RUMAH yang dinaungi pohon-pohon rindang di Kota Bogor, tak jauh dari mulut pintu Tol Jagorawi, itu kini tak lagi sepi seperti satu setengah tahun lalu ketika Kompas berkunjung ke sana. Prof Dr Sediono MP Tjondronegoro tak lagi tinggal sendiri karena anak tertuanya, beserta istri dan dua anak mereka, tinggal di situ juga.
”Sekarang jadi lebih ramai sedikit,” kata Prof Tjondro. Jumat (4/6) sore itu dua cucunya yang masih kecil bermain-main di ruang tengah. ”Ibu mereka, menantu saya, dokter kandungan, berpraktik di dua rumah sakit. Dia sering dipanggil untuk menolong persalinan. Saya jadi ragu, apa iya pertumbuhan penduduk kita sudah benar terkendali,” kata Prof Tjondro.
Sebelumnya, guru besar emeritus bidang sosiologi Institut Pertanian Bogor (IPB) itu tinggal sendiri setelah istrinya, Dr Puspa Dewi Tjondronegoro, meninggal 10 tahun lalu dan dua anak lelakinya mandiri. Hari-harinya, hingga kini usianya melewati 82 tahun, tetap diisi dengan kegiatan akademis dan meneliti. Hari ini pun, sesudah menerima penghargaan dari Kompas sebagai ilmuwan berdedikasi, Prof Tjondro segera kembali ke Bogor untuk menguji mahasiswi S-3 IPB bimbingannya.
Meskipun tidak lagi terjun langsung ke lapangan, ia masih ikut dalam merancang dan membahas hasil penelitian di lembaga nonpemerintah, seperti Bina Desa, Yayasan Akatiga, Yayasan Padi Mandiri, dan Lembaga Pengkajian Pertanahan.
Di luar itu, dia menjadi Wakil Ketua Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) setelah sebelumnya menjabat Ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI.
Melewati pengalaman hidup yang begitu panjang, Prof Tjondro merisaukan alam demokrasi setelah tahun 1998 yang dimaknai sebagian besar anggota masyarakat sebagai kebebasan individu saja. Maka, jumlah partai politik menjadi 38. Pemimpinnya kurang pengalaman dan tidak punya visi jelas yang ditandai, antara lain, dengan merekrut artis yang tak punya pengetahuan politik sebagai calon anggota legislatif atau eksekutif dalam pilkada. ”Itu berpotensi menyuburkan korupsi, kolusi, dan nepotisme,” kata penerima Bintang Jasa Utama (1994) ini.
Keadaan tersebut disebabkan banyak anggota masyarakat kekurangan pendidikan dan pengetahuan. Terjadi perpindahan cepat dari masyarakat desa yang berpegang pada adat, ke organisasi masyarakat modern. Situasi diperburuk modernisasi ekonomi yang terlalu cepat ketika masyarakat didorong ke dunia konsumtif. Doktor sosiologi dari Universitas Indonesia ini menggunakan istilah anomie untuk kondisi masyarakat saat ini yang kehilangan pegangan moral dan hukum. ”Hukum itu konsep modern, sementara adat hukum tak tertulis, tetapi dipatuhi,” ujar. Kita masih butuh kepemimpinan yang tegas dan kuat, tetapi sekaligus juga lebih bebas dan demokratis. Istilahnya enlightened despotism.”
Bagaimana penjelasannya?
Ada kepemimpinan tegas, panutan, kekeluargaan, tetapi juga ada ciri organisasi sehingga warga negara menerima dan melaksanakan peraturan dengan penuh kesadaran. Moralitas masih menjadi pegangan warga. Birokrasi yang ketat karena itu belum berlaku, walau keteraturan masyarakat menjadi kenyataan.
Bagaimana memandang masa depan?
Situasi anomie tidak akan terjadi ketika pendidikan lebih baik. Mungkin perlu waktu 30–40 tahun, asal kita tidak dijajah bangsa asing lagi. Kita harus sangat hati-hati terhadap modal asing. Intinya, setelah merdeka tahun 1945, kita harus jadi bangsa mandiri. Alam kita kaya, penduduk banyak. Kekayaan itu harus kita manfaatkan sebaik mungkin secara mandiri untuk pangan, pendidikan, kesehatan sehingga mengurangi kemiskinan dan kebodohan.
Sekarang, pertumbuhan ekonomi tidak langsung dinikmati rakyat. Subsidi diberikan untuk raskin, bantuan langsung tunai, BBM, tetapi itu tidak menolong. Sifatnya sementara. Seharusnya rakyat diberi aset, yaitu tanah dan laut yang merupakan modal pokok kita. Rakyat hidup dari aset itu, punya pekerjaan. Saat ini, penguasaannya bukan oleh petani dan nelayan kita. Saya baru kembali dari Ternate, kaya ikan, tetapi produsen terbesar Thailand, bukan Indonesia. Sawit, eskportir terbesar Malaysia. Transportasi arahnya kendaraan pribadi, bukan transportasi umum, kereta api. Semua modal asing. Kita hanya jadi tempat perakitan dan pasar.
Bagaimana arah pembangunan?
April 2009 saya diundang Badan Pertimbangan Presiden, saya sampaikan ketidaksetujuan atas amandemen UUD 1945, seluruh pasalnya. Celakanya UUD kita tidak mengenal pasal amandemen perubahan ke dalam UUD. Di AS, ada pasal yang menegaskan, amandemen tidak bisa mengubah isi UUD, amandemen harus dibuat terpisah dari isi asli UUD. Pasal 37 UUD 1945 bisa diinterpretasi sebagai membuat UU amandemen terpisah dari isi asli UUD 1945.
Sisi positif?
Kemajuan setelah periode Orde Baru adalah kebebasan yang sangat saya hargai. Kebebasan pers, intelektual, berorganisasi, kemajuan komunikasi, dan pendidikan dalam arti banyak orang Indonesia belajar ke China.
Di sisi lain, masih banyak hambatan pembangunan yang sekarang tidak lagi berencana seperti zaman Orde Baru. Tidak ada lagi GBHN dan Pelita, diganti sasaran kebijaksanaan kabinet yang bisa berubah tiap lima tahun.
Yang dibutuhkan rencana jangka panjang. Tetapi, saya khawatir, dengan 38 parpol serta DPR dan DPRD yang coraknya seperti sekarang, rencana jangka panjang sulit disusun dan dipatuhi. Memang enlightened centralism dalam politik pun masih dibutuhkan. (Ninuk Mardiana Pambudy)
Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010
No comments:
Post a Comment