KETIKA merayakan hari ulang tahunnya yang ke-75, Juli 2009, Adnan Buyung Nasution mengakui, kadang merasa sendirian. Sendirian menyuarakan dan berusaha membuat kondisi hukum di negeri ini, yang bagaikan benang kusut dan tak berpihak kepada orang tersisih, menjadi lebih baik. Apalagi, ketika risikonya besar (Kompas, 2/8/2009).
Ketika dijumpai lagi di ruang kerjanya, di sebuah perkantoran di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, 10 Juni lalu, Adnan Buyung sebagai advokat memang menangani perkara yang tak banyak berbeda dengan advokat lain. Namun, dia memiliki kelebihan karena kepeduliannya kepada mereka yang tersisih. Hal ini konsisten dilakukannya lebih dari 50 tahun berkecimpung di bidang hukum. Salah satunya, mewujud dengan pendirian Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia tahun 1970. Melalui YLBHI, Adnan Buyung bukan hanya membela kepentingan mereka yang tersisih, tetapi juga membangun kesadaran baru dalam bidang hukum dan demokrasi. ”LBH harus menjadi kawah candradimuka lahirnya advokat yang mempunyai landasan moral, kemanusiaan, dan etika yang kuat. Meski tak bisa menyebut 100 persen berhasil, tetapi ada hasilnya. Banyak alumni LBH yang tersebar di berbagai bidang masih bertahan dengan idealisme,” katanya.
Tidak lebih baik
Ia mencontohkan dirinya. Ayah empat anak, kakek 11 cucu, dan buyut tiga cicit itu, meski diakui mumpuni, tidak pernah terdengar menginginkan menjadi bagian dari kekuasaan. Setelah tak lagi menjadi jaksa dan pernah menjadi anggota DPR, dia tercatat hanya pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Namun, jabatan itu tak mengurangi kekritisannya kepada pemerintah.
”Abang (Adnan Buyung biasa menyebut dirinya) tidak mencari jabatan. Di mana pun bisa berbuat, tergantung watak. Jabatan itu kesempatan berbuat kebaikan, sesuai dengan kebenaran yang abang yakini, baik secara rasional, ilmu, maupun keyakinan. Kalau ada kebenaran dan kebaikan yang harus disampaikan kepada Presiden, apa pun akibatnya, akan Abang sampaikan. Akibatnya, bukan masalah. Yang penting pesannya sampai,” katanya.
Ia mengakui, kondisi hukum di negeri ini masih memalukan. Bahkan, meski lebih dari 50 tahun berkecimpung di bidang hukum, sebagai bidang perjuangan untuk menegakkan cita-cita dan nilai hidup yang utama, Adnan Buyung mengakui, dibandingkan saat pertama kali sebagai jaksa tahun 1957, keadaan kini bukan tambah baik. Tambah buruk.
Ukurannya, pertama dedikasi yang menyangkut pengabdian pada tujuan hidup. Seorang sarjana hukum semestinya berdedikasi pada tegaknya negara hukum, tegaknya keadilan dan kebenaran melalui nilai hukum yang bebas dan tidak memihak. Adil. Dedikasi itu hanya bisa diperjuangkan orang yang memang cita-citanya menegakkan keadilan dan kebenaran.
Namun, kini makin sedikit orang di negeri ini yang mempertahankan nilai itu. Kebanyakan, dalam 30 tahun terakhir, apalagi belakangan banyak advokat papan atas yang kaya raya, sarjana hukum punya idam-idaman ingin cepat kaya. Bahkan, jika bisa dipadukan dengan kekuasaan, misalnya menjadi petinggi partai politik atau pejabat lain. Cita-cita penegakan hukum dan keadilan menjadi tersisih, atau menjadi dalih saja.
Kondisi itu berpulang pada sistem pendidikan di negeri ini. Belum ada suatu pendidikan hukum, baik untuk menjadi advokat, hakim, maupun jaksa, yang memiliki kesamaan persepsi tentang tugas, tanggung jawab, dan fungsi profesi hukum. Padahal, semestinya mereka dididik bersama untuk memiliki filosofi yang sama, mempunyai landasan, etika, dan moral yang kuat.
”Saya pernah usulkan hal ini kepada Jaksa Agung Abdul Rachman Saleh. Ia mengakui susah karena kualitas sarjana hukum beragam. Bahkan, banyak jaksa yang lulusan perguruan tinggi antah berantah. Jadi, kualitasnya tidak bisa dibanggakan. Kalau di kejaksaan begitu, di kepolisian, kehakiman, dan advokat juga begitu, berarti menyeluruh. Ini memerlukan pemikiran visioner ke depan bagaimana memperbaikinya,” katanya.
Dengan sering bersuara lantang, Adnan Buyung mengakui ”godaan” memang datang padanya agar ia tak lagi kritis dan berani. Namun, selama ini ia bisa mengabaikannya. Kuncinya adalah didikan orangtua.
”Ayah saya juga guru saya. Guru etika dan moral. Dari kecil saya dididik keras untuk mempunyai karakter. Ayah hanya akan meninggalkan tiga hal, satu otak. dalam arti ilmu yang harus dikejar sekuat-kuatnya. Kedua, karakter, moral, dan etika. Ketiga, keimanan,” ujarnya.
Ia melanjutkan, ”Ayah saya yakin pada kebebasan nurani manusia. Apa pun yang kau pilih, kalau itu dari hati nurani, harus diterima dengan ikhlas. Otak itu, ada yang besi, loyang, dan baja. semuanya bisa diasah dan bisa tajam. Namun, otak dan ilmu tak bermata. Yang bermata itu hati nurani. Dari hati nurani itulah karaktermu. Mau jadi orang baik atau orang jahat, tergantung nuranimu.”
Kalau memang manusia jahat, ilmu bisa dipakai untuk kejahatan. Jadi, tergantung pada karaktermu. Orang pintar di Indonesia itu banyak. Namun, yang berwatak sedikit sekali. Ini kelemahan bangsa ini. Orang berilmu dan berwatak kuat, dia ibarat berlian. Di mana pun dicampakkan. bahkan ditaruh di lumpur, akan berkilau terus.
”Ada juga faktor istri. Dulu teman-teman jaksa banyak yang bisa kaya. Istri Abang tahu, tetapi tak pernah meminta apa-apa. Abang baru bisa beli perhiasan untuknya setelah menjadi advokat. Bisa membeli rumah, setelah hampir 50 tahun hidup bersama. Sebelum itu kontrak, sampai 14 kali pindah. Ada duit untuk perjuangan, termasuk membela perkara yang Abang yakini benar. Istri sabar. Saya baru punya rumah persis tahun 2001,” katanya lagi.
Jadilah manusia berkarakter. Apa pun ilmu yang didapat itu tergantung karakter, bisa menjadi kebaikan, tetapi bisa juga mencelakakan manusia. Karakter yang utama.
Adnan Buyung, meski terkadang merasa sendirian, sampai kini merasa tak lelah untuk terus menyuarakan pentingnya karakter untuk memperbaiki bangsa ini. Seperti juga yang dicontohkan oleh pendahulunya, seperti advokat Tasrif, Lukman, dan Yap Thiam Hien, atau Muchtar Lubis dan PK Ojong, selama masih ada orang yang berkarakter dan tak lelah, negara ini masih bisa diperbaiki.
”Kalau semua orang sudah menyerah, siapa lagi yang mau peduli dengan negara ini? Harus ada satu atau dua orang yang terus bersuara. Lihatlah revolusi Perancis. Hanya lima orang yang memulainya, tetapi negara itu bisa maju. Asal masih ada orang yang mempunyai dedikasi, komitmen, dan memberikan contoh, mudah-mudahan masih bisa membangun negeri ini. Memang tak ada jaminan, tetapi kita mesti ikhtiar. Hidup ini, kan, ikhtiar,” katanya. (Tri Agung Kristanto)
Sumber: Kompas, Senin, 28 Juni 2010
No comments:
Post a Comment