-- Edwin Rahardjo
NEGARA-negara maju sudah memiliki infrastruktur seni yang mapan, seperti museum, galeri, balai lelang, seniman, kurator, kritikus seni, dan akademi-akademi seni. Setiap individu maupun institusi-institusi seni tersebut memiliki peran dan tanggung jawab yang jelas. Hal itu lebih disebabkan oleh sistem pendidikan serta informasi tentang seni dalam bentuk buku, media, dan informasi masyarakatnya yang mempunyai kesadaran dan pengetahuan yang lebih mengenai seni rupa. Hal ini dapat dilihat dari dipenuhinya museum dengan antrean. Mereka pun akrab dengan dunia mengoleksi berbagai benda, baik seni maupun lainnya, dan memahami arti dari the art of collecting.
Berbeda dengan Indonesia yang masih merupakan negara berkembang. Kini peran kritikus seni hampir dapat dikatakan sudah tidak ada. Peran dan fungsi museum belum berjalan dengan baik atau seperti semestinya. Pemerintah pun tidak mencanangkan program bagi sekolah-sekolah untuk mengunjungi museum atau galeri, dan minimnya media informasi seni, masyarakat jadi kurang akrab dengan dunia seni. Dengan demikian, ketika mereka tertarik akan karya seni, mereka sering membuat penilaian atau barometer sendiri, dan wacana pasar pun lebih berkembang dibandingkan dengan pasar wacana.
Setiap galeri dapat mempunyai visi, misi, dan peran yang berbeda-beda. Salah satu peran galeri adalah untuk mengenalkan seniman muda baru kepada publik dan membantu seniman-seniman naik ke jenjang berikutnya. Menurut saya, galeri seni yang serius atau baik seharusnya tidaklah menjadi sekadar toko yang menjual karya-karya berdasarkan apa yang diinginkan publik, tetapi juga dapat menjadi jembatan atau mediator akan informasi seni antara pasar wacana dan wacana pasar, sekaligus menjadi trendsetter; menjadi ujung tombak penyebaran wacana seni itu sendiri; dengan menggelar pameran-pameran yang dikuratori.
Disebabkan lemahnya infrastruktur seni di tanah air, termasuk juga hukum yang bersangkutan, kemelut dan salah pengertian sering terjadi. Galeri sering dianggap mempunyai tanggung jawab terhadap seni rupa dan perkembangannya, yang seharusnya mungkin dipikul oleh instansi lain seperti museum, media, sekolah seni, dan lain-lain.
**
UNTUK mengoleksi karya-karya seni jelas kolektor mencari acuan atau pegangan. Karena minimnya peran museum dan informasi seni, orang mencari acuan lain yang mapan. Balai lelang internasional terkenal dan mapan di tanah air pun muncul. Nama besar mereka di negara-negara berkembang seakan menjadi acuan tunggal. Padahal balai lelang tersebut mapan di dunia seni internasional. Gejolak meningkatnya minat publik akan karya seni yang muncul pada 1988-1989 lebih banyak disebabkan oleh perubahan lifestyle, ketika karya-karya dari seniman yang karyanya ada di buku Bung Karno menjadi incaran.
Meningkatnya minat dan harga akan karya-karya seniman Cina kontemporer beberapa tahun yang lalu, menyeret juga naiknya harga karya-karya seniman kontemporer Indonesia. Pola mengoleksi kolektor kita pun terlihat ada perubahan di samping perkembangan. Jika dulu kolektor kita hanya membeli karya-karya seniman Indonesia, sekarang mereka membeli juga karya-karya seniman asing. Dalam menilai pantas tidaknya harga sebuah karya mereka pun tidak lagi tergantung akan demand publik terhadap karya seniman tersebut tetapi membandingkannya dengan harga seniman luar negeri yang dianggap setara perjalanan keseniannya.
Tidak bisa dimungkiri, ketika orang membeli karya seni mereka bisa membeli karena memang senang mengoleksi atau karena kepentingan investasi semata. Oleh karena itu, dalam menilai kembali bergairahnya pasar seni rupa tidak bisa dilihat secara linear. Kembalinya gairah itu bisa disebabkan karena pertimbangan investasi, membaiknya ekonomi, munculnya seniman-seniman muda yang berpotensi melalui pameran-pameran yang digelar di galeri, mulai berpalingnya kolektor-kolektor asing akan keberadaan seniman Indonesia, munculnya seniman-seniman Indonesia yang dinilai bisa go international.
Kemunculan balai lelang dan kolektor, ditambah pula dengan munculnya galeri-galeri baru, mempunyai sisi positif. Karya-karya seni yang naik daun menjadi lebih diminati, namun juga kerap menjebak senimannya. Harga karya seorang seniman dapat saja melambung bila banyak diminati. Akan tetapi, harga tersebut tidak harus selalu paralel dengan mutu karya karena sangat tergantung akan apresiasi akan siapa yang meminati. Artinya, karya yang mahal belumlah tentu bagus, karya bagus belum tentu mahal. Balai lelang memang merupakan institusi yang menjual karya seni, tetapi semestinya tidak menjadi tolok ukur akan kualitas karya seni, karena jelas balai lelang menjual karya yang sangat tergantung akan apresiasi publik. Lain halnya dengan museum yang bereputasi. Mereka memamerkan karya karena kualitas yang baik, bukan karena karya tersebut diminati publik atau harganya yang mahal.
**
KETIKA karya seni belum mahal harganya dan belum memasyarakat, banyak kolektor yang mengoleksi karya karena didasari oleh passion. Melonjaknya harga karya-karya seniman Cina secara tiba-tiba di tahun 2005 dan juga kemudian diikuti oleh naiknya harga karya-karya seniman Asia lainnya (termasuk Indonesia), jelas menarik perhatian banyak pihak. Kita bisa melihat munculnya banyak spekulan dan investor dengan niat untuk mencari keuntungan. Selain berbagai isu bermunculan, demikian pula dengan isu "goreng-menggoreng".
Di satu sisi, hal tersebut menguntungkan para seniman secara ekonomi. Di sisi lain ketika harga karya seniman itu melejit melampaui batas-batas yang wajar, dan kemudian ketika harga-harga itu stagnan para investor itu pun melepas karya mereka dan mencari seniman lain. Biasanya dampaknya adalah karya-karya mereka tidak diminati publik lagi. Jelas karya-karya seniman ini tidak diminati oleh kolektor yang serius dan berpengalaman karena mereka melihat ketidakwajaran harga antara value karya tersebut dengan nilai rupiahnya.
Kalau dulu kolektor ingin membeli karya seni biasanya mereka bukan saja mengenal senimannya atau memahami pemikiran, konsep, dan proses berkaryanya, mereka memang suka dengan seniman maupun karya-karyanya. Karya tersebut dibeli untuk kepuasan batin mereka sendiri. Sedangkan di mata investor, keingintahuan mereka akan pemikiran dan konsep itu lebih dari sudut pandang apakah mungkin seniman ini menjadi besar dan mahal harganya di kemudian hari. Kepuasan batin mereka adalah ketika menjual karya-karya seniman itu dengan keuntungan.
Bagi galeri dan seniman yang serius jelas hal ini menggembirakan sekaligus memusingkan kepala. Sebagai galeri dan manager dari seniman-seniman yang ada di bawah naungan Edwin`s Gallery, jelas saya tidak bisa sekadar menaikkan harga karya-karya seniman-seniman saya mengikuti perkembangan harga di balai lelang.
Untuk menjadi seniman yang berhasil, ia harus punya track record dan reputasi yang baik. Dapat berpameran di museum yang terkenal dan dihormati jelas menjadi impian setiap seniman. Untuk meraih itu biasanya dimulai dari bawah, pameran di galeri-galeri, baru setelah diakui keberadaannya bisa naik ke jenjang institusi seni dan museum baik di dalam maupun luar negeri. Karya yang terlampau mahal harganya untuk ukuran internasional (dibandingkan dengan harga-harga seniman yang setara perjalanan keseniannya di negara lain), jelas mempersulit seniman untuk berpameran di luar negeri dan membangun reputasi. Jika ada perselisihan harga antara harga jual karya seorang seniman di galeri dan di balai lelang jelas memancing pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan karya tersebut untuk dilelang demi keuntungan semata.
Karena visi galeri dalam membantu seniman membangun reputasinya, maka tidak mungkin galeri sekadar menjual karya seniman sebanyak mungkin tanpa memikirkan side effects-nya. Di satu sisi, galeri tidak bisa menjual karya senimannya mengikuti harga di lelang karena dia harus bisa membawa senimannya untuk pameran di luar negeri dengan harga karya yang kompetitif dibandingkan dengan seniman yang setara di sana. Di sisi lain, galeri pun berkewajiban memperluas kolektor senimannya.
Oleh karena itu, saya memberlakukan aturan bagi kolektor yang ingin membeli karya seniman-seniman saya, yaitu mereka tidak boleh menjual karya tersebut selama dua tahun ke balai lelang. Hal ini bukanlah hal yang tidak lumrah karena aturan seperti ini juga diterapkan di negara-negara lain. Sebetulnya hal tersebut tidak perlu kita berlakukan apabila balai lelang tidak mau menjual karya-karya yang masih "basah" demi menopang kegiatan galeri-galeri yang juga penting bagi eksistensi balai lelang itu sendiri.
Adanya kecenderungan balai lelang untuk meminta karya langsung kepada seniman yang diminati publik dan banyaknya balai lelang, dan banyak kolektor yang membeli langsung kepada seniman, jelas akan mengurangi frekuensi seniman untuk berpameran.
Edwin Rahardjo, manajer galeri
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 13 Juni 2010
No comments:
Post a Comment