Jakarta, Kompas - Pemerintah belum dapat memberdayakan kelompok usia rentan yang nonproduktif, yaitu anak dan manusia usia lanjut. Padahal, terus meningkatnya populasi mereka dapat menjadi beban ekonomi yang kian besar bagi kelompok usia produktif. Dalam hal ini yang diperlukan adalah akses pendidikan yang seluas-luasnya kepada anak-anak. Sedangkan bagi kaum lanjut usia, yang terutama diperlukan adalah akses pelayanan kesehatan.
Hal ini disampaikan dalam pidato inaugurasi Mayling Oey Gardiner, pakar ekonomi dan demografi sebagai anggota Komisi Ilmu Sosial Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), Senin (14/6). Mayling merupakan anggota ke-6 dari 10 anggota baru di AIPI. Hadir pada inaugurasi itu Ketua AIPI Sangkot Marzuki dan Ketua Komisi Ilmu Sosial AIPI Taufik Abdullah.
Mayling, guru besar di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mengungkapkan, melihat rendahnya angka partisipasi murni (APM) anak hingga usia 15 tahun untuk mendapatkan pendidikan, maka masih jauh dapat mencapai target millennium development goals (MDGs). Salah satu target MDGs menyebutkan, semua anak harus mendapat pendidikan dasar. Namun, tingkat partisipasi anak dalam pendidikan dasar 9 tahun hanya 7 hingga 8 persen.
Hingga kini belum ada kebijakan yang membuka akses pendidikan bagi semua anak usia 13-15 tahun, terutama anak miskin dan anak di pedesaan yang jauh dari SLTP.
Anak miskin yang tinggal jauh dari fasilitas pendidikan sukar mendapat kesempatan bersekolah setelah menyelesaikan SD. ”Pemerintah lebih suka memberikan subsidi bagi sekolah internasional untuk anak dari keluarga berada. Adapun anak miskin terabaikan. Hal ini menunjukkan ketimpangan struktural yang dipelihara oleh pemerintah,” ujarnya. (YUN)
Sumber: Kompas, Selasa, 15 Juni 2010
No comments:
Post a Comment