Sunday, June 27, 2010

"Ariel", "Luna", dan Literasi Seks Sunda

-- Asep Salahudin

SAMBIL menunggu kabar siapa sesungguhnya pelaku dan penyebar video menghebohkan itu, yang menyebabkan energi kita tersedot olehnya, ada baiknya kita mengendapkan persoalan itu dengan menziarahi hal-hal lebih substansial: seks dari perspektif kearifan Sunda.

Kita pasti sepakat, riwayat tentang seks setua hikayat manusia itu sendiri. Bahwa persoalan seks bukan sekadar perbincangan seputar hubungan biologis, tetapi relasinya sangat kompleks. Setiap kitab suci selalu menyisipkan seks sebagai bagian dari tema yang diangkatnya. Dahulu orang Yunani membicarakan seks sama pentingnya dengan mendiskusikan politik, sastra, dan filsafat. Orang India mengembangkan disiplin ilmu kamasutra, di Jawa kita temukan pembahasannya dalam Serat Centhini, Serat Gatholoco, dan Serat Asmaragama.

Dalam tilikan Sigmund Freud, seks inilah yang menjadi energi terbesar yang menggerakkan peradaban. Sejarah akan beku ketika seks tercerabut dari kemanusiaan. Seperti dikatakan Michel Foucault bahwa manusia bukan sekadar makhluk sosial, insan simbolik, tetapi juga pada saat yang sama ciri utama yang melekat adalah makhluk dengan gelombang hasrat yang menggelagak (desiring subject).

Karena seks bertalian bukan hanya dengan persoalan individu tetapi juga sosial, tidak hanya "tubuh" tetapi juga transenden, tidak sebatas lokal rumah tangga tetapi juga erat hubungannya dengan negara, tidak sebatas mistis tetapi juga sangat ideologis. Banyak anggota dewan tempo hari yang kariernya khatam gara-gara tidak dapat menahan nafsunya. Jauh ke belakang Cleopatra, Ken Dedes, dan lainnya menunjukkan makna yang sama.

**

seks juga menjadi bagian penting dalam literasi budaya Sunda minimal direpresentasikan dalam istilah jorang dan cawokah. Seperti ditunjukkan Ayatrohaedi (1939-2006) "Si Kabayan: Cawokah atau Jorang?" pada buku Seks, Teks, Konteks: Tubuh dan Seksualitas dalam Wacana, kalau jorang merujuk kepada makna tubuh pornografis, maka cawokah lebih memiliki muatan makna seks sebagai sesuatu yang agung dan mencerahkan, seks sebagai media untuk membangun keseimbangan hidup baik dalam aras pribadi atau hubungannya dengan sosial dan kemanusiaan bahkan juga kaitannya dengan realitas ketuhanan seperti dahulu pernah dimaktubkan Kong Fu Tze bahwa seks adalah katup untuk mematangkan harkat seseorang.

Literasi sastra Sunda kuno memberikan gambaran seks kepada kita dengan tipologi, yakni pertama, seks yang dipahami sebagai hubungan biologis di mana tubuh perempuan adalah simbol untuk memburu kenikmatan. Seks perempuan sebagai, meminjam Baudrillard, bahan baku (raw material) sistem pertukaran tanda (sign exchange) dalam rangka mengembangkan nilai tanda (sign value). Sunten Jaya adalah tokoh fiktif dalam pantun lama yang mewakili seks sebatas sesuatu yang jorang mereduksinya sekadar persoalan ranjang seperti dalam syair: Raden Sunten Jaya//Di nu geulis meting//Di nu denok mondok//Di nu goreng pulang poe//Ari mahugi ku ali beusi//Jandari di pundut deui//

Kedua, adalah kebalikannya. Seks sebagai sesuatu yang "transenden". Seks sebagai pintu masuk untuk membangun hubungan harmonis antara dirinya dengan perempuan, sosial-kerajaan bahkan ketuhanan seperti disimbolisasikan hubungan antara Dewi Asri dan Mundinglaya Kusumah dalam guguritan yang ditulis penyair terbesar sepanjang sejarah Sunda, Haji Hasan Mustapa: Nyai Dewa Asri di Sanubari/Nya Mundinglaya di Sawarga/Lalaki di kolong langit/Lalanang di kolong jagat udeg-udeg di buana/Naruhkeun umur di pangaweruh /nadahkeun nyawa urang mah di pangabetah/hade jampe jeung pangome/menak tedak pajajaran/Pajajaran soteh jajaran pasar/Jajar pasar bangsa jelema//

Di tangan Sunan Ambu, dalam cerita pantun Lutung Kasarung, juga tokoh Purbasari adalah sebagai simbol perempuan yang yang telah melampaui "tubuh" seksinya. Sehingga dengan seksnya ia dapat ngahudang carita wayang//nyilokakeun nyukcruk laku//nyukcruk laku nu bahayu//

**

TENTU juga persoalan cawokah mendapatkan tempat dalam sastra Sunda mutakhir baik yang ditulis sastrawan perempuan semisal Aam Amilia, Popon Saadah, Holisoh M.E, Chye Retty, Etti RS, atau satrawan laki-laki semisal Godi, Deden Abdul Aziz, Cecep Busrdansyah walaupun bukan sesuatu yang dominan. Biarpun tidak serevolusioner nafas seks dalam Supernova-nya Dewi Lestari dan atau Larung, Saman-nya Ayu Utami. Minimal telah melampaui apa yang dikatakan Harry Aveling seks perempuan sebagai "mawar berduri." Pengungkapan semangat emansipatoris secara "malibir". Bahkan akhir-akhir ini Godi sebagai sastrawan Sunda kiwari dengan lirik dan pilihan tema terkuat telah menebar tema cawokah dalam Facebook-nya.

Tentu dimensi cawokah dalam tradisi seks Sunda menjadi amat penting diperbincangkan sebagai satu siasat untuk meng-counter seks yang didominasi arus budaya jorang melalui media yang tidak mungkin dikontrol: internet seperti yang diperagakan "Ariel", "Luna" dan "Cut Tari".

Wacana cawokah tradisi Sunda menarik untuk dijadikan opsi dari materi pendidikan seks sejak dini, justru ketika saat ini media telah menampilkan laki-laki dan perempuan hanya sebatas "tubuh". Tubuh (citra) telah menjadi ideologi bukan hanya untuk merangsang hasrat seksual namun juga mempengaruhi seseorang dalam menjatuhkan pilihan politiknya. Justru ketika salon, operasi plastik, kebugaran dan konsultan politik menggeser pentingnya nalar: inilah kebudayaan jorang itu. Jangan-jangan kasus "Ariel-Luna" adalah letupan dari gunung es kebudayaan jorang yang tengah kita rayakan.

* Asep Salahudin, Wakil Rektor IAILM Pesantren Suryalaya Tasikmalaya

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 27 Juni 2010

No comments: