Sunday, May 26, 2013

Meraup Bijak dari Sajak

-- Riza Multazam Luthfy

SEPENGGAL sajak Taufik Ikram Jamil (TIJ) bertajuk Pujangga Hasan Junus yang terbit pada 1 April 2012 dipetik menjadi judul buku ini, Sekeping Ubi Goreng. Selain karena memang patut diapresiasi, sajak tersebut dipersembahkan kepada Hasan Junus sebagai sastrawan Riau yang disepuhkan. Bila merunut asbabun nuzul-nya, sajak berisi enam bait tersebut direkacipta selepas keberangkatan Hasan Junus menghadap Sang Maha Perancang tepat sehari sebelum karya TIJ ini lahir, yaitu 30 Maret 2012.

Guna menuang secuil memoar Hasan Junus, TIJ menulis: engkau telah membaca/ saat huruf-huruf baru menyusun makna. Dari potongan sajak di atas, terlihat keseriusan TIJ dalam menggambarkan sosok Hasan Junus, baik dalam mengekalkan imajinasi dan intuisi maupun ketika menghayati ritme kehidupan. Proses kreatif Hasan Junus dalam berkarya ataupun saat berkontemplasi, menghayati alur hidup, divisualkan dengan kata ‘membaca’. Barang tentu kata kerja ‘membaca’ tidak terbatas pada telaah buku, catatan, coretan, surat, serat, dan lain sebagainya, namun lebih luas dan menjangkau hingga tataran mikrokosmos dan makrokosmos: seluruh rangkaian peristiwa di jagat raya. Bukan asal-asalan jika TIJ memilih kata satu ini. Sebab dengan membaca, kita bisa mengerti apa makna kehidupan sesungguhnya. Dengan membaca, kita mampu memahami esensi di balik segala fakta-realita.

Meskipun demikian, kegiatan ‘membaca’ oleh Hasan Junus sebenarnya barulah berada pada tahap permulaan. Hal ini ditunjukkan dengan frase: saat huruf-huruf baru menyusun makna. Mengingat, bagaimana pun juga manusia, siapa pun dia, berapa pun usianya, akan terus mengalami proses pembelajaran. Jadi, seorang pembelajar dituntut untuk senantiasa mengikuti garis-garis dalam memungut remah-remah pengetahuan, hingga ia bersua dengan batas besar yang menjadi penghalang (baca: ajal).

Bagi TIJ, kepergian Hasan Junus menyebabkan keintiman dan keakraban dengannya selama ini harus dikorbankan. Inilah yang menyebabkan TIJ ‘kurang terima’ dengan kematian yang datangnya begitu tiba-tiba. Dengan penuh rasa menyesal, maka ia mempertanyakan kepada ‘yang diratapi’ ihwal kepergian yang terkesan amat tergesa-gesa: maka bagaimana engkau bisa pergi/ sementara semuanya masih di sini, di pucuk sajaknya.

84 karya dari 23 penyair yang terikat dalam buku terbitan Yayasan Sagang, Riau, akhir tahun 2012 ini merupakan sajak-sajak yang terbit di Riau Pos (rubrik Pujangga) setiap hari Minggu sepanjang tahun 2012. Sejumlah penyair terbilang produktif mengirimkan sajaknya, semisal Taufik Ikram Jamil, Saukani al Karim, Jefri al Malay, M Badri, Musa Ismail, Riki Utomi, Marhalim Zaini, Isbedi Setiawan, dan Alvi Puspita, yang merupakan deretan nama dalam kancah sastra Indonesia. Akhir-akhir ini, muncul pula beberapa nama baru, seperti Monda Gianes, Ekky Gurin Andika dan Deni Afriadi. (halaman vi)

Tema-tema yang menjadi pilihan para penyair kini jauh lebih beragam. Namun demikian, persoalan Melayu dengan ‘rasa’ tempatan yang sangat lokal senantiasa menarik untuk ditulis, baik dengan rasa lama maupun kontemporer (halaman viii).

Ihwal Melayu yang di maksud misalnya bisa ditengok dalam sajak Terkenang Melayu. Penyairnya, Sukardi, menyentak pembaca dengan racikan kata memesona: senandung Melayu/ kecintaanku memukat/ seperti hitam kopi yang mengendap/ tentang Melayu/ resam adat kutampi dari zaman ke zaman/ hingga kini masih terjunjung.

Dengan sajak ini, kecintaan membabibuta pada akar sejarah Melayu dilukiskan begitu merdu dan mendayu-dayu. Kopi hitam sebagai visualisasi atas hati yang sedang dimabuk cinta menunjukkan bahwa meskipun bermodal tamsil sederhana, akan tetapi penyair tetap sanggup menghidangkan ‘rasa’ sajak yang istimewa.

Lain halnya dengan Marhalim Zaini yang menyajikan keindahan dan keberlimpahan makna dalam sajak Birahi Gunung: dari debu,/ kau menulis di daun-daun/ tentang duka tanah/ di malam ketigabelas/ yang gemetar// ada gigil,/ bukan oleh gugur hujan, dan/ dingin musim, tapi anak-anak api/ yang mendidih/ dalam tubuhmu// aku birahi, bisikmu.

Pemikiran yang mendalam tentang hakikat kehidupan didapatkan penyair dari ‘sosok’ gunung. Menghasilkan sajak yang memikat dengan memberdayakan kata-kata ‘lama’ untuk diolah menjadi metafora baru tentu bukan pekerjaan mudah. Tetapi, penyair sanggup melakukannya dengan lembut dan bernas.

Adapun refleksi atas penciptaan alam dan isinya menjadi daya kekuatan sajak Segumpal Tanah oleh Musa Ismail: segumpal tanah di tangan-Mu/ menjadi manusia dan pucuk-pucuk cemara/ menjadi hati dan buih-buih lautan/ juga daun-daun kering berguguran/ di hamparan bumi luas membentang.

Dari cuilan sajak di atas belum nampak kegenitan penyair dalam ‘mencampuri’ urusan Tuhan. Kecerewetan penyair baru ditemu-rasakan dalam cuilan lainnya: rerumputan hijau, sejuk di telapak hati/ alirkan air ke nadi-nadi kehidupan, kebijaksanaan/ dari tanah-tanah yang merekah di musim kemarau/ langkah-langkah yang menjejaki tanah-Mu/ adalah segumpal tanah dari tangan-Mu/ menjadi putih, menjadi hitam/ lalu, kembali dalam kekosongan/ diam.

Yang patut dinikmati tentu bukan hanya beberapa sajak yang telah disebut. Masih banyak sajak lain, semisal: Semburat Titis Hijau (Sujud Arismana), Adik Tak Berbaju (Muhammad Hanif MA), Bulan Berkalam (Kuni Masrohanti), Tentang Kepulangan (Hajral Sofi), Secangkir Kopi Sore Hari (Dwi S. Wibowo), Dialog sepasang Hawa (Nuraini), dan Kita Masih Saja Berbicara Lewat Peka Hujan (Refila Yusra).

Buku ini kian menarik, sebab di samping dipadati dengan sajak-sajak yang lembut, juga diselingi sejumlah lukisan. Di antaranya yaitu Meraih Prestasi (Dantje S. Moes), Wajah, Tangan dan Kaki (Furqon Elwe), Pertemuan (Masteven Romus), Jelatik (Adi Bagong), serta Bunga Lilin (M. Rafi).

Yogyakarta, 2013

Riza Multazam Luthfy, menulis puisi, cerpen dan esai. Karya-karyanya bertebaran di beberapa media, seperti Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Suara Pembaruan, Lampung Post, Koran Jakarta, Jurnal Nasional, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Koran Merapi, Tribun Jogja, Bali Post, Pikiran Rakyat, Tribun Jabar, Riau Pos, Sriwijaya Post, Surabaya Post, Radar Surabaya, Malang Post, Radar Malang, Radar Bojonegoro, Sumut Pos, Padang Ekspres, Haluan, Sumatera Ekspres, Jurnal Medan, Analisa, Waspada, Serambi Indonesia, Satelit Post, Kendari Pos, Majalah Basis, Majalah Sagang, Majalah Sabili, Majalah Annida, Majalah Cahaya Nabawiy, Okezone.com, dan Kompas.com. Cerpennya juga tergabung dalam antologi Negeri Sejuta Fantasi (2012). Ia adalah ahlul mahad Lembaga Tinggi Pesantren Luhur Malang. Sedang melanjutkan studi di program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 26 Mei 2013

Keajaiban-keajaiban dalam Novel Semusim, dan Semusim Lagi

-- Ahmad Ijazi H

SEBERAPA besar kontribusi seorang ayah dalam pembentukan karakter hidup seorang anak? Lalu, jika dalam rentang waktu 17 tahun seorang anak tak pernah bertatap muka dengan sosok sang ayah, psikologis anak tumbuh menjadi timpang sebelah, sementara kerinduan di benaknya tumbuh mengecambah, membuncah seperti air terjun yang mengalir deras. Setidaknya begitulah gambaran emosi yang dirasakan Tokoh Aku yang ajaibnya tak punya nama (sepertinya penulisnya sengaja tidak menyebutkan nama Tokoh Aku), dalam novel Semusim, dan Semusim Lagi (SDSL), karya Andita Dwifatma, yang merupakan pemenang pertama sayembara menulis novel Dewan Kesenian Jakarta 2012.

Di awal kisah, Tokoh Aku menerima 2 buah kiriman surat secara serentak. Surat pertama berasal dari sebuah universitas swasta di Indonesia, sementara yang satunya lagi adalah surat dari ayah kandungngnya yang telah 17 tahun terpisah dengannya. Usai membaca surat itu, kerinduan teramat mendalam pun seakan-akan menyesakkan rongga dadanya. Bisikan suara kecil dalam benaknya terus mendesaknya untuk segera mencari keberadaan sang ayah. Dalam surat tersebut, sang ayah menceritakan kondisi buruknya yang sedang dirawat di sebuah rumah sakit lantaran mengidap sebuah penyakit yang sangat parah (tak dijelaskan apa nama penyakitnya). Yang jelas, ia ingin sekali bertemu dengan Tokoh Aku. 

Tokoh Aku lantas meminta izin kepada ibunya yang selama ini selalu memperlihatkan sikap yang teramat dingin dan kurang bersahabat padanya. Selama 17 tahun, Tokoh Aku merasakan ibunya tak ubahnya seperti sosok alien yang tak pernah ia kenal secara utuh, tak ada keakraban, tak ada komunikasi yang terjalin hangat, kecuali hanya sekadar percakapan yang teramat kaku dan hambar. Itulah salah satu penyembab yang semakin memantapkan Tokoh Aku untuk mencari keberadaan sang ayah, meski ia akhirnya harus meninggalkan sang ibu yang juga sedang mengidap suatu penyakit (lagi-lagi penulisnya tak menjelaskan apa nama penyakit yang diderita sang ibu).

Dalam perjalanan mencari sang ayah, Tokoh Aku dipertemukan dengan J.J. Henri, pria paruh baya, berkaca mata, penyuka sejarah, dan berjanji akan mempertemukannya dengan sang ayah. Ia lalu berkenalan dengan Oma Jaya yang saat itu telah berusia 53 tahun, tetangga dekat ayahnya yang juga pernah menikahi lelaki bernama Sobron, berusia 25 tahun. Ajaibnya, dikisahkan, suami Oma Jaya (Sobron), akhirnya meninggal dunia akibat kanker ganas yang dideritanya lalu bereinkarnasi menjadi seekor ikan mas koki yang hidup dalam sebuah akuarium mahal. Selanjutnya, Oma Jaya lantas mengadakan upacara kecil di dalam kamarnya, upacara pernikahannya dengan ikan mas koki, tanpa penghulu.

Dalam kegamangan serta suasana hati yang semakin kacau lantaran tak kunjung bertemu dengan sang ayah, Tokoh Aku memilih menjalin kedekatanan dengan lelaki tampan bernama Muara yang merupakan putera kandung J.J. Henri. Sikap baik serta kepribadian mengagumkan yang ditunjukkan Muara terhadapnya membuat Tokoh Aku jatuh hati, namun tak berani mengungkapkannya. Sampai suatu ketika mereka bercinta dan melakukan perbuatan terlarang (berhubungan intim) layaknya pasangan suami istri. Sejak hari itu, tokoh aku pun tak sungkan lagi mengatakan perasaan hatinya bahwa ia sangat mencintai Muara. Namun Muara ternyata tak mencintainya. Muara hanya menganggap Tokoh Aku sebagai adik, bukan sebagai kekasih.

Dalam situasi yang sangat tidak mengenakkan itu, Tokoh Aku semakin kalut dengan kenyataan pahit yang membelenggunya. Ia kemudian diketahui sedang hamil. Ia lantas berterus terang tetang kehamilannya itu pada Muara dan memintanya agar bersedia bertanggung jawab. Tetapi gayung tak bersambut baik. Muara tak mau bertanggung jawab dengan dalih bahwa ia tak sengaja saat menyetubuhi Tokoh Aku. Saat itulah keajaiban kembali terjadi. Ikan mas koki (Sobron), tiba-tiba muncul dan berbicara seperti manusia, lalu menghasut Tokoh Aku untuk segera menghabisi lelaki bajingan yang tak mau bertanggung jawab itu. Tokoh Aku lantas mengambil pisau yang sebelumnya berada di genggaman Sobron lalu menusuk Muara dengan pisau itu di bagian leher sebanyak 4 kali tusukan. Muara terkulai di lantai dengan bersimbah darah. Sejak peristiwa itu, Tokoh Aku mengalami goncangan jiwa yang sangat hebat dan menjadi gila sehingga harus dibawa ke pusat rehabilitasi mental serta syaraf.

Di pusat rehabilitasi tersebut, Tokoh Aku kembali dipertemukan dengan hal-hal yang ajaib. Salah satunya ketia ia tiba-tiba saja melihat Muara datang mengunjunginya dengan keadaan yang sangat sehat, dengan wajah yang semakin tampan dan bersikap sangat ramah padanya, tanpa ada kebencian sedikit pun. Tetapi ketika Tokoh Aku menanyakan kembali perihal perasaan hatinya, tiba-tiba saja sosok Muara berubah menjadi Sobron, si ikan mas koki yang pandai berbicara seperti manusia. Beberapa detik berikutnya, Sobron telah berubah wujud lagi menjadi sosok ibunya yang melemparkan tatapan yang sangat hambar dan dingin. Begitu seterusnya.

Novel SDSL ini ditulis dengan deskripsi yang teramat lamban dan bercabang-cabang. Banyak sekali keajaiban-keajaiban yang muncul di dalamnya. Penulisnya sepertinya sengaja membelok-belokkan jalan ceritanya ke mana-mana sehingga ceritanya menjadi lebar dan panjang. Hal ini menimbulkan kebosanan bagi pembaca. Ceritanya menjadi tidak fokus karena banyak sekali tempelan-tempelan yang seharusnya bisa dipangkas saja oleh penulisnya sehingga kerunutan cerita dapat terpelihara dengan baik.

Yang menarik dari novel SDSL ini, selain kemasan dan tampilan covernya yang mencuri perhatian, sejak halaman pertama, pembaca sudah dibuat penasaran oleh kedatangan sebuah surat dari sang ayah. Pembaca digiring untuk mengetahui seperti apa sosok sang ayah yang sebenarnya, seperti apa sikap sang ayah pada Tokoh Aku setelah bertemu, lalu seperti apa pula kehidupan keluarga Tokoh Aku setelah ayah dan ibunya yang sejak 17 tahun silam berpisah akhirnya bertemu kembali, dan sebagainya. Untuk menjawab rasa penasaran itu, mau tidak mau pembaca harus membaca bab demi bab yang cukup melelahkan. Tetapi pembaca kemudian akan menuai kekecewaan, karena harapan-harapan itu sama sekali tidak ada di dalam novel. Pertemuan antara Tokoh Aku dengan sang ayah hanya ditulis secara singkat sebagai penutup di bagian akhir cerita.

Dalam novel SDSL ini, Andina Dwifatma hendak menyampaikan bahwa kasih sayang orang tua sangat dibutuhkan dalam pembentukan karakter anak. Orang tua hendaknya menjalin keakraban dan menunjukkan sikap yang baik kepada buah hatinya kendati ada masalah atau konflik yang terjadi dalam wilayah internal keluarga. Orang tua juga hendaknya memperlihatkan wibawa, perhatian, serta mampu menjadi pengawas yang baik bagi putera puterinya agar tidak terjerumus dalam lingkaran pergaulan bebas yang salah.

Betapa tanpa orang tua, perjalanan anak akan terkatung-katung diobang-ambing gelombang kehidupan yang teramat keras dan kejam. Orang tualah yang mestinya menyiapkan perahu serta dayung yang kokoh agar ia dapat mengarungi samudera dengan aman hingga sampai di dermaga dengan selamat. n

Ahmad Ijazi H, kelahiran Rengat, 25 Agustus 1988. Menulis esai, puisi, cerpen dan novel. Saat ini mengajar di Ponpes Al-Uswah Pekanbaru.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 26 Mei 2013

[Jejak] Agam Wispi Sastrawan Eksil Indonesia

Agam Wispi
AGAM Wispi lahir di Pangkalan Susu, Sumatera Utara, 31 Desember 1930 dan meninggal di Amsterdam, Belanda, 1 Januari 2003 pada umur 72 tahun. Agam adalah seorang penulis Indonesia, termasuk sebagai salah seorang penulis sastra eksil Indonesia. Ia mulai menjadi eksil, orang yang hidup di pengasingan, di Belanda sejak 1988. Ia adalah seorang penyair, banyak menulis sajak, juga cerpen dan drama.

Agam Wispi memulai karirnya sebagai wartawan dan redaktur kebudayaan di harian Kerakyatan dan Pendorong Medan (1952-1957). Pindah ke Jakarta (1957), Agam menduduki kedudukan yang sama sebagai redaktur kebudayaan di Harian Rakyat sampai tahun 1962 (terseling antara 1958-1959, Agam belajar jurnalistik di Berlin). Antara tahun 1962-1965, ia tercatat sebagai anggota Angkatan Laut Republik Indonesia (ALRI) sekaligus dikenal sebagai wartawan dan penyair. Ia pernah menjadi anggota Pimpinan Pusat Lekra (1959-1965).

Pada Mei 1965, Agam diundang ke Vietnam selama beberapa bulan dan sempat bertemu dengan Ho Chi Minh. Namun sejak itulah Agam tak bisa kembali ke tanah air karena arus balik politik di Indonesia. Dari bulan September 1965 sampai Desember 1970, ia bermukim di Republik Rakyat Cina. Dari 1973 sampai 1978 tinggal di Leipzig, Jerman. Di kota itu, Agam sempat belajar sastra di Institut fur Literatur dan bekerja sebagai pustakawan di Deutsche Bucheret. Kemudian sejak 1988 Agam tinggal di Amsterdam, Belanda.

Pada 1950-1960-an, Agam Wispi dikenal sebagai penyair. Salah satu sajaknya yang terkenal, ‘’Matinya Seorang Petani’’ tak saja dilarang oleh pemerintahan Soeharto tapi juga pemerintahan Soekarno. Goenawan Mohamad dalam Catatan Pinggir di majalah Tempo, menulis tentang puisi ini: Pada suatu hari Agam Wispi menyaksikan keadaan itu pada awal 1960-an, ketika di Tanjung Morawa tanah garapan para petani miskin digusur dengan traktor dan bedil, dan dari kantor Barisan Tani Indonesia rakyat melakukan protes, dan seorang petani mati ditembak:

dia jatuh rubuh satu peluru dalam kepala
ingatannya melayang didakap siksa tapi siksa cuma dapat bangkainya

Ketika sajak itu terbit dalam antologi Matinja Seorang Petani (1961) ia dilarang oleh penguasa militer yang waktu itu ditegakkan bersama dengan Demokrasi Terpimpin.

Buku-buku kumpulan sajaknya Sahabat dan Yang Tak Terbungkamkan diterbitkan oleh Lekra, Jakarta. Selama hidup sebagai orang eksilan, ia baru menerbitkan satu buku kumpulan sajak Kronologi in Memoriam 1953-1954. Dan sajak-sajak yang sempat ditulisnya selama hidup di pengasingan masih tersimpan di laci belum sempat diterbitkan. Di Amsterdam, ia sempat mengelola ruang kebudayaan di majalah Arah.

Agam Wispi pulang kembali ke Indonesia pada 1996, dan menerbitkan kumpulan puisi Pulang.(fed/berbagai sumber)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 26 Mei 2013

[Pertunjukan] Nostalgia Chairil Anwar

-- Ratu Selvi Agnesia

Momentum Hari Puisi yang mengabadikan karya-karya penyair Chairil Anwar adalah bukti bahwa karya dapat mengabadikan nama seseorang.
Kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu
Di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
Aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

Tubuhku diam dan sendiri,

cerita dan peristiwa berlalu beku


(Jang Terampas, Jang Putus oleh Chairil Anwar)

LIRIK puisi di atas menyiratkan bahwa penyair besar itu telah memprediksikan usianya yang mati muda akibat penyakit tuberkulosis dan komplikasi dengan sejumlah penyakit lain yang dideritanya. Demikian besar pengaruh karyanya terhadap semangat perjuangan bangsa Indonesia kala itu, maka hari kematiannya diperingati sebagai Hari Puisi. Enam puluh empat tahun silam, 28 April 1949, Chairil Anwar sebagai salah satu penyair besar Indonesia menghembuskan napas terakhirnya.


Pada saat itu Indonesia kehilangan salah satu seniman yang memiliki komitmen kuat dalam dunia seni, terutama seni sastra. Chairil Anwar adalah sosok yang tak mau diatur dan berwatak keras, tapi siapa yang tak akan luluh dengan puisi-puisinya. Setiap katanya bagaikan batu akik yang diutak-atik sehingga menjadi cantik setelah proses penempaan kata yang detail.

Puisinya membeberkan isi hati lewat barisan kata-kata puitiknya yang menghujam dan berdentam keras. Membuat banyak orang merasa kehilangan, sehingga sejumlah seniman dan sastrawan mengadakan acara peringatan untuk sang penyair di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Kamis (23/5) malam. Dulu acara "Chairil Anwar dalam Kenangan" tahun 2012, acara mengenangnya ini hanya dilakukan ala kadarnya di Plaza TIM.

Seniman dan sastarawan hadir membacakan beberapa sajak Chairil. Selain diisi dengan pidato sastra, juga pembacaan puisi dan musikalisasi puisi karya Chairil Anwar oleh penyair Irmansyah, Hanna Fransisca, Fathin Hamamah, Leon Agusta, Joserizal Manua, Deavies Sanggar Matahari, dan Lab Musik. Pada hari yang sama juga digelar diskusi tentang Chairil bersama pembicara Nur Zen Hae dan Adi Wicaksono.

Penyair Sutardji Calzoum Bachri dalam pidato sastranya secara khusus menyampaikan kepenyairan Chairil Anwar. Sebagai tokoh penting sastra modern Indonesia, "Chairil adalah penyair pesanan, yaitu penyair yang dipesan oleh zamannya." Sepanjang perjalanan hidupnya yang singkat, Chairil telah menelurkan sejumlah karya. Leon Agusta dengan bersemangat membacakan "Catatan Tahun 1946".

Pada malam itu hadir pula Evawani Alissa, putra Chairil Anwar, yang mengenal Chairil Anwar dari cerita HB Jassin, Asrul sani, dan Rosihan Anwar. "Saya ditinggal ayah saat usia satu tahun 10 bulan. Saya baru tahu ayah saya pada kelas 3 SD," ujar Eva.

Dilihat dari segi kuantitas, karya-karya Chairil terbilang tak begitu banyak, namun luar biasa dalam kualitas. Ia menghasilkan sekitar 94 karangan dan 70-an sajak, hingga ajal menemuinya dalam usia 27 tahun. Ia mati muda. Namun, karya-karya yang dihasilkannya telah mengabadikan namanya hingga kini.

Momentum Hari Chairil Anwar adalah pembuktian bahwa karya dapat mengabadikan nama seseorang. Sementara waktu bergulir, karya-karya terus terlahir dan menemukan takdir masing-masing. Begitu juga puisi, meski kerap dilontarkan tanya "Kenapa dan untuk siapa puisi ditulis?" Serupa buah ranum dan bersiap meranggas dari tampuknya, pada waktunya puisi akan berlepasan dari pucuk jantung, dan tak satu pun dapat mencegahnya.

rselvia@jurnas.com

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 26 Mei 2013

[Pustaka] Menertawakan Diri Sendiri, Mengenang Masa Lalu

-- Dodiek Adyttya Dwiwanto
Judul Buku : Kamus Istilah Komentator Bola

Penulis : Muhammad Mice Misrad

Penerbit : Octopus Garden Publishing

Cetakan : Kedua, Januari 2013

Tebal : 112 halaman

TATKALA baru membuka beberapa lembaran buku ini, sudah jelas saya tertawa terpingkal-pingkal melihat komik Kamus Istilah Komentator Bola ini. Lucu? Sudah jelas kalau Mice memang sejak lama bisa mengungkapkan banyak hal lewat kartun terutama sejak “debutnya‘ lewat Lagak Jakarta yang keluar pada akhir 1990-an.

Transfer pemain, belanja pemain, pemain termahal, pemain yang sedang bersinar, pemain pinjaman, pemain veteran, penyerang yang subur, penyerang yang tajam, penyerang haus gol, spesialis bola mati, bola muntah, bola liar, bola keluar meninggalkan lapangan.

Menggoreng bola, memotong bola, kontrol bola, mengutak-atik bola, gol cantik, gol bunuh diri, banjir gol, puasa gol, merobek gawang lawan, menyisir pinggir lapangan, sepak pojok, tackling keras, diving, dibayang-bayangi lawan, kembali merumput.

Cedera panjang, memanfaatkan lebar lapangan, mempertajam lini depan, umpan matang, umpan jauh, umpan pendek, salah umpan, menjamu tim lawan, team underdog, tim kuda hitam, stadion angker, gantung sepatu, wasit berat sebelah, wasit menunjuk titik putih, wasit meniup peluit panjang.

Istilah-istilah ini sering digunakan oleh komentator sepak bola saat mengiringi jalannya pertandingan. Sebenarnya sih, para penulis atau kolumnis sepak bola juga menggunakan dalam tulisan-tulisan mereka, ya termasuk saya juga. He-he-he.

Sebagai orang yang pernah mampir menjadi staf redaksi majalah sepak bola, penulis lepas sepak bola di surat kabar, lantas berlanjut menjadi editor dan kolumnis sepak bola di sebuah harian nasional tentu saja komik ini seperti meledek saja. Apalagi saya juga nyaris menjadi komentator televisi untuk tayangan sepak bola, namun lantaran sadar diri tidak pede di depan kamera, saya urungkan niat itu.

Saat mengawali buku, Mice mengilustrasikan sejumlah pendapat masyarakat umum tentang komentator sepak bola. Komentator dianggap banyak omong, hanya tahu teori doang, tidak bisa bermain, bikin ngantuk dan prediksi sering salah. Tetapi ada juga yang menyukainya karena bisa dijadikan referensi terutama untuk taruhan atau menambah pengetahuan sepak bola.

Yang menohoknya Mice malah menggambarkan dirinya sendiri tengah menantikan pertandingan sepak bola usai membeli penganan kecil di warung dengan mendengarkan ocehan sang komentator yang diilustrasikannya sedang berbusa-busa. Ha-ha-ha-ha.

“Sementara sudah banyak pemirsa yang ketiduran, sang komentator masih asyik mengeluarkan istilah-istilah mereka yang menggelikan di telinga kita.‘ Inilah yang termuat dalam sebuah caption. Lucu memang, meski saya juga tidak mau lagi tertawa keras karena ini sama saja menertawakan sejumlah kolega dari majalah tempat saya bekerja dulu yang sekarang menjadi komentator sepak bola.

Entah kenapa masyarakat Indonesia begitu “antipati‘ dengan komentator sepak bola. Mungkin lantaran dianggap banyak omong doang. Banyak yang memilih melakukan sesuatu ketika pertandingan belum dimulai atau saat jeda laga ketimbang mendengarkan ocehan komentator.

Padahal komentator menyelipkan sejumlah informasi penting yang mungkin tidak diketahui para penggemar sepak bola, bahkan soal statistik dan prediksi yang pasti berguna bagi para petaruh. Ya, mungkin saja buku ini berguna bagi para komentator untuk bisa mengemas ulasannya lebih menarik, tidak lagi menjadi bahan ledekan.

Seperti buku-buku sebelumnya, Mice sudah pasti melakukan riset sebelum menuangkannya dalam kartun. Tetapi bisa saja ada yang terlewat atau mungkin dianggap tidak perlu. Bagaimana dengan istilah jebakan offside, tim raksasa, gantung sarung tangan, dan masih banyak lagi?

Sebenarnya buku Kamus Istilah Komentator Bola seperti dua buah buku lantaran di halaman belakang ada bagian Football‘s Coming Home. Ini seolah menjadi nostalgia Mice alias Muhammad Misrad sang kreator mengenang masa kecilnya di era 1970-an saat mulai menyukai sepak bola.

Misrad mengenang di jaman itu dia bermain sepak bola di sebuah lapangan kosong atau di pinggir pantai, kebetulan rumah orangtuanya terletak di Jakarta Utara. Bola yang digunakan bola plastik yang keras ketika ditendang oleh bocah kecil, bisa melenting semaunya saat terkena angin. Nostalgia yang tiada duanya.

Setelah sekian puluh tahun, lapangan bola itu telah disulap menjadi restoran seafood sementara pantainya malah menjadi real estate. Pasti banyak yang mengalaminya, ini lantaran pesatnya perkembangan pembangunan terutama kota Jakarta. Nah, ini juga menjadi permasalahan tidak hanya bagi semua pemangku kepentingan. Tidak ada lapangan bola di Jakarta bagi anak-anak dan remaja. n

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 26 Mei 2013

[Sosok] Sang Komikus dan Pelakon Teater

-- Ratu Selvi Agnesia

Hasmi tidak hanya dikenal sebagai komikus lewat tokoh ciptaannya "Gundala". Dia juga setia melakoni dunia teater.

KOMIKUS yang sakit-sakitan tengah berseteru dengan tokoh-tokoh pahlawan yang berkelaliaran di imajinasinya. Di panggung itu tokoh-tokoh pahlawan yang dipimpin oleh Gundala Putera Petir merencanakan untuk mengatasi penjahat yang mengancam kedamaian. Sesekali Komikus itu berbincang langsung dengan para pahlawan untuk memberikan saran, meski sebenarnya hasil perbincangan itu merupakan representasi yang ada di kepala Komikus tua.

Itulah peran Hasmi (66) dalam lakon teater "Gundala Gawat" persembahan Teater Gandrik yang dikenal dengan sampakan di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (26/4). Adegan yang diperankan Harya Suraminata dalam "Gundala Gawat" tidak lama, namun menjadi penting karena seolah mewakili kenyataan Hasmi dalam keseharian berkaya menggambar komik dan juga sebagai pelaku teater.

"Saya seperti mengenal Gundala tempo dulu," tutur Hasmi seusai pementasan Gundala Gawat yang naskahnya ditulis oleh Goenawan Muhammad sebagai bentuk parodi satir.

Hampir setengah hidupnya dihabiskan Hasmi untuk dunia kesenian. Sebagai Komikus kondang, laki-laki kelahiran Yogyakarta, 25 Desember 1955 ini telah terbiasa menggambar sejak di bangku SMP BOPKRI 1. Setelah lulus SMA, Hasmi yang pernah bercita-cita jadi insinyur sempat kuliah di Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) namun seri Gundala banyak menyita waktunya sehingga Hasmi menyelesaikan kulihnya di Akademi Bahasa Asing jurusan Bahasa Inggris. Hasmi telah menerbitkan 23 judul seri Gundala antara tahun 1969-1982. Rentang waktu yang cukup lama membuktikan Hasmi produktif dalam bidang komik.

Diceritakan bahwa Gundala memperoleh kekuatan petir karena diberi kekuatan oleh raja kerajaan petir yang bernama Kaisar Kronz. Alur cerita Gundala ini pun menggunakan latar belakang Indonesia, tepatnya Yogyakarta. Sedangkan filmnya yang diluncurkan pada tahun 1982 menggunakan latar kota Jakarta.

Sebelumnya, Hasmi menciptakan tokoh Maza yang muncul pada 1968. Petualangan Gundala Putera Petir harus berakhir pada 1982 dengan judul buku seri terakhir "Surat dari Akhirat" yang pernah kembali muncul sebagai komik strip di Jawa Pos pada 1988, meski ternyata tidak bertahan lama. Hasmi juga pernah menciptakan tokoh: Kalong, Pangeran Mlaar, Sembrani dan Jin Kartubi. Setelah itu Hasmi banting setir menjadi penulis skenario sinetron dan film.

Sedangkan di dunia teater, pertama kali Hasmi bergabung dengan Teater STEMKA pada tahun 1970-an. Sebelumnya Hasmi juga kerapkali menjadi pelawak selain aktor. Dia juga sering menjadi sutradara. Jika peran serius digarap oleh teaterawan Landung Simatupang, untuk peran kocak selalu didaulat oleh Hasmi seperti karya "Moilere" Teater Stemka, selain pentas antarpanggung juga sering diundang di televisi lokal Yogyakarta.

"Komik dan teater itu dunia saya, saya bergabung dengan teater sudah lama sekali, Jogja selalu berlandaskan ketoprak dan Gundala Gawat selalu relevan sebagai suatu pengayaan, bahwa superhero harus disesuaikan dengan kenyataan, yang menyejahterakan rakyat," kata Hasmi.

Lantas, bagaimana dengan superhero asli Indonesia? Hasmi menjawab dengan santai, "Superhero Indonesia kebanyakannya curhat mulu," kata Hasmi diiringi senyum.

rselvia@jurnas.com

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 26 Mei 2013

[Tifa] Evawani Hadir Mengenang si Binatang Jalang

KEPENYAIRAN Chairil Anwar masih menjadi sebuah daya magis yang terus diperbincangkan. Keberadaan ‘si binatang jalang’ itu semakin menjadi simbol kebebasan dalam dunia kesusastraan, terutama sajak.

CHAIRIL ANWAR DALAM KENANGAN: Penyair Sutardji Calzoum Bachri tampil
dalam acara "Chairil Anwar Dalam Kenangan" di Teater Kecil Taman Ismail
Marzuki (TIM), Cikini, Jakarta, Kamis (23/5). Acara tersebut merupakan
kegiatan untuk mengenang penyair besar Chairil Anwar yang karyanya
sangat berpengaruh dalam dunia perpuisian Indonesia dan terus bertahan
hingga saat ini. (MI/IMMANUEL ANTONIUS)
Lewat malam mengenang Chairil bertajuk Chairil Anwar dalam Kenangan, di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan pekan ini, sederet penyair mencoba mengenang dia lewat kata.

Mereka mengumandangkan petilan-petilan sajak-sajak yang Chairil buat semasa hidupnya. Setiap hembusan kata masih enak didengar, merdu dilantunkan, dan tentunya penuh kritikan.

“Saya mengenal ayah (Chairil Anwar) dari cerita HB Jassin, Asrul Sani, dan Rosihan Anwar. Saya ditinggal ayah saat usia 1 tahun 10 bulan. Saya baru tahu ayah saya pada kelas 3 SD,” ujar putri Chairil Anwar, Evawani Alissa, di sela-sela acara tersebut.

Eva, yang terlahir dari ibunda Hapsah, merasa terharu dengan pergelaran malam mengenang Chairil tersebut. Untuk itulah, ia berharap para seniman dapat menjadikan peristiwa itu sebagai sebuah momen yang bersejarah. “Saya seakan kehilangan kata-kata,” tuturnya, datar.

Pada acara tersebut, sederet penyair hadir membacakan karya-karya Chairil. Mereka antara lain Leon Agusta, Fatin Hamama, dan Jose Rizal Manua. Ada pula Sutardji Calzoum Bachri hadir dengan memberikan orasi kesusastraan. Keberadaan sajak-sajak Chairil masih terdengar merdu. Leon, misalnya, lantang membacakan Catatan Tahun 1946. Ia terlihat menjiwai dalam membacakan petilan syair-syair yang sangat melegenda itu.

Pada kesempatan tersebut, sajak-sajak lain juga dibacakan, seperti Aku dan Sebuah Kamar. Dua ratusan penonton yang hadir cukup antusias memberikan apresiasi. Ini menjadi penampilan cukup 'megah'.

Pada 2012, acara mengenang Chairil hanya dilakukan ala kadarnya di Plaza Taman Ismail Marzuki. Saat itu, Sutardji juga turut hadir membacakan beberapa sajak Chairil.

Simbol kebebasan

Kendati sebagai sosok yang ‘diagungkan’ dan simbol kebebasan pada zamannya, sajak-sajak Chairil masih memiliki relevansi dengan kehidupan masa kini. Sajak Aku, misalnya, begitu kental dengan kondisi hidup individualistis yang tanpa disadari terjadi di sekitar kita. “Sangat penting untuk mengenang Chairil. Ini menjadi hal menarik untuk melihat sisi kreativitas sang tokoh angkatan '45 itu,” ujar Sutardji.

Perhelatan acara tersebut juga menjadi penting. Apalagi, kita akan merayakan Hari Sastra Nasional pada 3 Juli mendatang. “Senang bila dalam Hari Sastra nanti, Nini (panggilan untuk Chairil) masih dikenang oleh dunia sastra Indonesia,” timpal Evawani, yang hadir menggunakan tongkat, malam itu.

Kehadiran para penyair, simpatisan, hingga Evawani sendiri dalam acara tersebut menjadi bukti penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia. Sebuah perayaan yang sederhana, tetapi bermakna.

Direktur Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki Bambang Subekti mengaku penyelanggaraan malam mengenang Chairil menjadi penting. “Sekarang masih sederhana. Ini sudah lebih baik dari tahun lalu. Tahun depan, acara ini bisa dilakukan dalam skala besar,” janjinya.

Meski Chairil sudah meninggal pada 28 April 1949 silam, namanya selalu harum dan senantiasa dikenang. Karya-karyanya masih terus diperbincangkan dan dibacakan selayaknya harum mawar yang tetap mewangi di sebuah taman hati. (Iwa/M-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Mei 2013


[Tifa] Kasih Putih di Atas Apel

-- Iwan Kurniawan

Penghayatan mengenai ajaran universal membuat ia menuangkan semua ide ke dalam lukisan, instalasi, dan patung. Ada bahasa rahasia yang seakan tersembunyi di balik setiap apel.

DEDDY PAW: Seorang pengunjung memotret lukisan berjudul "The Best Offering"
yang dipamerkan dalam pameran tunggal seniman Deddy PAW bertajuk "Love, Life,
Pray" di Amanjiwa Art Room, Kecamatan Borobudur, Magelang, Jawa Tengah,
Kamis (16/5). Pameran tersebut berlangsung pada 18 April-18 Juli 2013. Deddy
yang pernah bekerja cukup lama sebagai desainer grafis di Media Indonesia
tersebut mengkhususkan diri dalam mengeksploasi apel tersebut dikenal sebagai
"Pelukis Apel". (MI/PANCA SYURKANI)
GERIMIS hujan baru saja reda sore itu. Pemandangan Candi Borobudur dari depan pelataran Amanjiwo Art Room tampak jelas. Tidak sebesar ukuran jempol tangan. Memikat mata dari kejauhan.

Di sudut bangunan, sepasang wisatawan asing tampak baru keluar dari ruangan galeri itu. Tak banyak bicara, hanya senyum yang terselip. Mereka melangkah, lalu meninggalkan ruangan pemeran yang terletak di Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Di balik suasana perdesaan itu, seniman Deddy PAW sedang menggelar pameran tunggal bertajuk Love, Life, Pray. Ada setiap pesan yang terbungkus rapi lewat karya-karya terbaru yang dipajang di Amanjiwo Art Room itu.

“Ide dan ekspresi berawal dari hidup saya yang semakin tua. Di sini, saya coba tuangkan ide lewat instalasi (patung) dan lukisan,” ujar Deddy di sela-sela pameran, pekan lalu.

Pameran yang menyuguhkan 18 karya terbaru itu berlangsung sejak 18 April dan akan berakhir pada 18 Juli mendatang. Setiap karya begitu erat dengan ajaran Buddha. Meski sebagai penganut Islam, Deddy mengaku terinspirasi oleh ajaran dan jalan hidup Buddha mengenai kasih sayang, perdamaian, dan hidup sederhana.

Jika diperhatikan secara jeli, karya-karya lelaki gondrong kelahiran Magelang, 18 Oktober 1963, itu menghadirkan tema Apel enigmatis. Penggunaan istilah enigmatis di sini berdasarkan pertimbangan sifat ungkapan karya yang bersifat simbolis--mengundang tanya, misteri, atau teka-teki sekitar buah apel dalam konteks persoalan eksistensi manusia.

Tak ayal, Deddy memaknai apel sebagai sebuah simbol. Itu berkaitan dengan pesan-pesan kebaikan yang terdapat pada citra apel dalam konteks kemanusiaan secara universal. Ada kehidupan, kedamaian, dan harapan.

Still life

Alam benda (still life) yang terlihat pada 13 lukisan dan 5 instalasi (patung) karya Deddy menunjukkan ada persoalan tentang pengharapan. Karya lukis berjudul Overwhelming of Blessings (120x160 cm), misalnya, menghadirkan objek Buddha tersenyum. Ia sedang duduk bergelimang seribuan apel bercorak emas dan perak. Di tangan kiri, terlihat ia memegang sebuah apel malang.

Tampilan bentuk-bentuk buah pada genre lukisan semacam itu sebagai cara untuk menyebut beberapa motif favorit. Bukan demi sebuah gagasan simbolis, melainkan lebih pada aspek representasi maupun pemujaan (allegories).

Karya The Silent Act of Love pun menghadirkan sebuah arca orang bersemedi dengan balutan setumpuk apel berwarna-warni di depan arca. Namun, Deddy menghadirkan goresan abstrak sebagai latar belakang objek utama.

Apel-apel yang bercorak stainless dan emas merupakan simbol alam benda. "Jadi, semua (harta benda) tak penting saat kita mati. Yang kita bawa hanya apel (merah), yaitu amal baik dan perbuatan baik," jelas ayah tiga anak itu, sedikit berfilosofi.

Deddy juga menghadirkan sosok Buddha tersenyum dalam karya lainnya. Itu jelas terlihat pada tiga seri lukisan The Best Choice (160x120 cm). Ikon tersohor itulah yang digunakan sebagai representatif Buddha.

Sebenarnya itu berasal dari seorang biksu pengembara yang melegenda bernama Pu-Tai (di Jepang bernama Hotei) yang diyakini sebagai Buddha Maitreya.

Selain lukisan, ada lima instalasi berbahan dasar stainless steel dan aluminium yang dipamerkan. Kelimanya ialah Peace of Mind, Peace of Earth (Abhaya Mudra) (45x45x45 cm), Happy Forever (54x54x54 cm), The Best Offering (60x35x13 cm), Love Produce Love (49x35x25 cm), dan Don’t Judge a Book by Its Cover (45x45x45 cm).

Dalam karya Love Produce Love, ada sebuah kerang air, gelas, dan batu. Semuanya begitu bertautan. Deddy seakan menunjukkan bahwa kasih sayang yang dicurahkan akan menghasilkan kasih sayang pula. Semua apel stainless itu berjumlah 18 buah.

Pemerhati seni Anton Larenz menilai karya-karya Deddy menghadirkan tema utama kedamaian, kecintaan, dan kasih putih yang universal. Namun, dia juga tak menghilangkan unsur tradisi yang ada di sekitar masyarakat Jawa. “Pernikahan masyarakat Jawa yang khas dengan pakaian ada tergambar dalam salah satu sculpture. Ini menandakan dia tidak menghilangkan unsur tradisi lokal,” nilai antropolog asal Jerman yang kini menetap di Yogyakarta itu.

Memperhatikan karya-karya Deddy seakan membawa kita menuju sebuah alam lain. Penuh angan-angan, cinta, dan damai. Sebuah suguhan dari desa untuk dunia seni rupa nasional. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Mei 2013

[Jendela Buku] Kreatif sampai Mati, Hidup Indonesia!

Judul: Kreatif Sampai Mati!
Penulis: Wahyu Aditya
Penerbit: Bentang Pustaka
Tebal: 292 halaman
ANAK-ANAK muda yang bergerak mandiri, melakukan banyak perubahan di sekeliling mereka tanpa perlu mengundang pejabat untuk menghadiri peresmian kegiatan atau lembaga yang mereka dirikan, selalu membawa kabar gembira.

Kiprah mereka merupakan kisah nyata tentang anak-anak muda yang dalam sejarah berjasa untuk membawa gerbong pembaruan. Cerita-cerita itu kemudian mereka rayakan di berbagai gerakan komunitas, kegiatan-kegiatan yang digelar swadaya, dan organisasi-organisasi yang strukturnya sangat lentur. Selebrasi itu terus berlanjut. Melalui rak-rak di toko buku, mereka berbagi.

Untuk mengimbangi jajaran buku-buku motivasi, inspirasi, kisah kesuksesan, dan how to yang kian membosankan, buku-buku ini sudah memikat bahkan dari tampilan luarnya.

Sore itu, di sebuah toko buku di mal di kawasan Serpong, Tangerang, Banten, buku Oh My Goodness, karya Yoris Sebastian, pendiri OMG Consulting yang dikenal sebagai salah satu pembawa angin segar dari dunia kreatif berembus ke pebisnis-pebisnis konvensional sekalipun, tak lagi ditemukan setelah berkali-kali cetak ulang.

Di jajaran buku-buku motivasi dan inspirasi itu, terselip buku bersampul hitam pekat dengan judul berwarna-warni yang terbilang tebal. Ya, inilah buku yang awal tahun ini telah gencar dibicarakan di media sosial.

Wahyu Aditya, pendiri Hellomotion Academy sekaligus penggagas Hello Fest, sang penulis buku ini, memang salah satu pesohor di jagat Twitter.

Kehebohan perbincangan itu ternyata beralasan. Ya, buku ini dari awalnya memang riang. Banyak dijumpai kata-kata motivasi yang beberapa di antaranya mungkin akan kita temukan di buku-buku sejenis yang ditulis teman-teman seperjuangan Wahyu. Kisah-kisah inspirasi itu berasal baik yang dialami penulis maupun dari berbagai peristiwa di belahan dunia lain beserta nukilan proses kerja di dunia kreatif, khususnya yang berbasis digital.

Ya, itu seperti tampilannya yang meriah dan tampak dipersiapkan dengan baik. Juga, lengkap dengan bentuk-bentuk huruf tak biasa, gambar-gambar, dan foto-foto ajaib, ditambah kontennya yang beraneka warna.

Karena itu, bukan cuma penyuka dunia kreatif digital, tempat Wahyu bergiat selama ini, yang patut membaca, melainkan juga anak-anak muda dan manusia-manusia dengan pikiran mapan akan tersenyum saat membacanya. Kemudian, beberapa ide mungkin akan meloncat di kepala, meluncur penuh energi, dan menunggu buat dieksekusi.

Membaca buku Wadit, begitu pria tersebut disapa, membuat Ibu Pertiwi mestinya bisa berhenti merengut dikepung kasus-kasus dan segala pemberitaan tentang muramnya negeri ini.

Senyum itu akan merekah ketika selesai menuntaskan kata-katanya, halaman demi halamannya kembali dibuka. Wadit bahkan mempersiapkan sebuah ilustrasi kecil di pojok kiri halaman.

Pun ketika melihat beberapa bagian buku ini yang merujuk kepada sosok-sosok yang menggunting di ujung, pengusung gerakan cutting edge, yang akrab dalam kehidupan kaum urban. Salah satunya, kisah tentang Ligwina Hananto, sang perencana keuangan yang rajin berkoar-koar di Twitter.

Buku setebal 292 halaman ini menjadi penanda gelombang itu, yang tadinya mungkin masih berupa riak-riak kecil, akan segera datang, sesekali berwujud ombak kecil dan pada waktu tertentu akan datang laksana air bah.

Ya, kekuatan sipil, jaringan yang mereka bentuk, pembagian tugas yang mereka lakukan secara otomatis, tanpa perlu rapat-rapat, acara pidato dan gunting pita itu terus bergerak. Basisnya, kreativitas dan ide-ide segar nan muda. Ketika buku ini dalam dua bulan telah cetak ulang, gelombang itu kian kasatmata!     (Zat/M-2 )

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Mei 2013

[Jendela Buku] Saat Pers tidak Beriman pada Keberagaman

-- Gantyo Koespradono

Pers seharusnya mampu menjadi 'jembatan' antara pihak-pihak yang berkonflik dan masyarakat.

ABSEN atau lemahnya negara serta menguatnya identitas kelompok, intoleransi, dan radikalisme menjadi tantangan tersendiri bagi dunia jurnalisme. Karena itu, kehadiran jurnalisme keberagaman diharapkan mampu berkontribusi dalam mengawasi kesigapan negara menjalankan peran-perannya, terutama ketika menyelesaikan atau setidaknya mengurangi radikalisme dan intoleransi.

Itulah sepenggal kalimat yang tertuang dalam buku Jurnalisme Keberagaman—Sebuah Panduan Peliputan yang ditulis 11 aktivis (wartawan, penggiat LSM, dan pengamat media). Mereka galau karena pers di negeri ini sepertinya tidak peduli dengan fakta semakin hancurnya semangat kebersamaan yang seharusnya dipelihara dan ditegakkan di negeri ini.

Faktanya, sejak era reformasi bergulir, pers justru semakin melembagakan prasangka dan diskriminasi di tengah suasana yang semakin tindak kondusif karena pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono membiarkan aksi radikalisme dan intoleransi oleh kelompok kecil mayoritas (Islam mainstream) berlangsung.

Lewat buku tersebut, para penulis mencoba membeberkan 'dosa-dosa' pers yang akhirnya ikut-ikutan memberi angin kepada kelompok intoleran untuk terus mengibarkan bendera kemenangan seraya berteriak, "Inilah aku dan jangan coba-coba melawanku."

Ujung-ujungnya, konflik horizontal berlatar belakang agama menjadi sesuatu yang biasa dan menjadi 'santapan rohani' sehari-hari; dan celakanya yang selalu menjadi korban adalah kelompok minoritas seperti Kristen, Ahmadiyah, dan Syiah. “Tanda-tanda meluasnya konflik sudah tampak,” ungkap Usman Kansong dalam salah satu tulisannya di buku tersebut.

Menurut dia, kelompok mainstream senantiasa mencari sasaran baru. Setelah Ahmadiyah, giliran pengikut Syiah di Madura, Jawa Timur, menjadi sasaran diskriminasi. Para ulama di sana mengeluarkan semacam fatwa bahwa Syiah sesat dan karenanya mereka harus kembali ke ajaran Islam Sunni yang mainstream.

Celakanya, negara membiarkan kasus-kasus seperti itu dan selalu absen pada banyak konflik horizontal yang terjadi di masyarakat. Negara terbukti gagal menjinakkan kelompok-kelompok anarkistis. Kelompok minoritas (Kristen), seperti jemaat GKI Yasmin atau Gereja HKBP Filadelfia Bekasi, misalnya, semakin terpojok dan ditempatkan pada pihak yang salah.

Lebih ironis lagi, tidak sedikit aparat negara justru akrab menjalin kontak dan kerja sama dengan kelompok-kelompok intoleran. Negara, begitu para penulis buku tersebut bersuara, gagal melindungi kelompok minoritas yang ditindas kelompok mainstream.

SARA-fobia

Dalam soal begituan, pers seharusnya mampu menjadi 'jembatan' antara pihak-pihak yang berkonflik dan masyarakat. Meski begitu, kesimpulan salah seorang penulis, sebagian pers yang diharapkan bisa membawa jurnalisme keberagaman (jurnalisme damai) justru masih dihinggapi SARA-fobia peninggalan Orde Baru.

Koran Kompas, misalnya, tidak memuat berita penyerangan pengikut Ahmadiyah di Cikeusik, Pandeglang, Banten, pada Februari 2011, padahal koran-koran lain memuatnya sebagai berita utama atau di halaman satu. (hlm 201).

Kalaupun memuat, pers kadang menempatkan berita isu-isu keberagaman secara tidak proporsional. Pers kadang menyembunyikan berita isu-isu keberagaman di halaman dalam dengan ukuran ala kadarnya. Harian Republika, misalnya, memuat berita meledaknya bom buku di halaman Kantor Radio 68H di Utan Kayu, Jakarta, di halaman dalam, padahal koran-koran lain menempatkannya sebagai berita utama, dan stasiun televisi berita menjadikannya sebagai breaking news.

Dalam buku ini, Armando memberikan contoh berita-berita yang disiarkan media tadi yang hampir semuanya buruk dan tendensius menyudutkan kelompok minoritas. Dalam kasus GKI Yasmin Bogor, misalnya, Armando menulis si jurnalis dengan sengaja mengarahkan pembaca untuk percaya bahwa pembangunan GKI Yasmin akibat kekeraskepalaan dan kelicikan umat Kristen yang dengan sengaja melanggar hukum untuk melicinkan jalan bagi pembangunan gereja. Si wartawan, begitu analisis pengamat media itu, dengan sengaja menyembunyikan fakta utama bahwa Mahkamah Agung sebenarnya sudah menetapkan pendirian GKI Yasmin adalah sah (hlm 20).

Memihak kebenaran

Lalu bagaimana pers mengusung jurnalisme keberagaman? Dengan bahasa yang sangat gamblang, buku tersebut mengulas pers harus berpihak pada keragaman dan perbedaan, berpihak pada korban, berpihak pada minoritas, sensitif gender, menjunjung HAM, dan beperspektif jurnalisme damai.

Jurnalisme keberagaman sarat dengan keberpihakan. Persoalannya, bolehkah jurnalisme berpihak? Berpihak kepada siapa? Dengan mengutip Bill Kovach, Usman Kansong menulis jurnalisme keberagaman boleh berpihak, yaitu berpihak kepada kebenaran, sebab kebenaran itu sendiri sudah melekat dalam dirinya.

Meskipun isinya berupa bunga rampai (kumpulan tulisan karya banyak penulis), gagasan yang tertuang dalam buku ini tidak lepas-lepas begitu saja. Karya tulis satu dengan yang lain saling melengkapi. Bahkan ada tulisan yang disusun layaknya sebuah reportase jurnalistik dan air mata pun menetes saat kita membaca begitu nestapanya kelompok minoritas yang selalu dipojokkan dan diposisikan di nomor dua dan bahkan jika perlu dienyahkan di negeri yang katanya berideologi Pancasila ini. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 Mei 2013

Sunday, May 19, 2013

[Tifa] Menjaga Tradisi Keraton lewat Tarian

KESENIAN tradisi seperti tari-tarian masih menjadi sebuah hal yang memiliki nilai kesakralan, apalagi memuat tentang kisah yang mampu memberikan sebuah pencerahan dalam hidup.

Proses kreativitas para seniman pun ditantang sehingga mereka mampu menghadirkan empat tarian yang berkualitas, meliputi tarian Fragmen Gatutkaca-Suteja, Srimpi Monce, Beksan Floret, dan Legong Gebyar.

Keempat tarian tradisi itu dipentaskan para penari yang berada di bawah Paguyuban Catur Sagorta Nusantara di Jakarta, pekan lalu. Lewat pentas itu, ada sebuah upaya untuk menjaga kearifan lokal yang ada di Pulau Jawa.

Tarian Fragmen Gatutkaca-Suteja mengisahkan tentang Gatutkaca versus Suteja. Itu sesungguhnya merupakan pethilan (bagian) dari sebuah sajian wayang orang gaya Yogyakarta dalam kisah Rebutan Kikis Tunggarana.

Tarian tersebut dibawakan empat penari pria, dengan mengisahkan perjuangan Gatutkaca dan Suteja dalam mempertahankan batas wilayah kekuasaan yang berupa sebuah hutan bernama Tunggarana.

Berbagai jalan musyawarah telah ditempuh, tetapi mengalami kegagalan. Akhirnya, satu-satunya jalan penyelesaian yang terpaksa dipilih ialah melakukan perang tanding antara Gatutkaca melawan Suteja.

Akhirnya, mereka berdua melakukan perang tanding dengan naik kendaraan berupa burung garuda. Gatutkaca naik garuda bernama Wildata, dan Suteja naik garuda bernama Wilmana.

Lewat tarian itu, dua penari pria tampak menghadirkan gerakan yang berwibawa dan perkasa. Hal itu menunjukkan upaya untuk menggambarkan keberadaan prajurit di zaman kejayaan Kerajaan Mataram kuno.

Tarian Srimpi Monce pun begitu lekat dengan unsur kelembutan. Para penari perempuan membawakan dengan ayu dan lembut. “Tarian-tarian yang terlahir dari keraton memiliki nilai ritus,” ujar Ketua Presidium Paguyuban Catur Sagorta Nusantara Koesoemowinoto seusai pementasan.

Kearifan

Dua mantan menteri, yaitu mantan Menteri Sosial Nani Soedarsono dan mantan Menteri Urusan Peranan Wanita Mien Sugandi juga ikut menyaksikan pementasan itu.

Lewat kesempatan tersebut, mereka juga mengukuhkan Paguyuban Catur Sagorta Nusantara sebagai bentuk untuk menjaga nilai-nilai budaya yang ada di keraton-keraton Nusantara.

Keberadaan Paguyuban Catur Sagorta Nusantara hanya sebagai media inkulturasi, sosialisasi seni, dan kebudayaan empat keraton/pura, yaitu Keraton Kesunanan, Keraton Kesultanan, Pura Pakualaman, dan Pura Mangkunegara. “Penambahan kata ‘Nusantara’ mengandung harapan untuk menjangkau para trah, sentana (anak), dan kerabat yang tersebar di wilayah Indonesia,” jelas Nani.

Perempuan berusia 85 tahun itu mengharapkan, lewat paguyuban tersebut, nilai-nilai lokal yang ada di keraton dapat tetap dijaga sebagai jati diri bangsa Indonesia. “Di sini, tak ada feodal. Kita nyembah kepada yang lebih tua karena itu tata krama di negeri ini,” tuturnya, sopan.

Sementara itu, lewat paguyuban tersebut, ada berbagai kegiatan utama yang dikaji. Semisal, sastra, sejarah, seni tari, seni rupa, seni gandhing, seni pertunjukan, hingga upacara adat istiadat.

“Ini sangat penting karena dapat memberikan sumbangsih bagi Indonesia. Paguyuban ini dapat menjadi tempat bagi sejarawan, peneliti (akademisi), hingga seniman,” timpal Koesoemowinoto. (Iwa/B-1)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013

[Tifa] Jalan Terjal Menuju Kedewasaan

-- Iwan Kurniawan

Teater Sakti Aktor mementaskan lakon terjemahan The Agreement karya Douglas Taylor. Ada konflik sepasang kekasih yang berujung pada perpisahan.

HARI semakin gelap. Tak ada suara manusia lain. Hanya terdengar ketukan mesin tik yang seakan berkejar-kejaran. Sal, seorang penulis muda, tampak sedikit gelisah di kamarnya.

Setelah mengeluarkan sebatang rokok, Sal langsung menyulutnya. Ia menarik asap dalam-dalam. Lalu, kembali mengetik. Dia sedang menyelesaikan sebagian karangan agar bisa terangkum menjadi sebuah naskah yang utuh.

Gambaran awal itu terlihat jelas pada pementasan lakon terjemahan The Agreement (1967) karya Douglas Taylor yang dibawakan Teater Sakti Aktor di Saung Geulis, Kedoya, Jakarta Barat, pekan lalu.

Itu merupakan naskah terjemahan garapan sutradara Eka D Sitorus yang lekat dengan kisah cinta dan benci. Ada sebuah konflik yang membuat lakon realis itu tersaji secara lugas, tetapi serius.

Pada pementasan yang dilakukan dalam rangka pembukaan sekolah akting milik Eka di Kedoya, Jakarta Barat, tersebut, ada sebuah kegelisahan yang ia ungkapan. Teater harus menjadi sebuah pencerahan. Namun terkadang, minimnya perhatian pemerintah telah membuat teater tak berkembang.

“Tidak pernah ada akting untuk menjadi orang lain. Jadi, akting itu harus jujur dan sederhana. Ketika kesederhanaan tak ada, bukanlah akting," ujar Eka seusai pementasan.

Tata panggung terlihat sederhana laiknya sebuah rumah. Ada meja plus kursi, rak buku, lemari, tempat tidur, dan deretan anggur dan minuman di sebuah meja.

Seratusan penonton pun lebih santai menyaksikan lakon berdurasi sekitar 40 menit itu. Mereka menonton sambil duduk di karpet. “Lakon realis yang saya bangun di sini sebagai bentuk untuk menghadirkan realitas lewat panggung,” jelasnya.

Konflik

Sal (diperankan Ferdi Sulaiman) merupakan seorang penulis. Ia begitu terobsesi untuk bisa menyelesaikan sebuah novel terbaru. Sayangnya, Jenny (Patty Sandya) tak menerima kondisi itu. Ia merasa kurang mendapatkan perhatian sang kekasih.

Malam itu, Jenny berkunjung ke tempat Sal. Ia mendapati sang kekasih yang begitu sibuk sehingga mengacuhkan kedatangannya. Merasa dicuekkan, sang perempuan pun berang. "Musim semi, ya Tuhan. Apa yang terjadi dengan dia. Apa yang terjadi dengan musim semi? Sekarang sudah musim panas dan lengket," ujar Jenny.

"Musim semi dan musim salju sama saja. Tak ada enaknya musim semi," sambungnya seraya menjatuhkan tubuhnya ke tempat tidur empuk di kamar yang banyak buku sastra itu.

Merasa terganggu dengan ocehan si perempuan, Sal pun langsung kehilangan konsentrasi. “Aku mau jadi penulis, makanya aku kerja. Kau mau jadi aktor ya silakan. Berikan aku waktu lima jam saja, sayang," timpal Sal.

Percekcokan pun mulai menampak. Keduanya tak saling mendengar. Waktu bermesraan pun selalu tertunda. “Dasar kau munafik! Di tempat tidur itu kau begitu bernafsu mengatakan cinta. Setelah matahari terbit, kau tak di sini," cetus Jenny, dengan nada kesal.

Konflik pun semakin memuncak. Mereka semakin berargumentasi dan mempersoalkan status hubungan. Tak ada yang mau mengalah hingga pada suatu titik emosi mereka tak bisa terbendung.

Sal mencoba untuk memberikan penjelasan secara tenang kepada sang kekasih, tetapi tak ampuh. “Ah! Tidak, kamu hanya memperhatikan novelmu saja. Dunia kita sudah mau mati! Yang kamu bisa hanya menulis saja,” teriak Jenny, seraya menampar pipi kekasihnya itu.

Lakon The Agreement memang mengundang emosi dan perasaan yang begitu kuat. Ada yang menarik karena kisah lakon itu dibiarkan menggantung. Ini menjadi cara Eka agar penonton bisa ikut berpikir sejenak untuk mengetahui akhir kisah satu babak itu.

Lakon terjemahan tersebut telah dipentaskan Teater Sakti Aktor pada 2004 dan 2008. Namun, ada perubahan yang mendasar malam itu. Terutama, pada gaya akting yang Eka terapkan kepada anak-anak didikannya.

"Realis(me) sangat menentukan pemilihan kata dan kualitas aktor. Mereka harus bisa menunjukkan kenyataan yang ditampikan ke atas panggung,” jelas Eka, saat menanggapi lakon tersebut.

Lewat pementasan tersebut, Eka mencoba mentransendensi kehidupan lewat teater. Dua aktor mampu mementaskan naskah secara sempurna. Namun, ada beberapa adegan dan blocking panggung yang masih terlihat datar dan membosankan. “Saya mencoba menghadirkan emosi saat konflik memuncak. Ini karya terbaik Douglas yang sangat saya jiwai,” ungkap Ferdi. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013


[Figura] Puisi Esai, Catatan Kaki, dan Konteks Sosial

-- Iwan Kurniawan

SEORANG teman yang sedang berada di San Francisco, Amerika Serikat (AS), berkabar lewat surat elektronik, awal pekan ini. Ia berkisah tentang gairah peneliti bahasa dan sastrawan di sana dalam menulis puisi dengan menggunakan catatan kaki.

Karya sastra yang disebut puisi esai (poetic essay) itu cukup digemari di sana dan menjadi rubrik rutin di surat kabar. Puisi esai menjadi penanda perubahan besar dalam kesusastraan dunia dalam abad ini.

Christina--nama sahabat saya itu--yang juga penulis, optimistis puisi esai dapat menjadi terobosan untuk mendekatkan masyarakat dengan puisi secara lebih sederhana, jelas, dan dekat.

Di negeri ini, genre baru puisi esai sudah masuk ke Indonesia satu atau dua tahun terakhir. Denny JA, salah satu penggagasnya, cukup lama bermukim di AS.

Lewat puisi esai, penyair atau esais dipaksa menghadirkan realitas yang sesungguhnya. Meski penyajian dilakukan lewat fiksi, ada data-data validnya.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, puisi (kata benda) ialah ragam sastra yang bahasanya terikat oleh irama, matra, rima, serta penyusunan larik dan bait. Puisi juga gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna.

Dalam bentuknya, ada puisi bebas, puisi berpola, puisi dramatik, puisi lama, dan puisi mbeling. Puisi mbeling, misalnya, berupa sajak ringan yang tujuannya membebaskan rasa tertekan, gelisah, dan tegang, alias sajak main-main.

Mbeling banyak terdapat dalam karya-karya sastrawan Remy Sylado. Sementara itu, esai ialah karangan prosa yang membahas suatu masalah secara sepintas dari sudut pandang pribadi penulisnya.

Puisi baru

Terlepas dari istilah yang ada, sebuah buku Puisi Esai: Kemungkinan Baru Puisi Indonesia (2013) diterbitkan Jurnal Sajak. Buku setebal 346 halaman itu mengupas tentang puisi esai, sastrawan yang terlibat, hingga contoh puisi esai secara terperinci.

Pada bab satu terdapat kajian secara ilmiah yang ditulis Denny JA berjudul Puisi Esai, Apa dan Mengapa?, mengutip tulisan John Barr, pemimpin Foundation of Poetry berjudul American Poetry in New Country.

Menurut John Barr, puisi semakin sulit dipahami publik. Penulisan puisi juga mengalami stagnasi, tak ada perubahan berarti selama puluhan tahun. Publik luas merasa semakin berjarak dengan dunia puisi. Para penyair asyik bergelut dengan imajinasinya sendiri.

Riset terbatas mengenai puisi yang berkembang pada 2011 lalu pun dilakukan. Secara acak dipilih lima puisi yang dimuat di surat kabar paling ternama di Indonesia.

Sebagai perbandingan, Denny menghadirkan karya Chairil Anwar, Aku, dan WS Rendra, Khotbah.

Ternyata, lulusan pendidikan tinggi banyak yang tak mengerti dan tidak memahami apa isi puisi yang dijadikan sampel penelitian itu. Bahkan, sekitar 90% responden tidak bisa berkomentar soal pesan puisi.

Puisi esai diyakini bisa jadi solusi masalah itu. Pertama, puisi esai mengeksplorasi sisi batin individu yang sedang berada dalam sebuah konflik sosial. Puisi tersebut juga menggunakan bahasa yang mudah dipahami, berupa fiksi, tetapi tak hanya lahir dari imajinasi, melainkan hasil riset atas realitas sosial. Istimewanya lagi, puisi esai berbabak dan panjang serta diletakkan dalam setting sosial terkini.

Catatan kaki

Ketika membaca beberapa karya puisi esai yang diterbitkan Jurnal Sajak, begitu kentara sebagian besar penulis masih menggunakan informasi dari berita-berita yang ditulis di dalam surat kabar nasional.

“Puisi esai bisa menjadi pilihan bentuk bagi siapa pun yang memiliki pandangan yang sama,” kata sastrawan Sapardi Djoko Damono.

Sebuah perubahan mendasar dalam puisi akan menjadi kajian yang menarik, ke depan. Mari kita nikmati. (M-3)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013


[Jendela Buku] Menolak Lupa dengan Peluncuran Pasung Jiwa


BANYAK cara untuk memperingati sebuah hari bersejarah. Contoh paling sederhana ialah bagaimana merayakan hari lahir kita sendiri, entah itu dengan budaya tiup lilin atau berdoa mengucap rasa syukur karena dikaruniai umur oleh Yang Mahakuasa.

Lima belas tahun lalu, tepatnya 12 Mei 1998, negara ini diguncang peristiwa bersejarah, yakni tumbangnya Orde Baru di bawah Presiden Soeharto yang telah 32 tahun berkuasa. Momen kala itu sekarang diperingati sebagai Hari Reformasi.

Lima belas tahun sudah momen tumbangnya rezim Soeharto tak serta-merta menghilangkan ketidakadilan, penindasan, dan kebebasan. Banyak hak masyarakat sebagai warga negara masih diberangus dan terbelenggu. Selama 15 tahun negeri ini membangun harapan untuk mewujudkan kehidupan berdasarkan demokrasi, keadilan, serta menjunjung kebebasan dan nilai-nilai kemanusiaan. Namun, kenyataan tidak seperti yang ada dalam dunia fantasi, kenyataan tidak terwujud sebagaimana mestinya. Melalui sastra, novelis Okky Madasari memilih caranya untuk memperingati momentum 15 tahun reformasi yang sarat sejarah. Novelis yang lebih dulu dikenal melalui novel Entrok (2010), 86 (2011), dan Maryam (2012) itu menjadikan momentum 15 tahun reformasi untuk merefleksikan kondisi terkini bangsa Indonesia melalui peluncuran sebuah buku terbarunya yang berjudul Pasung Jiwa.

Okky me-launching buku keempatnya itu pada Kamis (16/5) malam di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Novelis peraih Khatulistiwa Award 2012 itu mengatakan novel Pasung Jiwa mengusung isu-isu kemanusiaan dan ketidakadilan dalam masyarakat. “Pasung Jiwa mempertanyakan soal kebebasan individu dalam rentang periode sebelum reformasi dan sesudah reformasi. Dalam novel tersebut dihadirkan fakta-fakta diskriminasi dan ketidakadilan yang dialami warga negara dengan beragam latar belakang,” terang Okky tentang benang merah novel terbarunya.

Cerita dalam novel Pasung Jiwa ternyata cukup cerdas. Cerita mengangkat tema-tema yang begitu dekat dengan kehidupan sehari-hari, tetapi tak jarang terlupakan. Seorang waria bernama Sasa menjadi tokoh sentral dalam cerita novel itu. Latar belakang sedari kecil yang acap kali teraniaya membawa Sasa pada kepribadian berbeda yang membuatnya menemukan kebebasan hidup dengan menjadi waria.

Di Kota Malang, ia mulai menapaki kebebasannya. Namun, tak mudah untuk menjadi individu yang benar-benar merdeka. Sasa tetap saja dianiaya para preman, oknum aparat, hingga teman-temannya sendiri, sampai dijerumuskan ke jeruji rumah sakit jiwa karena telah dianggap kehilangan kewarasan. Tanpa orangtua, saudara, ataupun kawan, dia harus kehilangan segalanya.

Tidak sekadar seremoni peluncuran karya sastra dari Okky Madasari, novel Pasung Jiwa diejawantahkan ke dalam sebuah pementasan teater pada malam itu juga.

Banyak apresiasi positif tentang karya Okky yang langsung dipentaskan secara teatrikal, salah satunya terlihat dari penuhnya ruang Teater Kecil Taman Ismail Marzuki.

Belasan orang bahkan rela berdiri menyaksikan pementasan tersebut. Okky pun begitu puas terhadap pertunjukan yang digarap Herry W Nugroho dan R Tono itu. "Mereka bisa merepresentasikan novel saya dengan baik dalam sebuah kesederhanaan dan keterbatasan tanpa mengurangi pesan," komentar Okky. (*/M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013


[Jendela Buku] Perjuangan Seorang Ayah Tunggal

-- Thalatie K Yani

Pada saatnya, kita memang harus sendiri. Jangan menggantungkan diri pada siapa pun.

TANGIS Rajendra Mada Prawira pecah ketika Arjuna Dewangga masuk dan mengucapkan selamat malam. Sambil memeluk foto ibunya, Keisha Mizuki, yang berukuran 10 R berpigura kayu, ia terisak ingin bertemu dengan ibunya dalam mimpi.

Tangis bocah kelas dua sekolah dasar (SD) itu kian pecah karena sedih ketika sang ayah tidak merespons ajakannya untuk menemaninya tidur agar bisa sama-sama memimpikan Keisha. Juna tertegun sambil menahan tangis saat memandang putra semata wayangnya. Ia pun memilih untuk tidur bersama dengan Mada.

Kerinduan Mada akan ibunya dan upaya Juna mengisi posisi sang ibu yang sudah tiada menjadi inti dari buku berjudul Ayah, Menyayangi tanpa Akhir (AMTA), karya Kirana Kejora, ini. Buku terbitan Zettu ini menggambarkan detail hubungan seorang bapak tunggal membesarkan anaknya. Termasuk ketika Arjuna hampir lupa ulang tahun pertama Mada karena kesibukannya sebagai apoteker, tetapi kembali diingatkan dengan panggilan 'ayah' yang membangunkannya di pagi hari.

Seiring dengan bertambahnya usia, kedua pria beda generasi itu memiliki beberapa kesamaan, seperti menyukai musik cadas dan mobil balap. Namun, satu hal yang ditanamkan Juna kepada Mada sejak kecil ialah berbagi dengan anak-anak di Panti Asuhan.

Tanpa restu

Menjadi orangtua tunggal di usia muda mungkin sama sekali tidak terlintas di pikiran Arjuna Dewangga ketika ia memutuskan menikahi perempuan Jepang, Keisha Mizuki. Pertemuan kedua insan beda negara itu berawal ketika Rosa, teman Arjuna, mengatakan ada mahasiswi Jepang yang ingin meminjam buku tentang Gajah Mada.

Dari pertemuan itu, secara perlahan mereka mulai saling mengenal. Hingga akhirnya mahasiswa jurusan farmasi yang kala itu berusia 19 tahun tersebut memutuskan meminang Keisha, karena ia menolak melakukan perjodohan yang telah direncanakan keluarganya.

Keluarga Arjuna yang notabene darah biru menolak Keisha yang berasal dari Negeri Sakura, negara yang sempat menjajah Indonesia. Bahkan saat peperangan, kakek dari sang ibu dibunuh tentara Jepang.

Hal sebaliknya juga dialami keluarga Keisha. Padahal Arjuna datang ke Jepang meminta restu. Namun, hanya tanggapan dingin yang ia terima dari keluarga Keisha. Keisha, yang bertujuan awal melakukan penelitian arkeologi di Indonesia, diminta keluarganya untuk kembali ke Jepang.

Enam bulan setelah pernikahan sederhana yang berlangsung di masjid kecil di daerah Kuningan Karang Malang, Keisha hamil. Dua nama telah disiapkan, Rajendra Mada Prawira untuk anak lelaki dan Arke Padma Nawangwulan bila perempuan. Kelahiran anak yang dinantikan ternyata di luar perkiraan. Keisha yang kelelahan terjatuh dan mengalami perdarahan. Seorang anak lelaki hadir ke dunia, diiringi tangisan Arjuna karena Keisha menghembuskan nafas terakhirnya di meja operasi.

Budaya

Setelah diusir dari keluarganya, Juna tidak pernah menapakkan kaki ke Solo. Menyambangi Yogyakarta pun hanya dilakukan setahun sekali untuk nyekar ke makam Keisha. Namun demi permintaan Mada, mereka pun melakukan perjalanan dengan mobil ke Yogyakarta.

Dalam perjalanan itu, sejumlah cerita dan sejarah Kota Yogyakarta, Malioboro, dan Keraton Surakarta juga digambarkan. Termasuk Candi Prambanan dan cerita pewayangan seperti Gatotkaca, serta kuliner khas Yogya, gudeg. Semua diceritakan secara runut dan tidak menggurui.

Salah satu yang menarik perhatian ialah filosofi elang, yang diajarkan Juna kepada Mada ketika berada di Vila Elang Matahari di kawasan Tajur Halang Pojok, Bogor, yang berbatasan dengan Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sambil minum kopi di teras yang menghadap Gunung Pangrango itu, Juna menjelaskan tentang elang.

Ketika ia berumur 40 tahun, hanya ada dua pilihan dalam hidupnya. Satu, dia menunggu ajal tiba, atau rela menderita selama 120 hari untuk pembaharuan hidupnya ke depan, (hlm 168).

Dalam 120 hari itu, elang menyepi ke puncak gunung mematuk paruhnya yang tumpul untuk menumbuhkan paruh baru. Setelah itu digunakannya untuk mencabuti cakar-cakar tua sehingga tumbuh cakar baru. Cakar baru itu digunakan mencabuti seluruh bulunya yang lebar.

Ketika bulunya sudah tumbuh, ia harus menunggu 5 bulan untuk bisa kembali terbang ke angkasa. Cara itu memperbaiki hidupnya selama 30 tahun ke depan. Elang itu bersahabat dengan angin dan badai, karena itu yang membuat terbangnya semakin tinggi. Derita adalah kekuatan! Bukan kematian!" (hlm 169).

Sendiri

Kirana Kejora mengaku proses penulisan buku 369 itu terinspirasi dari sahabatnya yang menceritakan perjuangan seorang ayah tunggal. Ia merawat bayi hingga sang anak beranjak remaja dan wafat karena kanker. "Menyentuh sekali," ujar Kirana kepada Media Indonesia dalam surat elektroniknya di Jakarta, Rabu (1/5).

Ia semakin terinspirasi ketika bertemu dengan apoteker yang hidupnya idealis, juga film I'm Sam, tentang pria cacat mental yang gigih membesarkan bayi perempuan. Perempuan asal Ngawi itu melakukan riset dan wawancara dalam waktu tiga minggu dan revisi lay out satu minggu.

"Total hanya sebulan bersih buat AMTA naik cetak. Baru beredar 2 minggu alhamdulilah, AMTA cetak ulang dan sudah menempati best seller atau recommended book di Gramedia," ujar Kirana yang mengaku kerap mendapatkan permintaan untuk menghadirkan Arjuna. Sayangnya, Arjuna kerap menghilang. "AD (Arjuna Dewangga) sering ngilang, muncul tiba-tiba meninggalkan status di BBM. Status terakhir, 'Jika hujan reda, aku harap pelangimu'," katanya.

Kinara berharap melalui AMTA ia mengingatkan orang bahwa pada saatnya manusia memang harus sendiri. Karenanya, jangan mengantungkan diri pada siapa pun. "Semua harus dihadapi sendiri, mandiri, tetapi juga bisa memberi. Kita lahir sendiri, kembali kepada-Nya pun juga sendiri. Artinya, bersiaplah selalu bertanggung jawab atas kehidupan kita sampai nanti," tandasnya. (M-2)

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 19 Mei 2013


”Tamparan’’ Klewang

-- Hang Kafrawi

NAMA Klewang menjadi buah bibir masyarakat, bukan saja Pekanbaru atau pun Riau, bahkan Indonesia, namanya disebut-sebut. Klewang mempengaruhi generasi muda melakukan perbuatan keji. Aksi Klewang beserta pengikutnya menyentak kita. Perihnya, pengikut Klewang berusia sangat muda. Rata-rata pengikut Klewang siswa SMP dan SMA. Miris memang, namun inilah kenyataannya, Klewang mampu ‘’mencuci otak’’ generasi muda tanah Melayu ini. Perbuatan Klewang menampar wajah kita. Apa yang kita dengungkan hari ini tentang akhlak terasa terhempas. Kita mungkin tidak menyangka bahwa ada perbuatan yang sangat tidak senonoh, yang sangat jauh dari nilai-nilai budaya dan agama mayoritas masyarakat di tanah kita ini.  

Perbuatan Klewang dan pengikutnya membuka mata kita, bahwa apa yang kita lakukan baik di bidang pendidikan, budaya, kepemudaan, bahkan agama sekali pun terasa sia-sia. Kita asik dengan diri sendiri. Dunia pendidikan kita, asik dengan kurikulum, sertifikasi, kenaikan pangkat, prestasi anu-ini, ngurus perlombaan, sehingga melupakan esensi pendidikan itu sendiri. Begitu juga dengan dunia kesenian (kebudayaan) kita, keasikan mengurus perlombaan seni, perayaan hari ini-hari itu, berangkat sana-berangkat sini, sibuk menyusun nilai-nilai budaya yang hanya dibicara pada seminar, lokakarya. Begitu juga dengan lembaga kepemudaan, asik berpolitik untuk tujuan sesaat. Bahkan lembaga keagamaan tidak berdaya menularkan virus kebenaran kepada generasi muda.

Disaat kite asik mengurus ‘diri sendiri’ dan berkelahi mempertahankan ‘kebenaran’ kelompok kita, Klewang menjadi tempat mengadu ‘nasib’ generasi muda. Tidak tanggung-tanggung, Klewang dapat ‘membina’ tiga ratusan generasi muda yang sangat belia. Genarasi penerus yang diharapkan menjaga nilai-nilai kebenaran, berubah menjadi ‘penjaga’ kemaksiatan. Entah bagaimana caranya Klewang ‘menanam’ virus kejahatan ke otak dan hati anak-anak muda itu, sehingga mereka patuh terhadap perintah dan keinginan Klewang. Bahkan pengikut perempuan Klewang, rela menyerahkan tubuh mereka kepada Klewang. Waduh, memang apa yang dilakukan Klewang menusuk jantung kita.

Apa yang dilakukan Klewang dan pengikut belianya, memang jauh dari pikiran kita selama ini. Kita benar-benar terperangah, terkejut dengan perbuatan yang mereka lakukan. Ini bukan kesalahan generasi muda kita, tapi kesaahan tertuju kepada kita. Baik kita yang berada di lingkungan pendidik, seniman, budayawan, tokoh kepemudaan, orang-orang politik, para agamawan bahkan pemerintah kita sendiri yang membuat ruang untuk mereka menjadi sempit.

Seharusnya kita cepat tanggap mengatasi masalah ini. Tanda-tanda kebejatan telah lama terlihat di kalangan generasi muda di negeri ini, khususnya di Kota Pekanbaru. Mereka terabai tanpa ada yang mengarahkan. Di bekas MTQ, sekarang bernama Bandar Serai, terlalu sering pekerja seni di kawasan itu menangkap generasi muda melakukan hal tidak senonoh. Namun mereka tidak pernah dibina. Begitu juga segerombolan anak-anak muda sesuka hati menggebut di jalan raya. Mereka seakan dibiarkan saja, kalaupun ada razia itu tidak berlangsung lama. Apa salahnya pemerintah membangun kawasan balapan yang standar untuk menampung keinginan mereka berbalap ria. Dari sinilah mereka dibina, sehingga mereka bukan jadi pembalap ‘liar’, tapi menjadi pembalap yang handal dan memiliki wawasan.

Klewang datang pada hari ini dan menawarkan sesuatu yang mengasikkan bagi generasi muda. Sehingga mereka (generasi muda) seakan mendapat tempat. Klewang mengakomudir apa yang menjadi keinginan mereka. Tentu saja, di tangan Klewang keinginan bejat yang mereka dapat. Mereka merasa diakui keberdaannya, walaupun dikendalikan oleh Klewang. Klewang pintar dengan akal bejatnya, mengangkat beberapa pengikutnya menjadi Panglima. Susuatu yang luar biasa bagi generasi muda mendapat kepercayaan setingkat Panglima. Keberadaan mereka seakan diterima oleh Klewang. Ruang-ruang inilah yang dimainkan oleh Klewang, sehingga semakin banyak generasi muda terakui di ruang akal Klewang. Ruang-ruang yang dibuat Klewang menambah kepercayaan pengikutnya, sehingga kepercayaan diri mereka semakin mantap dan kehendak Klewang menjadi kehendak mereka. Klewang dengan mudah menyetel mereka.

Selain ruang eksistensi pengikutnya dibuka lebar-lebar, Klewang juga memanfaatkan ruang hura-hura atau happy generasi muda. Di dalam benak generasi muda yang masih muda belia (SMP dan SMA), sesuatu yang dapat membahagiakan merupakan tujuan mereka. Mereka akan melakukan apapun juga untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Ketika eksistensi mereka dinaikan dan kebahagiaan menjelma di depan mata, hati mereka pun tertutup rapat-rapat. Amrus Natalsya, seorang seniman seni rupa mejelaskan bahwa masyarakat happy ini, dicirikan oleh kecenderungan orang berfikir untuk dirinya sendiri dan kurang memikirkan kepentingan kolektif (umum). Mungkin juga kita termasuk dalam masyarakat happy sehingga tidak peduli dengan sekeliling kita.

Ruang-ruang untuk memperlihatkan eksistensi generasi muda inilah yang mungkin tertutup rapat, baik di sekolah, di rumah atau pun di ruang publik yang hanya memikirkan kepentingan sesaat. Inilah yang menjadi kesalahan kita bersama, ruang-ruang eksistensi generasi muda ditutup rapat-rapat disebabkan ada kepentingan lain. Generasi muda kita kehilangan jalan ‘terang’ dan menemukan jalan ‘gelap’ dengan mudahnya.

Ke depan, hendaknya kita membuka ruang-ruang bagi geneasi muda untuk menampung keberadaan mereka dan disalurkan ke perbuatan yang berfaedah dan bermanfaat. Tidak musimnya lagi kita berdebat dengan mengatakan kita yang paling hebat dan benar. Tujuan kita sama, baik lembaga budaya, politik, ekonomi, sosial, agama, pendidikan yaitu menciptakan generasi muda yang berakhlak mulia. Dengan berakhlak mulia, semua tindakan yang dilakukan generasi muda mengarah kepada kebaikan. Memang tidak semua generasi muda di negeri kita ini mau mengikuti ‘ajaran’ yang disebarkan Klewang, tapi kalau dibiarkan, bukan mustahil banyak generasi muda kita terjerumus dalam lembah kejahatan.

Di zaman modern ini, nilai-nilai kolektivitas semakin terkikis oleh kepentingan pribadi. Hal ini merupakan potensi penyebab Klewang-klewang lain bermunculan. Sifat konsumtif merupakan ladang subur menumbuhkan perbuatan-perbuatan bejat dan keji. Sifat ini juga sangat berperan menghancurkan nilai kebersamaan. Suburnya tabiat kunsumtif ini menyebabkan orang-orang akan melakukan apapun perbuatan untuk mewujudkan keinginannya. Generasi muda kita pada hari ini mudah terjebak oleh kehendak zaman yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur. Dan kita merupakan panutan mereka harus ‘turun’ tangan mengarahkan mereka menjadi generasi panutan berikutnya.

Hari ini Klewang telah menampar kita. Terasa perih melihat apa yang dilakukan Klewang dengan melibatkan generasi muda. Mari kita mengintropeksi diri. Tak perlulah kita memaksa kehendak kita pada generasi muda. Mari kita olah kehendak generasi muda dengan pikiran kita yang bersih, sehingga tidak bermunculan lagi generasi muda yang menganggap Klewang tempat meninggikan keberadaan mereka. n

Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Ketua Teater  MATAN dan juga mengajar di STSR

Sumber: Riau Pos, Minggu, 19 Mei 2013


Mempertanyakan Bibit Unggul Cerpenis-cerpenis Daerah

-- Restoe Prawironegoro Ibrahim

MENURUT pengamatan saya selama ini, cerita pendek yang dimuat di beberapa media massa cetak seperti di majalah, tabloid, dan media koran; yang selalu hadir di setiap hari Minggu-nya, selama periodesasi tahun 2000 sampai dengan 2013 sekarang ini, kebanyakan karya-karya penulis seorang sastrawan pemula, tentu saja bobot dan isinya standar untuk konsumsi suatu karya sastra di media, majalah atau tabloid. Akan tetapi patut kita hargai kehadirannya, karena cerita pendek yang masuk ke meja redaksi adalah cerita pendek-cerita pendek dengan penulis-penulis pemula yang apabila mendapat bimbingan, Insyaallah akan menjadi penulis yang andal dan berpotensial.

Rupanya pihak dewan redaksi sendiri dengan menurunkan cerita pendek-cerita pendek tersebut juga bermaksud untuk mencari bibit-bibit unggul cerpenis yang potensial, yang mana bibit-bibit tersebut kebanyakan berasal dari beberapa daerah, karena sebagian besar cerita pendeknya yang dimuat adalah karya penulis daerah.

Akan tetapi tidak semuanya cerita pendek-cerita pendek tersebut karya penulis pemula, ada juga cerita pendek karya cerpenis yang sudah punya nama seperti Beny Arnas, Adi Zamzam, Arman Az, Wina Bojonegoro, Sungging Raga, Mashdar Zainal,  dan banyak lagi yang tak perlu saya tuliskan di sini satu -persatu. Dan mengenai cerita pendek ini perlu sekali pengembangan yang lebih dalam agar lebih berbobot dan profesional.

Kalau kita simak secara global, cerita pendek yang hadir di beberapa media elektronik/massa, kebanyakan penulis mengangkat dan mengupas tentang aspek-aspek sosial dan segala permasalahan yang ada dalam obyek kehidupan masyarakat sehari-hari.

Dari hasil pengamatan saya selama ini, seluruh cerita pendek yang dimuat tersebut sebagaian besar menggambarkan aspek-aspek sosial misalnya, aspek ekonomi, cinta, pelacuran, religius, budaya serta cerita pendek hasil saduran dari bahasa asing ke bahasa Indonesia. Akan tetapi yang saya sayangkan, pengupasan tentang aspek-aspek tersebut kurang begitu mendalam, selain itu alur ceritanya monoton, hingga bagi pembacanya yang teliti sewaktu menikmatinya maka akan menemukan bagian-bagian yang kurang pas. Kenapa begitu?

Empat Kendala Cerpenis Pemula
Ada beberapa kendala bagi penulis pemula dalam menuliskan cerita pendek, yaitu; Pertama,  sebagian besar penulis cerita pendek adalah penulis pemula, jadi wajar apabila masih ada kesimpangsiuran dalam menyusun masalah secara rinci tentang isi cerita. Kedua,  selain itu dalam menceritakan misalnya tentang bagaimana susahnya menjadi orang yang tak punya, menjadi gelandangan, mereka tidak atau belum pernah merasakan sendiri betapa susahnya. Dan mereka bukan dari lingkungan seperti apa yang diceritakan , sehingga penjiwaan imajinasinya minim sekali. Ketiga, kebanyakan penulis sendiri bukan berasal dari golongan seperti apa yang diceritakan, misalnya menceritakan keluarga miskin. Mereka hanya menuangkan begitu saja apa yang ada di benaknya tanpa memperhatikan permasalahan secara mendetail yang sebenarnya, sehingga pendalaman alur ceritanya agak kaku. Dan yang terakhir, keempat, rasa cepat puas. Hal ini terlihat dengan adanya beberapa cerita pendek yang dikirim seorang penulis, kemudian dimuat. Selain itu, si penulis cerita pendek tersebut mengirimkan cerita pendek lagi ke dewan redaksi dan diturunkan lagi. Kebetulan, dari cerita  pertama yang dimuat selang beberapa minggu kemudian cerita pendek kedua dimuat.

Setelah penulis membaca secara gamblang atau seksama dan teliti kedua cerita pendek dari hasil penulis yang sama ternyata alur cerita tak jauh berbeda. Hanya itu  itu saja tanpa adanya suatu peningkatan mutu obyek penceritaan cerita sedikit pun.

Karya sastra diciptakan untuk dinikmati, dipahami dan dimanfaatkan oleh masyarakat pembacanya. Karya sastra menampilkan gambaran kehidupan dan kehidupan itu sendiri adalah suatu kenyataan sosial. Kehidupan mencakup antara manusia dan antar peristiwa yang terjadi dalam bathin seseorang, begitu yang dikatakan oleh penyair Sapardi Djoko Damono.

Sastrawan Daerah (Baru)
Bertitik tolak dari gambaran tersebut kita dapat melihat sampai sekarang seberapa jauh perkembangan dunia sastra dewasa ini, khususnya di daerah-daerah. Kalau kita lihat, dewasa ini banyak sekali muncul sastrawan-sastrawan baru yang cukup potensial. Dan begitu aktif dan kreatif sehingga mampu mensejajarkan namanya dengan sastrawan yang sudah punya nama nasional. Walaupun karya yang dihasilkannya belum bisa dikatakan memenuhi standar apabila dibandingkan dengan karya sastra milik sastrawan gaek, seperti Pramodya Ananta Toer misalnya. Tetapi kita harus bersyukur, karena dengan kemunculan sastrawan-sastrawan baru maka perkembangan dunia sastra tidak pasif.

Terlepas dari masalah tersebut kita harus tahu bagaimana sebuah karya sastra itu bisa menarik perhatian masyarakat pembacanya agar tertarik dan mengaguminya? Untuk menjawab masalah tersebut penulis mengambil contoh dan membatasi khusus cerita pendek  cerita pendek yang dimuat di beberapa media massa.

Bahwasanya cerita pendek merupakan ungkapan jiwa dari seorang pengarang yang menuangkan ide-idenya dalam tulisan. Selain itu, masyarakat pembaca yang awam menilai bahwa cerita pendek itu bacaan ringan untuk mengisi waktu senggang, menghilangkan kejenuhan sebelum bekerja.

Tetapi perlu diingat bahwa cerita pendek sedikit banyak mempunyai misi tersendiri dalam permasalahan sosial. Kenapa begitu? Karena di dalam cerita pendek yang ditulis oleh pengarangnya tersebut, sebagian besar mengupas tentang permasalahan-permasalahan sosial, yang mungkin pernah dialami oleh seorang dalam kehidupan masyarakat. Hanya saja penuangan dan ulasan kalimatnya berbeda. Di sinilah letak keunggulan cerita pendek itu.

Dan tepat sekali kalau cerita pendek itu disajikan, karena waktu yang tersedia masyarakat untuk membacanya panjang sekali, bacaan ringan untuk keluarga. Di samping itu kita dapat memantau sampai berapa jauh kemampuan penulis dalam membuat cerita pendek, serta pengupasan permasalahan-permasalahannya.

Inilah di antaranya yang menjadi kendala bagi seorang penulis pemula, sehingga apabila bagi seorang penulis pemula, khususnya cerita pendek, perlu sekali memperhatikan alur cerita. Sedikit, padat dan berisi, itulah pegangan utama.

Memang tidak harus dalam penulisan suatu cerita pendek kita terjun secara langsung, akan tetapi alangkah baiknya kalau penulis tersebut melakukan penelitian dan terjun secara langsung pada obyek yang akan dijadikan bahan untuk memperkuat tulisan, sehingga hasilnya nanti bisa mengena dan pas dengan apa yang akan diceritakan. Akan tetapi yang penting adalah hasil karya itu adalah hasil murni penuangan dari ide-ide pribadi.

Adapun kriteria menurut pengalaman cerita pendek yang dimuat yaitu bahasanya komunikatif —— tidak berbelit-belit, makna cerita sudah ditangkap, padat, sederhana, alur ceritanya kronologis.

Bagi penulis pemula, melihat cerita pendeknya dimuat maka ada kebanggaan tersendiri dalam hati, itu tidak munafik karena penulis sendiri pernah mengalaminya. Selain itu dengan dimuatnya cerita pendek seorang penulis maka dewan redaksi juga berharap akan munculnya kader-kader cerpenis yang handal, yang lahir dari daerah dan sekitarnya.

Dan berbahagialah bila ada di antara penulis cerita pendek yang cerita pendeknya pernah dikritik oleh pembacanya, hal ini menandakan bahwa cerita pendek tersebut mendapat tempat dan terbaca di hati masyarakat pembacanya. Dan dengan kritikan itu, yang ditujukan pada penulis cerita pendek, paling tidak dengan adanya kritik itu dapat mengoreksi karyanya secara dalam, dan dapat mengetahui di mana letak kelemahan dalam karya-karyanya, sehingga dapat dijadikan patokan untuk membuat karya yang akan datang. Sesuatu pekerjaan apapun apabila dilakukan dengan tekun, semangat dan sepenuh hati maka hasilnya juga baik.

Restoe Prawironegoro Ibrahim, Cerpenis dan penyair yang tinggal di Jakarta.

Sumber: Riau Pos, Minggu, 19 Mei 2013


[Jejak] Sariamin Ismail Menolak Tradisi Lewat Karya

Sariamin Ismail. Gambar: tamanismailmarzuki.com
SARIAMIN Ismail lahir di Talu, Pasaman, Sumatera Barat, 31 Juli 1909 dan meninggal di Pekanbaru, Riau, 15 Desember 1995 pada umur 86 tahun. Dia adalah pengarang perempuan yang sering memakai nama samaran Selasih dan Seleguri, atau gabungan dari kedua nama samaran tersebut, Selasih Seleguri. Novel pertamanya berjudul ‘’Kalau Tak Untung’’ diterbitkan Balai Pustaka pada 1934.

Aktif menulis di beberapa surat kabar termasuk Pujangga Baru, Panji Pustaka, Asyara, Sunting Melayu, dan Bintang Hindia, dia pernah menjadi editor untuk surat kabar Suara Kaum Ibu di Padang Panjang pada 1934. Selain itu, ia sempat menjadi anggota parlemen daerah untuk provinsi Riau setelah terpilih pada 1947.

Sariamin lahir lahir dengan nama Basariah pada tanggal 31 Juli 1909 di Talu, Pasaman Barat. Dia menempuh sekolah dasar di tempat ia tinggal dan pada usia sepuluh tahun, ia mulai menulis syair dan bentuk-bentuk puisi lain. Setelah lulus pada 1921, ia masuk ke sekolah guru khusus perempuan di Padang Panjang, dan pada usia enam belas tahun ia telah menulis di beberapa surat kabar lokal seperti Pandji Poestaka. Ia menjadi guru setelah menamatkan pendidikan di sekolah guru pada 1925. Bekerja pertama kali di Bengkulu kemudian pindah ke Bukittinggi. Dia kembali ke Pandang Panjang pada 1930 dan pada 1939 mulai mengajar di Aceh, lau di Kuantan, Riau pada 1941.

Kritikus sastra Indonesia Zuber Usman menulis bahwa, tidak seperti karya kontemporer lainnya, karya-karya awal Sariamin, ‘’Kalau Tak Untung’’ dan ‘’Pengaruh Keadaan’’ tidak berbenturan dengan konflik antar generasi atau membentur nilai-nilai adat dan modern. Dia menemukan bahwa novel-novelnya lebih difokuskan mengenai star-crossed lovers, yang bertemu di masa kecil, jatuh cinta, namun tidak pernah berhasil bersatu. Ia mencatat bahwa, berlawanan dengan novel-novel awal lainnya seperti ‘’Siti Nurbaya’’ (1923) oleh Marah Rusli, karya Sariamin tidak berfokus pada kelahiran anak dari keluarga kaya. ‘’Kalau Tak Untung’’ menyorot seorang anak dari keluarga miskin di pedesaan, sementara ‘’Karena Keadaan’’ menggambarkan seorang anak tiri jatuh cinta dengan gurunya.

Kritikus sosial Bakri Siregar tidak setuju dengan penilaian Usman, ia menyebut karya Sariamin sebagai sesuatu yang menolak tradisi. Ia mencatat bahwa novel-novelnya menggambarkan sebuah perkawinan bahagia yang didasari pada cinta, ketimbang yang diatur oleh orang tua dan dikangkangi oleh tradisi.

Ahli literatur Indonesia asal Belanda A Teeuw menganggap watak laki-laki di karya-karya Sariamin sebagai seorang laki-laki lemah yang menyerah pada nasib. Ia membandingkan Karena Keadaan dan dongeng Barat ‘’Cinderella’’, menyatakan bahwa watak utama di kedua cerita memilih mengorbankan dirinya tetapi mendapat ganjaran yang setimpal pada akhirnya. Penulis Juliette Koning mengklasifikasikan ‘’Kalau Tak Untung’’ sebagai bagian dari serangkaian karya yang mewakili pendapat-pendapat dari wanita-wanita asli yang terpelajarn bersama ‘’Kehilangan Mestika’’ (Hamidah, 1935) dan karya Soewarsih Djojopuspito, ‘’Manusia Bebas’’ (Free People; diterbitkan dalam bahasa Belanda pada 1940).(fed/berbagai sumber)

Karya:
Kalau Tak Untung (1933)
Pengaruh Keadaan (1937)
Puisi Baru (1946; antologi puisi)
Rangkaian Sastra (1952)
Seserpih Pinang Sepucuk Sirih (1979; antologi puisi)
Panca Juara (1981)
Nakhoda Lancang (1982)
Cerita Kak Murai, Kembali ke Pangkuan Ayah (1986)
Ungu: Antologi Puisi Wanita Penyair Indonesia (1990)

Sumber: Riau Pos, Minggu, 18 Mei 2013


[Buku] Menyoal Intelektualitas Anak Pesantren

Data buku
Kiai Mengaji Santri Acungkan Jari: Refleksi
Kritis atas Tradisi dan Pemikiran Pesantren

Ali Usman
Pustaka Pesantren, Yogyakarta, 2013
220 hlm
KETIKA kiai sedang mengajar, tiba-tiba di sela pertanyaan si santri. Pun, ketika sang kiai membuka kesempatan bertanya, seorang santri mengacungkan jari, lalu bertanya. Sang kiai kemudian menjawab, ternyata santri tersebut tidak puas. Lalu, balik bertanya lagi, lama-lama menyanggah dan mendebat penjelasan kiai.

Nuansa pengajaran di pesantren semacam itu hanya sebatas ilusi yang dianggap sebagai suul adab (perangai buruk) laku santri saat mengaji kepada kiai. Jangankan menyanggah, sekadar bertanya saja, kiai telah membuka kesempatan bertanya, semua santri diam seribu bahasa dengan kepala menunduk. Meskipun si santri sebenarnya memendam sekian pertanyaan, takut bertanya. Takut kalau pertanyaannya justru membuat kiai marah.

Ditambah dengan karisma keilmuan sang kiai yang sudah tertanam dalam benak santri sehingga apa pun keterangan yang kiai sampaikan dirasa sudah final dan santri haram mempertanyakan mengapa penjelasan kiai bisa seperti ini, seperti itu. Kondisi demikian, diakui atau tidak, mengakibatkan nuansa pengembangan pemikiran di pesantren menjadi terkesan mandek bahkan mundur. Begitulah potret pengajaran di pesantren yang disorot Ali Usman dalam bukunya Kiai Mengaji Santri Acungkan Jari. Fenomena tersebut, menurut Ali, menjadi tidak kondusif untuk menciptakan hakikat pendidikan yang membebaskan dan (sebagai) proses membangkitkan kesadaran kritis sesuai teori pendidikan ala Paulo Freire yang dia gunakan (halaman 44). Proses pendidikan yang baik adalah adanya ruang dialogis antara kiai dan santri. Bukan model top-down. Pun, tidak ada sekat si santri dalam posisi objek, sedangkan kiai merupakan subjek.

Iklim Egaliter

Tawaran Ali adalah menghapus sekat tersebut. Dalam artian, justru keduanya berposisi sebagai subjek. Sedangkan kitab kuning berposisi sebagai objeknya.

Di sinilah keduanya sama-sama mencerna dan mengkaji. Tidak ada yang merasa paling ahli sehingga tercipta nuansa egaliter dalam proses pendidikan. Bila hal itu bisa berjalan di pesantren, tentu pengembangan pemikiran santri makin terlecut.

Asumsi pengembangan pemikiran di pesantren terbilang lemah dikarenakan niatan awal pendirian pondok pesantren memang bukan ditujukan sebagai tempat pengembangan pemikiran Islam. Tetapi, lebih diorientasikan sebagai benteng akidah, moral, dan keimanan (Said Aqil Siradj, 1999).

Namun, meskipun orientasi pengembangan pemikiran keislaman bukan tujuan utama, bukan lantas aspek tersebut dianaktirikan. Ali mungkin alpa karena tidak menyoroti tradisi di pesantren, semisal, kegiatan wajib santri bernama musyawarah (diskusi) di bukunya itu sebagai aspek pembanding. Musyawarah adalah diskusi santri mengenai materi pelajaran tertentu yang masih perlu pendalaman sekaligus memecahkan persoalan keagamaan.

Dalam musyawarah beragam pertanyaan tajam dan aktual bermunculan. Kondisi ini memaksa santri berpikir kritis dan mengkaji kitab secara lebih cermat guna menjawab pertanyaan yang muncul. Tak ayal, pemandangan para santri beradu argumen menjadi kelumrahan.

Ali juga alpa dengan banyaknya pesantren membuka jenjang pendidikan Ma?had Aly (pendidikan tinggi ala pesantren). Marzuki Wachid dkk. (Agus Muhammad, 2008) mengurai: metode pembelajaran di Ma?had Aly memosisikan santri sebagai subjek belajar, tingkatan kitab kuning yang dikaji relatif tinggi, serta cara mengkajinya lebih kritis.

Agus Muhammad (2008) memerinci lagi: proses pembelajarannya telah masuk ke analisis isi (dirasah tahliliyyah), pembacaan kontekstual (qira?ah siyaqiyyah), serta lebih-lebih kritik atas isi kitab dan produk pemikiran tersebut (dirasah naqdiyyah).

Oleh karena itu, santri Ma?had Aly dipersiapkan secara khusus sebagai ulama intelek yang siap memecahkan ragam persoalan masyarakat kekinian dari sudut pandang agama. Pendirian Ma?had Aly yang dipelopori Pesantren Sukorejo, Sitobondo, pada 1990, kiranya berhasil menghilangkan stigma lemahnya tradisi pengembangan pemikiran anak pesantren.

Namun, membicarakan pesantren di era sekarang adalah terlebih dahulu menanyakan identitasnya: pesantrennya milik ormas apa, mazhabnya apa, dan santrinya bersarung atau berdasi. Pesantren makin bertebaran dengan ragam tipikalnya masing-masing.

Dengan demikian, setiap pesantren telah memiliki karateristik dan kompleksitas permasalahan tersendiri pula, mulai dari fanatisme mazhab sampai minimnya penyediaan buku-buku keislaman kontemporer dan filsafat sebagai tamsil parsialnya. Namun, menjadi absurd ketika harus mempersoalkan kekhasan model lawas pengajaran pesantren yang terbukti masih relevan dan mampu bertahan sampai sekarang.

Muhammad Itsbatun Najih, aktivis Forum Studi Arab dan Islam (FSAI), Yogyakarta 

Sumber: Lampung Post, Minggu, 19 Mei 2013