Saturday, June 12, 2010

[Teroka] Ritus dan Mitos di Piala Dunia

-- Saifur Rohman

JADWAL Piala Dunia sudah terpampang di mana-mana. Isinya dimulai dengan pertandingan pembuka antara Afrika Selatan dan Meksiko pada 11 Juni 2010. Perhelatan itu akan ditutup dengan partai final yang direncanakan pada 12 Juli 2010.

Inilah sebuah peristiwa ketika masyarakat dunia tidak boleh tidak mengikuti ritus akbar empat tahun sekali. Tak mengherankan jika jadwal yang beredar di tengah-tengah masyarakat kemudian dikemas oleh para produsen barang sebagai media iklan paling efektif.

Kita tidak sedang membicarakan masyarakat konsumer. Bukan pula sepak bola. Kita sedang mengidentifikasi suatu fenomena budaya populer terkini ketika jadwal menonton olahraga menjadi sama penting dengan jadwal ibadah.

Lebih dari itu, yang perlu ditanyakan, bagaimana proses teknik menciptakan mitos-mitos baru sehingga tidak hanya menghasilkan kelas konsumer dalam stratifikasi masyarakat, tetapi memunculkan sebuah jemaat? Bagaimana prosesi budaya pop membentuk masyarakat mistis?

Kajian ini akan merefleksikan masyarakat kontemporer dalam perspektif mitologi. Sebab, pada akhirnya, rancang bangun argumentasi ini hendak menyatakan bahwa sebetulnya struktur dasar masyarakat kita tidak berbeda jauh dengan masyarakat tribal dan primitif.

Mitologi

Kajian mitologis yang dilakukan Claude Levi-Strauss terhadap suku-suku di daratan anglo sakson memberikan gambaran tentang pola-pola berpikir, kehendak, dan tindakan yang diekspresikan melalui gambar simbolis, tato di wajah, dan ritus-ritus tertentu. Stabilitas komunitas digaransi oleh kesamaan mitos. Tiga unsur utama mitos disebut mitem, yakni simbol, ritus, dan pemeluk. Simbol adalah mesin yang memproduksi makna yang sakral, suci, adimanusiawi. Ritus diartikan serangkaian tindakan terpola dan pemeluk adalah hasil dari mobilisasi massa untuk stabilisasi pola-pola sosial.

Bila logika itu direfleksikan di dalam kenyataan kontemporer, tampaklah bahwa penonton sepak bola masa kini telah menyerupai para pemeluk mitos. Ritus-ritus kecil dilaksanakan di kafe atas nama menonton bersama sebuah pertandingan. Simbolnya adalah sebuah piala.

Penyakralan simbol agar tampak suci dan adimanusiawi itu dibuktikan dalam acara tur trofi Piala Dunia yang dilakukan sejak September 2009. Piala itu telah melintasi 50 wilayah Afrika, negara-negara Asia, Eropa, dan Amerika, menempuh perjalanan 134.017 kilometer atau tiga kali diameter bumi.

Ketika singgah di Indonesia, Minggu (24/1/2010), trofi yang terbuat dari emas 18 karat dan berat 6.275 gram itu dijaga kesakralannya. Makanya, sejak awal dikatakan hanya orang-orang terkemuka bisa menyentuh piala itu. Syahdan, Senin (25/1) di depan Istana Merdeka, hanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ”diperbolehkan” mengangkat trofi itu dan memberikan sambutan.

Sesuai alur mitologi, disusunlah senarai orang-orang hebat yang pernah memegang piala itu. Mereka adalah para bintang sepak bola Fabio Cannavaro (2006), Ronaldo (2002), Zinedine Zidane (1998), Dunga (1994), Lothar Mathaeus (1990), Diego Maradona (1986), Paolo Rossi (1982), Mario Kempes (1978), dan Franz Beckernbauer (1974).

Menurut panitia di Indonesia, kesakralan trofi itu memang sengaja dilakukan untuk menghargai prestasi dan keringat. Sebab, sekali lagi, ”Tidak sembarang orang bisa menyentuhnya” (Kompas, 26/1/2010).” Tapi setiap orang tentulah boleh menontonnya karena kesakralan itu diciptakan agar bisa ditonton.

Hubungan mistis

Penonton sepak bola di Indonesia sebetulnya mencerminkan jenis penonton mistis. Mereka seakan-akan memiliki hukum ”harus menonton”.

Gambaran itu jelas memperlihatkan bagaimana implementasi ritus purba yang mendapatkan bentuk modern terjadi dalam struktur masyarakat pop. Penciptaan mitos dalam konteks budaya populer menghasilkan jemaat yang kesurupan. Seperti para shaman membuai dan membius anggota sebuah suku dalam upacara-upacara mereka.

Karena itu, selaiknya kita berupaya menawarkan celah-celah alternatif di mana kita dapat meloloskan diri melalui pemahaman rasional sebagai titik terjauh untuk mencapai sadar diri. Kesadaran yang memahami bahwa kita sesungguhnya tidak pernah mampu beranjak keluar dari kisaran masyarakat mistis.

* Saifur Rohman, Penulis Buku, Dosen Filsafat di Universitas Semarang

Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Juni 2010

No comments: