalin karya dari wujud kertas surat menjadi dokumen di komputer untuk dibuat buku master.
Ia mengaku butuh waktu empat bulan untuk belajar mengoperasikan komputer. Caranya otodidak sembari kadang-kadang menanyakan kepada teman. Dia tidak hanya mempelajari mengetik dengan komputer, tetapi juga belajar membuat grafis dengan menggunakan perangkat lunak komputer.
Abah Arsyad berhasil mencetak buku pertamanya pada awal tahun 2007. Dari 350 eksemplar hasil cetakan, sebagian diberikan kepada penyair yang mengirimkan puisi. Sebagian buku lainnya disumbangkan ke perpustakaan, baik yang ada di daerahnya maupun di beberapa perguruan tinggi, secara cuma-cuma. Keberhasilan mencetak buku pertama kemudian diikuti buku-buku selanjutnya.
Sebenarnya, sebelum membuat delapan buku, yang bersangkutan telah membuat sejumlah antologi puisi karya bersama. Beberapa karya di antaranya berjudul Jejak Berlari, Edisi Puisi Bandarmasih, Tamu Malam, Jendela Tanah Air, Pedas Lada Pasir Kuarsa, dan Kenduri Puisi.
Lantas, bagaimana keterlibatan Abah Arsyad dalam dunia blog? Menurut ayah tiga anak ini, keterlibatannya dalam dunia blog dan menjadi bloger adalah tindak lanjut setelah dia mencetak buku. Ia ingin bisa mengenal lebih jauh tentang internet dan dunia maya.
Perlahan namun pasti, ia mulai bersinggungan dengan e-mail, blog, dan media jejaring sosial lain. Melalui media internet pula, ia menuangkan karya-karyanya, termasuk menawarkan dan menjual buku cetakannya kepada penikmat sastra di Tanah Air. Dari situlah kemudian permintaan buku dari sejumlah daerah terus berdatangan hingga sekarang.
Abah Arsyad mengaku saat ini memiliki 60 blog, mulai dari situs penyair Nusantara (penyairnusantara. blogspot.com) yang menghimpun para penyair di Nusantara dan beberapa negara lain hingga situs yang khusus memuat karyanya. ”Saat ini adalah zaman teknologi. Jadi, tidak ada salahnya seorang pelaku sastra mengikuti perkembangan yang ada,” ujarnya.
Akibat aktivitasnya di dunia maya inilah, ia dikukuhkan menjadi bloger tertua dalam acara Kopi Darat Bloger Nusantara 2011 di Sidoarjo, Jawa Timur, beberapa waktu lalu.
Keterlibatan mantan Kepala SMK 1 Gambut (salah satu sekolah di Kabupaten Banjar) ini terhadap dunia sastra sebenarnya sudah berlangsung sejak SMP. Saat itu ia sudah mulai menulis puisi. Tema puisinya beragam, mulai dari budaya banjar, kekayaan alam Kalimantan, kritik sosial, hingga yang berbau religi.
Sumber: Kompas, Kamis, 15 Maret 2012
No comments:
Post a Comment