-- Muhammad Anis
KULIAH umum tentang Pluralism as A Global Ethic yang disampaikan Prof Hans Kung di Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta (27 April 2010), memang layak diacungi jempol. Kung berhasil mengajak audiens untuk lebih memahami apa itu etika global dan pluralisme.
Saya sendiri mengenal Kung dari karyanya yang berjudul Islam: Past Present and Future. Terus terang, buku ini sempat membuat saya lupa sejenak bahwa ia seorang Kristen. It’s so amazing and interesting.
Sebagaimana pengakuannya, buku ini ia buat dalam rangka menanggapi kasus kartun pelecehan terhadap Nabi Muhammad SAW, melalui diskusi seimbang dan gagasan konstruktif. Ia secara tegas menolak ide ”benturan peradaban” Huntington karena menurutnya yang mesti dikedepankan adalah dialog demi tercapainya keharmonisan antar- peradaban.
Sarat kecurigaan
Hans Kung merupakan sosok post-orientalis yang diharapkan mampu menjembatani hubungan Islam dan Barat, yang tak bisa dipungkiri sarat dengan kecurigaan. Ketika orientalisme muncul, Barat memang begitu bergairah mengkaji dunia Timur (termasuk Islam di dalamnya), yang sayangnya tanpa dilandasi ketulusan. Kaum orientalis melakukan penelitian tak lebih dari sekadar demi mempermudah kolonialisasi dan imperialisasi terhadap dunia Islam. Edward Said, Hasan Hanafi, Ziauddin Sardar, dan Nurcholis Madjid termasuk yang tajam dalam mengkritik kiprah kaum orientalis tersebut.
Meski demikian, pada akhir abad ke-20 mulai muncul sejumlah pemikir Barat yang berusaha memandang dan menampilkan Islam dengan wajah ramah dan teduh, bahkan mereka tak segan-segan ”membela” saat Islam didiskreditkan. Mereka itulah yang kemudian dikenal sebagai kaum post-orientalis, yang di antaranya adalah Karen Armstrong, John Esposito, Huston Smith, dan Hans Kung.
Kung memang dikenal sebagai teolog yang cinta perdamaian dan persahabatan agama-agama manusia. Sebagai seorang yang memiliki andil besar dalam ”Forum Parlemen Agama-agama Dunia” di Chicago pada tahun 1993, yang dihadiri tak kurang dari 6.000 partisipan, Kung berhasil membuat draf yang diberi judul Declaration Toward A Global Ethic.
Kung memberikan orasi ilmiah dalam parlemen tersebut, yang inti gagasannya seputar perdamaian diabadikan dalam torehan tinta sejarah sebagai karya pemikiran manusia brilian: ”Tak ada perdamaian dunia tanpa perdamaian antaragama, tak ada perdamaian antaragama tanpa dialog antaragama, dan tak ada dialog antaragama tanpa mengkaji fondasi agama-agama.”
Dalam deklarasi universal etika global yang digagasnya terdapat beberapa prinsip pokok yang melandasi pentingnya perdamaian dunia, yang dibangun secara kultural oleh peranan umat beragama. Misalnya, deklarasi itu harus bisa diakses oleh kepentingan semua agama, dan kepentingan yang ada harus berpedoman pada dasar-dasar humanisasi. Kung amat menekankan pentingnya penerapan the golden rule atau yang dikenal sebagai etika timbal-balik (ethic of reciprocity), yang berbunyi: ”Berbuatlah kepada orang lain, sebagaimana Anda ingin orang lain berbuat kepada Anda. Jangan berbuat kepada orang lain, sebagaimana Anda tidak ingin orang lain berbuat kepada Anda.”
Jalan tengah
Saat menjadi juru bicara perdamaian, Kung tak hanya mewakili umat Kristen. Ia berpendapat bahwa setiap kekuatan yang mendorong ke arah perdamaian harus dipandang bermanfaat bagi humanisme global. Oleh karenanya, kekuatan tersebut tidak berhak dimiliki secara komunal oleh agama tertentu. Akibatnya, Kung diklaim sebagian kalangan sebagai penjunjung pluralisme. Namun, perlu digarisbawahi bahwa pada dasarnya Kung mendukung pluralisme yang proporsional.
Ia mengatakan, ”Saya mencoba jalan tengah yang sulit di antara dua ekstrem. Di satu sisi, saya ingin menghindari absolutisme naif, yang mengabsolutkan satu kebenaran dari kebenaran yang lain. Namun, pada saat yang sama, sebagai teolog Kristen, saya juga tak mengharapkan dari siapa pun relativisme dangkal, yang merelatifkan semua kebenaran dan menyamaratakannya. Rasanya hal ini tidak bisa dipertahankan, sebuah pluralisme asal-asalan yang tidak membedakan agamanya sendiri maupun agama lain.”
Perjuangan Kung bukan tanpa risiko. Tak jarang ia memperoleh perlawanan dari kalangan konservatif. Bahkan, ia diusir dari tempatnya mengajar ke Universitas Tubingen. Ini menunjukkan bahwa seorang yang menyeru perdamaian ternyata tak selalu memperoleh dukungan positif dari lingkungan sekitarnya. Wallahu A’lam.
* Muhammad Anis, Kandidat Doktor Bidang ”Pemikiran Politik Islam”, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Sumber: Kompas, Jumat, 18 Juni 2010
No comments:
Post a Comment