Sunday, June 27, 2010

Art Hongkong 2010: Ada Pasar, Ada Wacana

-- Alia Swastika*

DALAM perkembangan seni rupa kontemporer global satu dekade terakhir, ada perubahan yang cukup signifikan berkaitan dengan peran pasar, terutama yang menyangkut dinamika pertumbuhan infrastruktur seni. Sejarah seni kontemporer Barat yang mapan dan punya perjalanan lebih panjang menunjukkan bahwa institusi-institusi yang terlalu mapan, seperti museum dan galeri besar, merupakan institusi yang ringkih terutama karena beban birokrasi dan kepentingan politis yang disandangnya.

Dalam situasi yang serba terbatas dari institusi-institusi mapan, pasar dengan cara tertentu telah mengambil alih peran museum dan menjadikan dirinya sebagai peletak tolok ukur yang memengaruhi seluruh infrastruktur seni rupa global. Jika beberapa tahun lalu ukuran yang terlalu pasar dan komersial acapkali mendapatkan cibiran sinis dari mereka yang mengelola museum dan institusi nonkomersial lainnya, dalam lima tahun terakhir ini pasar menunjukkan bagaimana ia menyerap seluruh diskursus dan pendekatan yang digunakan dalam ranah nonkomersial untuk mendapatkan derajat kewibawaan yang nyaris seimbang. Karena itu, peran peristiwa seni, semacam art fair, sekarang ini hampir setara dengan peranan yang dijalankan oleh biennale dan triennale internasional, terutama berkaitan dengan mempromosikan dan mengomunikasikan pencapaian dan dobrakan-dobrakan baru dalam perkembangan seni rupa global.

”Art fair”

Akhir Mei 2010, tepatnya tanggal 27 hingga 30 Mei lalu, di Hongkong baru saja selesai penyelenggaraan peristiwa seni Art HK 2010. Fokus dari Art HK 2010 ini tentu saja adalah art fair, yang dengan demikian langsung merujuk pada pasar, dan, lebih khusus lagi, perdagangan karya seni. Jika demikian, yang menjadi tolok ukur keberhasilan tentu saja hal-hal yang berkaitan dengan angka: jumlah transaksi, persentase penjualan, rekor harga, dan semacamnya. Reputasi sebuah art fair disebut baik jika angka- angka itu menunjukkan indeks yang tinggi, yang artinya peristiwa tersebut mampu mendatangkan dan merawat pasar untuk jangka waktu tertentu.

Dengan latar belakang pemahaman semacam ini, Art HK menjadi salah satu peristiwa seni (komersial) yang penting di Asia. Tahun 2010 ini saja tak kurang dari 150 galeri berpartisipasi, termasuk di dalamnya galeri-galeri yang disebut sebagai pemain utama dalam medan seni rupa dunia, yang menelurkan seniman-seniman besar seperti Andy Warhol, Damien Hirst, Takashi Murakami, ke wilayah pasar dengan harga-harga yang melambung tinggi. Sebut saja galeri kenamaan seperti White Cube dari London, Gagosian Gallery, Max Protecht Gallery, dan James Cohan Gallery dari New York, atau Ota Gallery dari Tokyo.

Galeri-galeri semacam mereka memberi panggung bagi tampilnya bintang seni rupa tadi pada audiens Asia. Pada tahun 2010 ini, selain nama-nama klasik yang nyaris selalu ada di semua art fair besar di seluruh dunia, bisa disebut pula galeri seperti Arario (Korea), Marianna Goersky (New York), Pekin Fine Arts (Beijing), atau Osage (Hongkong/Singapura) yang menampilkan karya seniman seperti Yoshitomo Nara, Subodh Gupta, Tsang Kin Wah, Donna Ong, dan lain sebagainya. Dari Indonesia, tampil Ark Galerie, Langgeng Gallery, dan Nadi Gallery menampilkan seniman mulai dari Agus Suwage hingga generasi termuda seperti Pramuhendra.

Karya-karya seniman Indonesia merupakan salah satu tampilan yang cukup menarik dalam Art Hongkong 2010 ini. J Ariadhitia Pramuhendra, yang tampil bersama Platform 3 dalam sesi khusus yaitu Art Future, mendapat cukup banyak perhatian melalui karyanya, Ashes to Ashes. Banyak pengamat mengatakan bahwa karya Hendra pantas memenangkan kategori khusus sebagai penampil terbaik dalam kategori ini, yang pada akhirnya dimenangkan seniman senior Sazkia Shikander. Demikian pula karya dari Yuli Prayitno, The Tin(g) King, yang membuat orang banyak terkagum dengan imajinasi dan ketekunannya. Karya Eko Nugroho dan Agustinus Kuswidananto aka Jompet, dari booth Ark Galerie, juga mendapat banyak perhatian dari khalayak dan media massa karena unik dan berbeda dari booth-booth yang lain.

Yang menarik, meski mendasarkan ukuran-ukurannya pada angka ekonomis, sekarang ini ada kecenderungan bahwa art fair juga menjalankan strategi tertentu untuk mendapatkan kewibawaan diskursusnya. Mereka tak hanya mengundang galeri komersial, tetapi menawarkan kesempatan pada kurator-kurator untuk membuat proposal yang berorientasi pada proyek seni. Salah satu yang tampil dalam Art Hongkong 2010 ini adalah Rirkrit Tiravanija yang dipromosikan oleh kurator Joseph Ng dari Tang Contemporary Art Bangkok. Karya Rirkrit untuk proyek ini tampil dalam visualisasi yang serupa dengan karyanya yang dipamerkan di banyak museum atau biennale/triennale internasional lainnya.

Selain mengundang seniman berbasis proyek, art fair juga menggelar serangkaian acara diskusi dan seniman bicara (artist’s talk) dan juga program panduan tur yang membantu audiens untuk mendapatkan pemahaman yang lebih luas tentang kecenderungan terkini seni rupa global dan konsep yang menyertai karya-karya seniman. Tak tanggung-tanggung, untuk acara diskusi semacam ini pun panitia mendatangkan para kurator, kritikus, dan seniman kenamaan dari seluruh penjuru dunia. Martha Rosenthal, seorang seniman terkemuka dari New York, misalnya, memberikan presentasi dalam satu sesi diskusi mengenai peran seniman dalam membangun dialektika dalam ranah sosial politik. Tema semacam ini tentu saja dulunya tak mampir dalam peristiwa-peristiwa seni yang berorientasi pasar.

Industri

Karena reputasinya yang semakin baik, tak heran jika Art Hongkong kali ini menjadi ruang bertemu bagi hampir semua pemain dalam ”industri” seni rupa dunia. Tak hanya galeri, seniman dan kolektor, pemain utama dalam ”pasar dagang” itu saja, melainkan juga para kurator, kritikus, direktur museum, sejarawan seni, dan kelompok lain yang biasa sedikit alergi pada pasar. Pada hari pertama pembukaan saja, ribuan orang mendatangi acara ini, yang dapat dipastikan datang dari seluruh penjuru dunia, mulai dari Kanada hingga Australia. Pada hari berikutnya, masyarakat umum berbondong-bondong datang menyaksikan satu demi satu karya dalam areal pameran, mencari pengalaman estetika baru yang sensasinya berbeda dengan memasuki museum.

Sekarang ini, pasar justru menjadi jawaban terhadap persoalan besar yang dihadapi oleh seni kontemporer ketika ia makin mengarah pada kecenderungan konseptual, dan merentang jarak yang semakin jauh dengan publiknya. Ketika berkembang menjadi industri, dengan pengemasan dan strategi promosi yang baru terhadap seni konseptual dan gagasan dasarnya, maka audiens menjadi lebih mudah untuk dirangkul dan tumbuh bersama dalam infrastruktur dan dinamika seni kontemporer sekarang ini.

Semakin berkembangnya pasar seni rupa juga memberi kesempatan pada kerja jaringan yang semakin besar di seluruh dunia. Dengan demikian, setiap galeri ini menampilkan seniman dari penjuru dunia yang lain, lintas benua, lintas ras, lintas budaya. Seni rupa global yang ditampilkan, dalam pandangan personal saya, tak bisa lagi membuat kita benar-benar mengenali—terutama dalam lintasan sekilas—mana yang karya seniman Asia, mana yang Amerika, mana yang Eropa. Semua saling bertemu, menginspirasi, mengapropriasi, menemukan bentuk-bentuk baru yang mempertemukan berbagai kategori yang pada beberapa waktu lalu memang dipercaya ada.

* Alia Swastika, Kurator

Sumber: Kompas, Minggu, 27 Juni 2010

No comments: