JANGAN sekali-kali membentur perempuan Afrika Selatan, mereka itu sungguh tembok karang yang susah goyang. Itu peringatan terhadap siapa saja, sebaiknya jangan menindas dan mengeraskan kaum hawa kulit hitam itu karena sejarah sudah membuktikan, mereka itu bukanlah kaum lemah lembut gemulai, penakut, dan klemar-klemer macam putri-putri ayu keratonan.
Sejak lama perempuan Afrika Selatan sudah direken sebagai perempuan aktivis dan tampil di segala forum penting, bukan hanya menjadi pemain sepak bola putri nasional Afrika Selatan yang dijuluki ”Banyana Banyana” atau girls-girls, ya perempuan-perempuan wanita-wanita.
Kehadiran perempuan amat terasa mulai dari tingkatan pasar tradisional sampai dengan kantor parlemen. Perempuan sudah diakui masyarakat Afrika Selatan sejak awal kebangkitan ”nasionalisme” Afrika Selatan.
Peranan perempuan Afrika Selatan ini mulai terasa dan amat menonjol sejak hadirnya Miriam Makeba di Johannesburg. Kehadiran Miriam Makeba sebagai penyanyi lagu-lagu rohani rakyat Afrika, sejak tahun 1960, sudah membuka mata pemerhati dunia, soal adanya penindasan orang atas manusia di Afrika Selatan.
Berita rasisme
Miriam Makeba tidak hanya bernyanyi, tetapi wanita perkasa ini juga menyampaikan berita rasisme apartheid di Afrika Selatan, yaitu kaum hitam ditindas dan disakiti jiwa raganya oleh pendatang berkulit putih dengan segala macam alasannya.
Makeba di corong podium mengatakan dalam bahasa Inggris, ”You strike the women and you strike the rock.” Jangan membentur perempuan Afrika Selatan yang sekeras gunung karang. Istimewanya, Miriam Makeba dengan suara mezzo sopran khasnya melantunkan merdu lagu-lagu rakyat Afrika Selatan. Bukan hanya di panggung ruang rapat, melainkan sampai di mimbar kehormatan Persatuan Bangsa-Bangsa di Amerika Serikat pada tahun 1963.
Buat dunia hiburan musik, Miriam Makeba mengedarkan piringan hitamnya berisikan lagu-lagu merdu, antara lain ”Pata-pata” … dan ”Soleram”.
Ya lagu rakyat ”Soleram” dari Indonesia. Lagu rakyat yang anonim itu dengan lafal ”suriram”, mungkin berasal dari Riau, menjadi lagu gacoan perempuan pejuang hak asasi manusia Afrika Selatan di forum internasional. Pada zaman belum maju itu lagu ”Suriram” ini beredar juga di Indonesia, paling tidak di Jakarta, sekitar awal 1960-an.
Suriram ram-ram / Soriram ram-ram / Suriram yang manis … / Aduhai nak manis / Sayang …. Begitu kira-kira sisa ingatan perihal lagu ”Soleram” yang anak manis, tetapi bunyi kalimat bait itu menjadi: ”Suriram ram-ram yang manis…. Meski rada ter-pletot-pletot bunyi baitnya, lagu ”Soleram” pada saat itu amat mengejutkan karena dinyanyikan Miriam Makeba dengan duet bersama Harry Belafonte yang ngetop dengan lagu ”Island In The Sun”.
Mama Afrika
Miriam Makeba pun didaulat dunia internasional sebagai Mama Afrika. Pemerintah apartheid Afrika Selatan tentu saja dongkol, kontan mencabut paspor tunggal Makeba selama 30 tahun. Jadilah Miriam Makeba warga negara dunia, menjadi warga stateless sambil berkeliling dari forum ke forum hak asasi dunia, sambil mengecam rasisme yang masih ada di Afrika Selatan, sementara dirinya terkatung-katung tidak bisa mudik dan pidato di hadapan warga sendirinya.
Tahun 1990-an, Miriam Makeba balik ke kampungnya di Jo’burg. Makeba yang sudah beken sebagai Mama Afrika, so pasti disambut hangat karena ikut mendukung pembebasan Nelson Mandela yang sudah disekap selama 27 tahun di penjara Afrika Selatan.
Apalagi setelah Mandela menerima Nobel dengan Anugerah Perdamaian bersama Frederik Willem de Klerk pada tahun 1993 serta Mendela menjadi Presiden Afrika Selatan tahun 1994, Miriam Makeba pun masih menyanyikan lagu ”Suriram ram-ram”.
Afrika Selatan, yang tuan rumah Piala Dunia XIX kini, tentunya kaum perempuan di sana ikut main, maksudnya ikut menjadi pengurus pelaksanaannya, bukan pemain dalam tim Banyana Banyana. Suatu waktu pada tahun 2005, Makeba dengan lantang tampil dan bukan menyanyikan lagu ”Suriram”, tetapi berpidato dengan keras kalimat menusuk tajam:
”Kami baru sebelas tahun menjejak di tanah demokrasi, tetapi kami sudah bergerak, sudah bergerak maju lebih cepat dibandingkan dengan negara yang sudah merdeka lama sekali, ya sudah merdeka lama sekali. Kini kita harus tetap bersatu, kita semua tidak peduli apakah… hitam, putih, atau apa saja…”
Umur Miriam Makeba (1932-2008) selesai pada hitungan umur 76 tahun. Mama Afrika ini meninggal dunia ramai pada saat kampungnya menjadi tuan rumah pesta bola dunia. Kalau saja Mama Afrika masih sehat, perempuan ”sekeras gunung karang” rasa-rasanya cocok tampil di podium, sambil berpesan soal demokrasi dan menyanyi lagu ”Soleram”.
Penonton senang, rakyat Indonesia pun bangga. Kita senang karena lagu ”Soleram”, bukan karena ikut bermain, ya main-main. (RUDY BADIL, Wartawan Senior)
Sumber: Kompas, Sabtu, 12 Juni 2010
No comments:
Post a Comment