Sunday, June 20, 2010

Memori, Energi, Irama

BAGAIMANAPUN, tarian akhirnya bermuara pada tubuh. Lewat gerak tubuh pula, para penari menggali dan mengekspresikan berbagai kekuatan yang selama ini terpendam dalam raga. Pendaman itu, antara lain, berupa memori, energi, dan irama.

"D a r k n e s s P o o m b a" karya Kim Jae Duk-Korea Selatan, 14/6/10 dalam Indonesian Dance Festival 2010. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY)

Setidaknya begitulah yang tertangkap dari tiga pertunjukan koreografi di The Indonesian Dance Festival 2010 di Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 14-17 Juni lalu. Ketiga pentas itu adalah karya Meg Stuart dan Philipp Gehmacher dari Jerman, Vincent Mantsoe asal Afrika Selatan, dan Kim Jae Duk dari Korea Selatan.

Meg Stuart dan Philipp Gehmacher menampilkan karya berjudul ”Maybe Forever”. Dengan latar panggung bergambar dua bunga yang mekar, karya ini bercerita soal kehidupan manusia yang mudah berubah. Ada sepasang manusia, lelaki dan perempuan, yang bergulat menjelajahi berbagai kemungkinan hubungan.

Suatu saat, keduanya tampak begitu mesra, lengket, sehingga sulit terpisahkan. Satu orang bergerak, satu lagi mengikuti. Seperti dalam mimpi, mereka seolah menemukan gairah cinta yang abadi.

Namun, kedamaian itu lantas sirna begitu saja. Mereka kemudian seperti berjarak. Entah kenapa, tiba-tiba muncul sekat yang membuat mereka sulit memahami satu sama lain. Mereka masih bersama, bahkan bisa saling memandang dan menyentuh, tapi merasa kehilangan.

Pergulatan itu semakin kental saat perempuan atau laki-laki itu mencoba curhat yang lebih mirip pidato. Pentas ini semakin kompleks ketika beberapa kali muncul musisi dan pencipta lagu Niko Hafkenscheid yang memetik gitar sambil bernyanyi.

Karya ini menggugah lantaran dapat mengungkapkan rapuhnya kehidupan manusia. Menonton karya ini, kita dirangsang untuk merenungkan jalan hidup kita sendiri. Mungkin hubungan erat kita, bahkan dengan kekasih yang sangat kita cintai, juga begitu fana. Cinta, benci, rindu, bersama, berpisah bisa datang silih berganti.

”Tak ada yang absolut dalam hidup ini. Sesuatu datang dan pergi begitu saja. Ini cerita soal keabadian dan kehilangan,” kata Meg Stuart, seusai pentas.

Energi

Beda lagi dengan Vincent Mantsoe, yang mencoba kembali pada olah tubuh yang lebih sublim. Memainkan karya berjudul ”Barena Chiefs”, lelaki bertubuh pejal dan dan berkepala plontos ini mengeluarkan energi lewat gerak tubuh yang bersahaja.

Mula-mula dia berjalan pelan dengan membawa tongkat dan baju merah. Gayanya anggun dan berkarisma, bak seorang kepala suku dari Afrika. Gerakan tangan, kaki, dan kepalanya terkontrol.

Namun, ketika baju dan tongkat itu dilepas, dia menjelma bagai binatang liar. Dia berlompatan, memutar tubuh, menendang, atau meninju penuh energi. Berbagai endapan perjalanan hidup dalam tubuhnya memendar keluar begitu saja.

Seperti kesurupan, dia terus bergerak. Pada momen-momen puncak, getaran energinya begitu kuat sehingga kepalanya pun bergeletar seperti tersetrum listrik.

Karya ini seperti mengembalikan kepercayaan kita pada tubuh. Energi dalam diri meledakkan bentuknya dalam wujud berbagai gerak.

”Gerakan itu didorong oleh aliran energi dalam diri saya. Energi itu hasil endapan dari perjalanan hidup sejak kecil sampai sekarang,” kata Vincent.

Dia bercerita, karyanya itu berkisah tentang manusia yang terombang-ambing dalam dua dunia: antara seorang raja dan manusia biasa. Lelaki bertongkat dan berbaju tadi mewakili sosok raja. Tetapi, saat ingin berekspresi, raja itu harus meletakkan simbol-simbol kekuasaan tadi dan menjadi manusia biasa.

Irama

Koreografer Kim Jae Duk berusaha mempertautkan kekuatan tubuh dengan irama musik. Semangat itu meletup dalam karya berjudul ”The Darkness Poomba”. Berangkat dari gerak-gerak tradisional Korea, sejumlah penari di panggung kemudian membebaskan diri dalam gerak spontan.

Pada tengah pertunjukan, pentas itu menghadirkan live music lewat dua gitar elektrik, drum, harmonika, dan penyanyi tradisional Korea. Bersamaan dengan bebunyian yang muncul dari semua instrumen itu, para penari menggeliatkan tubuh. Mereka memutar, tengkurap, bergerak bersama, bahkan kemudian mendatangi penonton.

Penonton di kursi diajak menari dengan cara bertepuk tangan bersama. Beberapa penari memukul-mukul mangkuk dan sendok. Jarak antara penari, pemusik, dan penonton diterabas. Saat semua orang dalam ruang pentas itu larut dalam gairah menari yang gembira, terasalah kekuatan irama yang melahirkan gerak bersama.

”Bagi saya pentas memerlukan interaksi bersama karena itu mencerminkan penyatuan emosi bersama,” kata Kim Jae Duk. (ilham khoiri)

Sumber: Kompas, Minggu, 20 Juni 2010

No comments: