-- Silvester Petara Hurit
MALIRE, kelompok musik asal Bandung, tampil membawakan sembilan nomor karyanya pada Jakarta Anniversary Festival VIII di Gedung Kesenian Jakarta, Minggu (13/6).
Kelompok yang baru berdiri pada awal 2009 ini mencuat dengan keunikan eksplorasinya. Karya-karyanya mengaksentuasikan musik sebagai dunia nada, perayaan bunyi dan permainan waktu. Pencapaiannya bukan pada makna atau penciptaan kondisi emosional tertentu melainkan pada perhitungan matematis oleh persilangan berbagai jenis birama musik.
Pentas Malire di Gedung Kesenian Jakarta setelah sebelumnya di Bentara Budaya Kompas Jakarta (27/5) membuat audiensnya berdecak kagum oleh keanehannya yang memukau. Syair lagu-lagunya tak begitu menghiraukan makna semantik teks. Karakternya ada pada permainan nada. Lengking nada-nadanya berdialog, saling mengisi, menegaskan dan bahkan menampakkan kontras bunyi, tabrakan, dan interogasi terhadap sumber musik yang lainnya. Keacakan yang ditakar sedemikian apik sehingga membentuk kesatuan utuh komposisi.
Jipang Jalu yang menjadi sajian pembuka mengandung unsur-unsur blues, tetapi dengan sentuhan yang sangat unik. Tak ada dominasi solo instrumen. Unjuk kebolehan kecapi duo (Dedy Satya Hadianda-Rudini), talempong (Isep Spiralisman), kendang (Cucu Kurnia), perkusi (Soni Reffali), biola (Raimond Reza), bass (Feby Febrian), gitar (Maulana Agung), dan sajian vokal (Vienesia Jonathan, Dida Imada Maulina, Otong, Viki) yang saling berdialog membentuk ketidaklaziman harmoni yang khas. Meriah karena irama, tempo, dan warna musiknya yang variatif penuh kejutan.
Karya lain yang berlaras diatonis seperti Andelemi dan Bodega tak kalah menariknya. Bodega misalnya merupakan eksplorasi permainan kecapi. Alat musik Sunda dipakai memainkan gaya musik lain. Kecapi dengan nuansa flamenco. Begitu pula yang tampak pada permainan saluang dan talempong. Stilisasi permainan Isep Spiralisman menghadirkan nuansa bunyi yang berbeda dari permainan yang lazim dikenal di ranah tradisi. Isep memperlakukan talempong seperti menyentuh tuts-tuts piano dengan tempo dan dinamika yang bervariatif.
Pun permainan kendang Cucu Kurnia dalam nomor Circle Six. Karya yang oleh Malire diakui sebagai kreasi dari model birama dan ritme tepakan kendang tradisional Sunda dengan sistem birama 2/4, 4/4, 8/8, dan 16/8 didekati dengan sistem birama polymatrick. Circle Six menyajikan model permainan baru dengan sistem putaran birama ganjil 3/4, 6/8, 6/4, 3/8, 5/8, dan 7/8. Dan Cucu yang mengeksekusinya seperti memiliki beberapa tangan. Memainkan beberapa birama sekaligus dengan konsentrasi, kecerdasan, dan ketangguhan motorik tangannya.
Warna keriangan yang dominan berubah hening di dalam karya yang berjudul Anomali. Para pemusik merumpun membentuk formasi setengah lingkaran mengelilingi Dedy-Rudini yang memainkan kecapi dengan posisi terbalik. Tarian lincah tangan Dedy lembut dan gemulai. Menghasilkan warna bunyi yang unik dan mencekam. Kecapi yang kadang terdengar seperti denting-denting nada yang khas piano. Keheningan kemudian memecah. Dijemput riuh sahut-sahutan vokal, susul-menyusul menyerupai darasan mantra yang ditimpali tepakan-tepakan tangan. Ritmis dan riang. Semakin riang, memuncak lantas senyap.
Malire membaurkan dan melakukan perkawinan silang musik Timur dan Barat. Entog Mulang, lagu Kliningan Sunda 1950-an, oleh Malire dialihkan dari laras Salendro ke tangga nada minor gigana, disajikan dengan gaya rege. Latinimina (Lakandela) lagu tradisi rakyat Cuba ditemukan kehadirannya lewat instrumen musik tanah air. Barat menemukan Timur, pun sebaliknya Timur menemukan Barat. Saling memperkaya, meneguhkan, dan memberi arti kehadirannya masing-masing.
Tampak bahwa Malire mengambil khazanah musik etnik, tidak untuk kemudian memadukannya. Malire berlangkah lebih jauh melakukan re-kreasi dengan meraih dan mendayagunakan sistem tonalitas musik Barat.
Pentas musik Malire memperlihatkan kekhusyukan pada proses penjelajahan kreativitas. Musik bukan sekadar persoalan perasaan atau emosi. Proses dan olah gagasan musikal adalah aspek vital yang mencerminkan kreativitas dari suatu karya musik. Penciptaan musiknya memiliki pijakan yang kuat pada kecerdasan pikiran. Kepekaan nada dan skill bermain mesti ditopang dengan kemampuan dan kecerdasan matematis. Bagaimana menghitung, merangkai, dan mendayagunakan segala elemen musikal membentuk kesatuan utuh komposisi.
Proses kreatif Malire adalah proses menggauli musik tanah air, mengunjungi khazanah musik lain dan berdialog dengannya. Dialog ditempuh dalam rangka peraihan dan pengayaan bahan musikal. Ini mengandaikan keterbukaan dan kecerdasan. Musik memuliakan akal. Menantang dan merangsang kecerdasan. Kecerdasan kreatif yang punya potensi meneror dan menciderai kelaziman dan keutuhan. Oleh karena itu, musik tidak pernah final, terus berkembang meraih segala kemungkinan penemuan dan penciptaan.***
Silvester Petara Hurit, esais, pemerhati seni pertunjukan
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2010
No comments:
Post a Comment