-- Hang Kafrawi
NAMA Klewang menjadi buah bibir masyarakat, bukan saja Pekanbaru atau pun Riau, bahkan Indonesia, namanya disebut-sebut. Klewang mempengaruhi generasi muda melakukan perbuatan keji. Aksi Klewang beserta pengikutnya menyentak kita. Perihnya, pengikut Klewang berusia sangat muda. Rata-rata pengikut Klewang siswa SMP dan SMA. Miris memang, namun inilah kenyataannya, Klewang mampu ‘’mencuci otak’’ generasi muda tanah Melayu ini. Perbuatan Klewang menampar wajah kita. Apa yang kita dengungkan hari ini tentang akhlak terasa terhempas. Kita mungkin tidak menyangka bahwa ada perbuatan yang sangat tidak senonoh, yang sangat jauh dari nilai-nilai budaya dan agama mayoritas masyarakat di tanah kita ini.
Perbuatan Klewang dan pengikutnya membuka mata kita, bahwa apa yang kita lakukan baik di bidang pendidikan, budaya, kepemudaan, bahkan agama sekali pun terasa sia-sia. Kita asik dengan diri sendiri. Dunia pendidikan kita, asik dengan kurikulum, sertifikasi, kenaikan pangkat, prestasi anu-ini, ngurus perlombaan, sehingga melupakan esensi pendidikan itu sendiri. Begitu juga dengan dunia kesenian (kebudayaan) kita, keasikan mengurus perlombaan seni, perayaan hari ini-hari itu, berangkat sana-berangkat sini, sibuk menyusun nilai-nilai budaya yang hanya dibicara pada seminar, lokakarya. Begitu juga dengan lembaga kepemudaan, asik berpolitik untuk tujuan sesaat. Bahkan lembaga keagamaan tidak berdaya menularkan virus kebenaran kepada generasi muda.
Disaat kite asik mengurus ‘diri sendiri’ dan berkelahi mempertahankan ‘kebenaran’ kelompok kita, Klewang menjadi tempat mengadu ‘nasib’ generasi muda. Tidak tanggung-tanggung, Klewang dapat ‘membina’ tiga ratusan generasi muda yang sangat belia. Genarasi penerus yang diharapkan menjaga nilai-nilai kebenaran, berubah menjadi ‘penjaga’ kemaksiatan. Entah bagaimana caranya Klewang ‘menanam’ virus kejahatan ke otak dan hati anak-anak muda itu, sehingga mereka patuh terhadap perintah dan keinginan Klewang. Bahkan pengikut perempuan Klewang, rela menyerahkan tubuh mereka kepada Klewang. Waduh, memang apa yang dilakukan Klewang menusuk jantung kita.
Apa yang dilakukan Klewang dan pengikut belianya, memang jauh dari pikiran kita selama ini. Kita benar-benar terperangah, terkejut dengan perbuatan yang mereka lakukan. Ini bukan kesalahan generasi muda kita, tapi kesaahan tertuju kepada kita. Baik kita yang berada di lingkungan pendidik, seniman, budayawan, tokoh kepemudaan, orang-orang politik, para agamawan bahkan pemerintah kita sendiri yang membuat ruang untuk mereka menjadi sempit.
Seharusnya kita cepat tanggap mengatasi masalah ini. Tanda-tanda kebejatan telah lama terlihat di kalangan generasi muda di negeri ini, khususnya di Kota Pekanbaru. Mereka terabai tanpa ada yang mengarahkan. Di bekas MTQ, sekarang bernama Bandar Serai, terlalu sering pekerja seni di kawasan itu menangkap generasi muda melakukan hal tidak senonoh. Namun mereka tidak pernah dibina. Begitu juga segerombolan anak-anak muda sesuka hati menggebut di jalan raya. Mereka seakan dibiarkan saja, kalaupun ada razia itu tidak berlangsung lama. Apa salahnya pemerintah membangun kawasan balapan yang standar untuk menampung keinginan mereka berbalap ria. Dari sinilah mereka dibina, sehingga mereka bukan jadi pembalap ‘liar’, tapi menjadi pembalap yang handal dan memiliki wawasan.
Klewang datang pada hari ini dan menawarkan sesuatu yang mengasikkan bagi generasi muda. Sehingga mereka (generasi muda) seakan mendapat tempat. Klewang mengakomudir apa yang menjadi keinginan mereka. Tentu saja, di tangan Klewang keinginan bejat yang mereka dapat. Mereka merasa diakui keberdaannya, walaupun dikendalikan oleh Klewang. Klewang pintar dengan akal bejatnya, mengangkat beberapa pengikutnya menjadi Panglima. Susuatu yang luar biasa bagi generasi muda mendapat kepercayaan setingkat Panglima. Keberadaan mereka seakan diterima oleh Klewang. Ruang-ruang inilah yang dimainkan oleh Klewang, sehingga semakin banyak generasi muda terakui di ruang akal Klewang. Ruang-ruang yang dibuat Klewang menambah kepercayaan pengikutnya, sehingga kepercayaan diri mereka semakin mantap dan kehendak Klewang menjadi kehendak mereka. Klewang dengan mudah menyetel mereka.
Selain ruang eksistensi pengikutnya dibuka lebar-lebar, Klewang juga memanfaatkan ruang hura-hura atau happy generasi muda. Di dalam benak generasi muda yang masih muda belia (SMP dan SMA), sesuatu yang dapat membahagiakan merupakan tujuan mereka. Mereka akan melakukan apapun juga untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Ketika eksistensi mereka dinaikan dan kebahagiaan menjelma di depan mata, hati mereka pun tertutup rapat-rapat. Amrus Natalsya, seorang seniman seni rupa mejelaskan bahwa masyarakat happy ini, dicirikan oleh kecenderungan orang berfikir untuk dirinya sendiri dan kurang memikirkan kepentingan kolektif (umum). Mungkin juga kita termasuk dalam masyarakat happy sehingga tidak peduli dengan sekeliling kita.
Ruang-ruang untuk memperlihatkan eksistensi generasi muda inilah yang mungkin tertutup rapat, baik di sekolah, di rumah atau pun di ruang publik yang hanya memikirkan kepentingan sesaat. Inilah yang menjadi kesalahan kita bersama, ruang-ruang eksistensi generasi muda ditutup rapat-rapat disebabkan ada kepentingan lain. Generasi muda kita kehilangan jalan ‘terang’ dan menemukan jalan ‘gelap’ dengan mudahnya.
Ke depan, hendaknya kita membuka ruang-ruang bagi geneasi muda untuk menampung keberadaan mereka dan disalurkan ke perbuatan yang berfaedah dan bermanfaat. Tidak musimnya lagi kita berdebat dengan mengatakan kita yang paling hebat dan benar. Tujuan kita sama, baik lembaga budaya, politik, ekonomi, sosial, agama, pendidikan yaitu menciptakan generasi muda yang berakhlak mulia. Dengan berakhlak mulia, semua tindakan yang dilakukan generasi muda mengarah kepada kebaikan. Memang tidak semua generasi muda di negeri kita ini mau mengikuti ‘ajaran’ yang disebarkan Klewang, tapi kalau dibiarkan, bukan mustahil banyak generasi muda kita terjerumus dalam lembah kejahatan.
Di zaman modern ini, nilai-nilai kolektivitas semakin terkikis oleh kepentingan pribadi. Hal ini merupakan potensi penyebab Klewang-klewang lain bermunculan. Sifat konsumtif merupakan ladang subur menumbuhkan perbuatan-perbuatan bejat dan keji. Sifat ini juga sangat berperan menghancurkan nilai kebersamaan. Suburnya tabiat kunsumtif ini menyebabkan orang-orang akan melakukan apapun perbuatan untuk mewujudkan keinginannya. Generasi muda kita pada hari ini mudah terjebak oleh kehendak zaman yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur. Dan kita merupakan panutan mereka harus ‘turun’ tangan mengarahkan mereka menjadi generasi panutan berikutnya.
Hari ini Klewang telah menampar kita. Terasa perih melihat apa yang dilakukan Klewang dengan melibatkan generasi muda. Mari kita mengintropeksi diri. Tak perlulah kita memaksa kehendak kita pada generasi muda. Mari kita olah kehendak generasi muda dengan pikiran kita yang bersih, sehingga tidak bermunculan lagi generasi muda yang menganggap Klewang tempat meninggikan keberadaan mereka. n
Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Ketua Teater MATAN dan juga mengajar di STSR
Sumber: Riau Pos, Minggu, 19 Mei 2013
NAMA Klewang menjadi buah bibir masyarakat, bukan saja Pekanbaru atau pun Riau, bahkan Indonesia, namanya disebut-sebut. Klewang mempengaruhi generasi muda melakukan perbuatan keji. Aksi Klewang beserta pengikutnya menyentak kita. Perihnya, pengikut Klewang berusia sangat muda. Rata-rata pengikut Klewang siswa SMP dan SMA. Miris memang, namun inilah kenyataannya, Klewang mampu ‘’mencuci otak’’ generasi muda tanah Melayu ini. Perbuatan Klewang menampar wajah kita. Apa yang kita dengungkan hari ini tentang akhlak terasa terhempas. Kita mungkin tidak menyangka bahwa ada perbuatan yang sangat tidak senonoh, yang sangat jauh dari nilai-nilai budaya dan agama mayoritas masyarakat di tanah kita ini.
Perbuatan Klewang dan pengikutnya membuka mata kita, bahwa apa yang kita lakukan baik di bidang pendidikan, budaya, kepemudaan, bahkan agama sekali pun terasa sia-sia. Kita asik dengan diri sendiri. Dunia pendidikan kita, asik dengan kurikulum, sertifikasi, kenaikan pangkat, prestasi anu-ini, ngurus perlombaan, sehingga melupakan esensi pendidikan itu sendiri. Begitu juga dengan dunia kesenian (kebudayaan) kita, keasikan mengurus perlombaan seni, perayaan hari ini-hari itu, berangkat sana-berangkat sini, sibuk menyusun nilai-nilai budaya yang hanya dibicara pada seminar, lokakarya. Begitu juga dengan lembaga kepemudaan, asik berpolitik untuk tujuan sesaat. Bahkan lembaga keagamaan tidak berdaya menularkan virus kebenaran kepada generasi muda.
Disaat kite asik mengurus ‘diri sendiri’ dan berkelahi mempertahankan ‘kebenaran’ kelompok kita, Klewang menjadi tempat mengadu ‘nasib’ generasi muda. Tidak tanggung-tanggung, Klewang dapat ‘membina’ tiga ratusan generasi muda yang sangat belia. Genarasi penerus yang diharapkan menjaga nilai-nilai kebenaran, berubah menjadi ‘penjaga’ kemaksiatan. Entah bagaimana caranya Klewang ‘menanam’ virus kejahatan ke otak dan hati anak-anak muda itu, sehingga mereka patuh terhadap perintah dan keinginan Klewang. Bahkan pengikut perempuan Klewang, rela menyerahkan tubuh mereka kepada Klewang. Waduh, memang apa yang dilakukan Klewang menusuk jantung kita.
Apa yang dilakukan Klewang dan pengikut belianya, memang jauh dari pikiran kita selama ini. Kita benar-benar terperangah, terkejut dengan perbuatan yang mereka lakukan. Ini bukan kesalahan generasi muda kita, tapi kesaahan tertuju kepada kita. Baik kita yang berada di lingkungan pendidik, seniman, budayawan, tokoh kepemudaan, orang-orang politik, para agamawan bahkan pemerintah kita sendiri yang membuat ruang untuk mereka menjadi sempit.
Seharusnya kita cepat tanggap mengatasi masalah ini. Tanda-tanda kebejatan telah lama terlihat di kalangan generasi muda di negeri ini, khususnya di Kota Pekanbaru. Mereka terabai tanpa ada yang mengarahkan. Di bekas MTQ, sekarang bernama Bandar Serai, terlalu sering pekerja seni di kawasan itu menangkap generasi muda melakukan hal tidak senonoh. Namun mereka tidak pernah dibina. Begitu juga segerombolan anak-anak muda sesuka hati menggebut di jalan raya. Mereka seakan dibiarkan saja, kalaupun ada razia itu tidak berlangsung lama. Apa salahnya pemerintah membangun kawasan balapan yang standar untuk menampung keinginan mereka berbalap ria. Dari sinilah mereka dibina, sehingga mereka bukan jadi pembalap ‘liar’, tapi menjadi pembalap yang handal dan memiliki wawasan.
Klewang datang pada hari ini dan menawarkan sesuatu yang mengasikkan bagi generasi muda. Sehingga mereka (generasi muda) seakan mendapat tempat. Klewang mengakomudir apa yang menjadi keinginan mereka. Tentu saja, di tangan Klewang keinginan bejat yang mereka dapat. Mereka merasa diakui keberdaannya, walaupun dikendalikan oleh Klewang. Klewang pintar dengan akal bejatnya, mengangkat beberapa pengikutnya menjadi Panglima. Susuatu yang luar biasa bagi generasi muda mendapat kepercayaan setingkat Panglima. Keberadaan mereka seakan diterima oleh Klewang. Ruang-ruang inilah yang dimainkan oleh Klewang, sehingga semakin banyak generasi muda terakui di ruang akal Klewang. Ruang-ruang yang dibuat Klewang menambah kepercayaan pengikutnya, sehingga kepercayaan diri mereka semakin mantap dan kehendak Klewang menjadi kehendak mereka. Klewang dengan mudah menyetel mereka.
Selain ruang eksistensi pengikutnya dibuka lebar-lebar, Klewang juga memanfaatkan ruang hura-hura atau happy generasi muda. Di dalam benak generasi muda yang masih muda belia (SMP dan SMA), sesuatu yang dapat membahagiakan merupakan tujuan mereka. Mereka akan melakukan apapun juga untuk mendapatkan kebahagiaan itu. Ketika eksistensi mereka dinaikan dan kebahagiaan menjelma di depan mata, hati mereka pun tertutup rapat-rapat. Amrus Natalsya, seorang seniman seni rupa mejelaskan bahwa masyarakat happy ini, dicirikan oleh kecenderungan orang berfikir untuk dirinya sendiri dan kurang memikirkan kepentingan kolektif (umum). Mungkin juga kita termasuk dalam masyarakat happy sehingga tidak peduli dengan sekeliling kita.
Ruang-ruang untuk memperlihatkan eksistensi generasi muda inilah yang mungkin tertutup rapat, baik di sekolah, di rumah atau pun di ruang publik yang hanya memikirkan kepentingan sesaat. Inilah yang menjadi kesalahan kita bersama, ruang-ruang eksistensi generasi muda ditutup rapat-rapat disebabkan ada kepentingan lain. Generasi muda kita kehilangan jalan ‘terang’ dan menemukan jalan ‘gelap’ dengan mudahnya.
Ke depan, hendaknya kita membuka ruang-ruang bagi geneasi muda untuk menampung keberadaan mereka dan disalurkan ke perbuatan yang berfaedah dan bermanfaat. Tidak musimnya lagi kita berdebat dengan mengatakan kita yang paling hebat dan benar. Tujuan kita sama, baik lembaga budaya, politik, ekonomi, sosial, agama, pendidikan yaitu menciptakan generasi muda yang berakhlak mulia. Dengan berakhlak mulia, semua tindakan yang dilakukan generasi muda mengarah kepada kebaikan. Memang tidak semua generasi muda di negeri kita ini mau mengikuti ‘ajaran’ yang disebarkan Klewang, tapi kalau dibiarkan, bukan mustahil banyak generasi muda kita terjerumus dalam lembah kejahatan.
Di zaman modern ini, nilai-nilai kolektivitas semakin terkikis oleh kepentingan pribadi. Hal ini merupakan potensi penyebab Klewang-klewang lain bermunculan. Sifat konsumtif merupakan ladang subur menumbuhkan perbuatan-perbuatan bejat dan keji. Sifat ini juga sangat berperan menghancurkan nilai kebersamaan. Suburnya tabiat kunsumtif ini menyebabkan orang-orang akan melakukan apapun perbuatan untuk mewujudkan keinginannya. Generasi muda kita pada hari ini mudah terjebak oleh kehendak zaman yang semakin jauh dari nilai-nilai luhur. Dan kita merupakan panutan mereka harus ‘turun’ tangan mengarahkan mereka menjadi generasi panutan berikutnya.
Hari ini Klewang telah menampar kita. Terasa perih melihat apa yang dilakukan Klewang dengan melibatkan generasi muda. Mari kita mengintropeksi diri. Tak perlulah kita memaksa kehendak kita pada generasi muda. Mari kita olah kehendak generasi muda dengan pikiran kita yang bersih, sehingga tidak bermunculan lagi generasi muda yang menganggap Klewang tempat meninggikan keberadaan mereka. n
Hang Kafrawi, Ketua Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Unilak. Ketua Teater MATAN dan juga mengajar di STSR
Sumber: Riau Pos, Minggu, 19 Mei 2013
No comments:
Post a Comment