Sunday, March 11, 2012

[Buku] Pram, Konsekuensi dari Sebuah Konsistensi

Judul : Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi

Penulis : Savitri Scherer

Penerjemah: Dalih Sembiring, Astrid Reza, Abmi Handayani

Penerbit : Komunitas Bambu, Depok

Cetakan : I, Januari 2012

Tebal : XVII + 187

KETIKA diundang menghadiri peluncuran buku Pramoedya Ananta Toer, Luruh dalam Ideologi karya Savitri Scherer, 2 Februari 2012 di Galeri Cemara, Menteng Jakarta Pusat, saya agak pesimistis dengan isinya. Bukankah telah banyak buku ditulis tentang sastrawan terkemuka Indonesia Pramoedya Ananta Toer sebelum ini? Belum lagi tidak terhitung banyaknya skripsi, tesis, hingga disertasi dari dalam dan luar negeri menjadikan sosok kandidat Nobel Sastra dari Indonesia ini sebagai sasaran kajiannya. Lalu apa kebaruan dari buku yang diangkat dari tesis PhD di Australian National University (ANU) ini?

Apabila membaca judulnya orang awam akan berpendapat bagaimana seorang sekaliber Pramoedya tidak luput dari kepentingan ideologi dalam menuliskan karya-karyanya. Bagaimana karya-karya sastra seorang Pramoedya akhirnya luruh ke dalam kerja-kerja politik yang memiliki matlamat ideologis. Hal itu merupakan sesuatu yang tidak terhindarkan mengingat keterlibatannya yang intens dalam Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang berafilisi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI). Pandangan sekilas terhadap judul buku ini memang benar adanya. Buku Pramoedya Ananta Toer Luruh dalam Ideologi bukan saja menjelajahi biografi seorang Pramoedya, melainkan juga hubungan antara dunia nyata dan dunia fiksinya.

Dalam membongkar struktur kompleks antara Pramoedya dengan dunia kreatifnya, Savitri sangat memperhatikan kemunculan kekuatan-kekuatan sosial politik yang berkecambah di era 1950—1965. Ia mencatat dengan teliti bagaimana hasil Pemilu 1955 yang menghasilkan kemunculan 4 partai besar (PNI, NU, Masyumi, dan PKI) berdampak secara tidak langsung terhadap proses kreativitas subjek penelitiannya ini. Savitri menganalisis bahwa posisi PKI yang terjepit melawan aliansi partai-partai borjuis membuat banyak sastrawan Indonesia kala itu, seperti A.S. Dharta, Boeyoeng Saleh, Utuy Tatang Sontani, dan Pramoedya Ananta Toer bergabung dengan organisasi kesenian Lekra yang merupakan sayap kesenian PKI (hlm. 42).

Bergabungnya sastrawan-sastrawan di atas ke dalam Lekra disebabkan beberapa faktor (hlm. 58). Pertama, prinsip para penulis di atas yang sejalan dengan semangat pembelaan orang kecil yang disuarakan oleh PKI. Penulis-penulis seperti Pramoedya menolak netralitas sebuah karya sastra apabila berhadapan dengan ketertindasan dan keterasingan kaum lemah. Pramoedya menyuarakan antinetralitas dan antinegativism dalam berkarya. Karya sastra, menurut dia, harus menjadi juru bicara hati nurani penulisnya sekaligus mampu menganalisis kondisi sosial-ekonomi masyarakat secara objektif. Kedua, PKI menempatkan dirinya sebagai partai yang memanusiakan penulis dan sastrawan dibandingkan partai-partai lainnya kala itu. Ajakan Lekra agar Pramoedya bergabung ke dalam organisasi tersebut membuka peluang baginya untuk dapat mengunjungi dan melihat secara langsung penghidupan layak para penulis di negeri-negeri sosialis. Pram memuji setengah mati perlakuan negera-negara tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidup para penulisnya. Meskipun demikian, ia melupakan satu hal bahwa kehidupan yang mapan bagi para penulis di sana tidak dibarengi dengan kebebasan berekspresi. Para penulis tidak lebih sebagai juru bicara partai berkuasa (hlm. 68-69). Ketiga, posisi PKI sebagai partai proletar yang terjepit melawan serbuan partai-partai borjuis memancing simpati penulis-penulis berhaluan kerakyatan, seperti Boeyoeng Saleh dan Pramoedya Ananta Toer.

Pemenjaraan Pramoedya dan para sastrawan Lekra lainnya pascaperang saudara 1965 dianggap Savitri sebagai konsekuensi dari keputusan tersebut di atas. Ia mencatat bahwa sebelumnya Pramoedya sendiri sebenarnya tidak terlalu menyadari bahwa keterlibatannya terhadap Lekra akan berdampak terlalu jauh. Awalnya Pram dianggap di luar organisasi tersebut dan justru dirangkul petinggi-petinggi Lekra dan PKI karena dianggap berbakat dan bermasa depan cerah (Savitri, 2 Februari 2012).

Setelah bergabung bersama Lekra terlihat jelas bahwa keyakinan politik Pram benar-benar banyak memengaruhinya dalam berkarya. Di sinilah letak asumsi Savitri tersebut bahwa objek risetnya ini telah betul-betul luruh dalam ideologi yang diyakininya walaupun akhirnya harus meringkuk di dalam penjara sebagai tahanan politik Orde Baru. Meminjam istilah Savitri pada bedah buku ini, alam Ideologi (2 Februari 2012) bahwa Pramoedya sangat konsisten dengan pendiriannya. Dia merupakan salah satu yang terbaik dan memiliki prinsip yang teguh di masanya. Konsekuensi dari sikap kepala batunya harus ditebus dengan pemenjaraan selama belasan tahun di Pulau Buru dan Nusakambangan. Pada akhirnya, usaha yang dilakukan Savitri Scherer melalui buku ini bermaksud hendak memahami langkah-langkah seorang Pramoedya hingga menjadi Kiri. Uku ini juga menyumbangkan suatu model sejarah pemikiran yang bukan saja kaya informasi, melainkan juga membuat kedirian Pram dapat lebih dipahami.


M. Harya Ramdhoni
, staf pengajar FISIP Unila, kandidat P.Hd. Ilmu Politik di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM)

Sumber: Lampung Post, Minggu, 11 Maret 2012 06:16

No comments: