-- JJ Rizal
NIAT awalnya membantu korban kebakaran hebat di Gang Bunder, Pasar Baru. Tetapi, siapa sangka malah berujung pada didirikannya Voetbalbond Indonesische Jakarta atau VIJ, organisasi yang menjadi nenek moyangnya Persija alias kumpulan sepak bola orang Jakarta.
Saat itu, November 1928, berdirinya VIJ itu kemudian dikaitkan dengan Sumpah Pemuda, Oktober 1928. Katanya, pemain-pemain sepak bola VIJ yang adalah anggota Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatranen Bond, Kaum Betawi, dan organisasi pemuda lainnya yang ikut dalam Kongres Pemuda II di Batavia, benar-benar ter- jangkiti oleh tekad dan semangat mengangkat harkat-martabat bangsa Indonesia sebagaimana diamanatkan Sumpah Pemuda.
Boleh jadi, pandangan itu benar. Sebab, sepak bola modern di Indonesia segera saja menjadi urusan politik sejak dikenalkan oleh tuan-tuan putih Eropa yang datang bersama arus kemenangan kaum liberal pada tiga dasawarsa terakhir abad ke-19.
Meskipun berstempel kaum liberal, pembawa optimisme modernisme dan semangat terang Aufklarung, toh semua tindak-tanduk serta kebijakan kolonial yang muncul tetap saja memperlihatkan superioritas orang Eropa di hadapan masyarakat kolonial. Termasuk dalam urusan sepak bola, olahraga paling populer di Hindia Belanda.
Nasionalisme Sepak bola
Kalau pernah sohor terpampang plang peringatan Verboden voor Inlanders en Hounden atau ”Dilarang Masuk untuk Pribumi dan Anjing” di beberapa tempat di Batavia, seperti di trem, zwembad alias kolam renang, societeit, atau gedung pertemuan, begitu juga di lapangan sepak bola. Soeri, Soekardi, Soejadi, dan beberapa anggota klub sepak bola Ster, Setiaki, dan De Bruinen di Batavia adalah saksi-saksi atas politik klasifikasi kelas yang merembes sampai ke urusan sepak bola.
Klub pribumi dilarang bertanding dengan klub Eropa. Bahkan, untuk sekadar numpang merumput di lapanganseperti di Hercules, Bataviaasch Voetbal Club, dan Voetbal Batavia en Omstreken. Ketika mereka mengirimkan surat kepada klub-klub sepak bola Eropa yang ada di Batavia, untuk dapat meminjam lapangan milik mereka, jawaban tak pernah ada. Nihil.
Dan, nasionalisme Indonesia dalam persepakbolaan pun akhirnya lahir di hadapan—pinjam istilah Aan Laura Stoler— taxonomic states alias negara yang menjalankan kebijakannya berdasar diskriminasi kelas dan ras. Klub-klub pribumi di Batavia segera menghubungkan diri mereka dengan Mohammad Husni Thamrin, tokoh Betawi di balik layar keikutsertaan Kaum Betawi dalam Sumpah Pemuda.
Thamrin saat itu menjadi tokoh sentral pergerakan nasional yang dikatakan sendiri oleh tokoh-tokoh politik Belanda, sebagai juru bicara kepentingan pribumi yang tak dapat diabaikan karena peran politiknya di Volkraad (Dewan Rakyat) yang radikal, berbahaya, licin, dan cerdas.
Di bawah patronase Thamrinlah kemudian muncul klub pribumi di Batavia yang punya lapangan sendiri. Lokasinya di Laan Trivelli, di daerah Cideng Barat yang sekarang sohor sebagai lapangan bola Petojo. Pada 1932, lapangan milik VIJ ini ditunjuk sebagai tempat pelaksanaan Kejuaraan Nasional II Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Saat itu, pertandingan bukan saja dipadati penonton biasa, melainkan juga para elite politik pribumi. Malah saat final, Thamrin secara khusus membawa Soekarno yang baru saja bebas dari Penjara Sukamiskin untuk melakukan tendangan pertama tanda dimulainya pertandingan. Sepak bola telah menjadi arsenal politik yang cukup ampuh pada masa perjuangan negeri ini dulu.
Ikut Piala Dunia
Dalam kilas balik, tekanan politik kelas dan kemiskinan justru mengembangkan kemampuan personel ataupun manajemen sepak bola. Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB)— organisasi sepak bola kaum Eropa yang mengatur kejuaraan-kejuaraan di Hindia Belanda— mengakui hal ini setelah melihat permainan VIJ yang mampu mengungguli Soerabajasche Indonesische Voetbal Bond (SIVB) dalam Kejuaraan Nasional PSSI III di Surabaya. Bahkan, pada 1938, Indonesia mendapat undangan ikut World Cup (Piala Dunia) di Paris, Perancis.
Tim Indonesia untuk World Cup pun disusun PSSI. Pemain VIJ menjadi kekuatan inti. Tapi, penguasa kolonial di Batavia mengeluarkan perintah larangan pada tim itu berangkat. Sebagai gantinya pemerintah kolonial memerintahkan organisasi sepak bola orang-orang Belanda di Hindia Belanda yang diresmikan pada 1936, yaitu Nederlansch Indische Voetbal Unie (NIVU) merancang kesebelasan yang pemainnya telah dipilih untuk diberangkatkan.
Maka sesungguhnya, tim nasional yang semestinya berangkat ke Piala Dunia Paris 1938 terdiri dari para pesepak bola murni pribumi. Tapi, politik kolonial menggagalkannya. Alhasil, tersiar berita Indonesia dipencundangi 0-6 oleh Hongaria. Lantas 2-9 oleh Belanda. Apa yang sebenarnya terjadi? Menurut pengakuan pelatih Belanda saat itu, terdapat petunjuk politik agar tim Indonesia harus mengalah.
Apakah karena sejak awal sepak bola kita diajari main curang hingga sekarang sepak bola juga para penggemarnya terus dicurangi. Entahlah. Yang jelas, sejarah sepak bola telah menunjukkan bagaimana olahraga ini pernah begitu dihargai hingga diundang ke Piala Dunia. Pernah begitu terhormat sehingga menjadi arsenal perjuangan politik. Pernah begitu membanggakan sampai kemudian ia dikhianati.
* JJ Rizal, Peneliti Sejarah, Bermukim di Depok, Bogor
Sumber: Kompas, Sabtu, 26 Juni 2010
No comments:
Post a Comment