-- Nurun Nisa'
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah diumumkan menjadi penerima World Statesman Award oleh Appeal Conscience Foundation (ACF) di AS. Pemberian gelar yang akan dilakukan pada akhir Mei ini menjadi penting mengingat penghargaan ini terkait dengan HAM (hak asasi manusia) dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dengan alasan ini, sejumlah elemen sipil yang tergabung dalam Sobat KBB (Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama) melakukan penolakan dengan berdemo di depan Kedubes AS.
Penolakan ini sekaligus merupakan ungkapan ketidakpuasan para korban minoritas yang selama ini diabaikan oleh SBY sehingga mereka mesti memperjuangkan haknya sendiri. Ada tiga landasan yang melatarbelakangi penolakan itu, yakni riwayat sikap SBY, fakta di dalam negeri, dan respon dunia internasional.
Pertama, SBY dalam kapasitasnya sebagai kepala negara tidak banyak memiliki 'prestasi' dalam mempromosikan keberagaman. SBY dalam soal ini lebih banyak tidak bersikap ketimbang mendayagunakan otoritasnya untuk bertindak sebagaimana mestinya seperti telah diamanatkan konstitusi. Sikap ini tampak terang-benderang dalam persoalan keagamaan terkait penyegelan Masjid al-Misbah dan GKI Taman Yasmin Bekasi, yang lokasinya tidak jauh dari kediaman SBY di Cikeas.
Kedua, adanya ketimpangan mayoritas-minoritas di Indonesia belakangan ini. Setidaknya beberapa orang Ahmadiyah telah tewas di Cikeusik dan sudah berpuluh-puluh minggu jemaat GKI Taman Yasmin tidak dapat beribadah dengan tenang di trotoar pasca gereja mereka disegel paksa. Keadaan semacam ini bisa jadi merupakan dampak dari kebijakan SBY yang tidak 'praktis' dalam menindak kekerasan atas nama agama dalam bentuk penyegelan tempat ibadah atau aktivitas lain yang sejenis. Namun, di sisi lain, kebijakan semacam ini justru menjadi langgam dari kebijakan SBY karena terkait soal legitimasi.
Hal ini cukup beralasan mengingat legitimasi SBY merupakan, mengutip Weber, legitimasi rasional yang mengandaikan pemilu dan mekanisme demokrasi lainnya yang sejenis. Dengan legitimasi semacam ini, maka SBY erlu berusah lebih keras ketimbang pendahulunya, Soekarno, yang masuk tipikal legitimasi kharismatis. Cara ini, misalnya, dengan memihak mayoritas karena legitimasi suara mayoritas - dengan cara melibatkan mayoritas dalam pengambilan kebijakan terkait isu kebebasan beragama dan berkeyakinan atau mengikuti selara mayoritas dalam isu yang sama. Namun, tidak juga dapat diabaikan bahwa SBY datang dari kelompok mayoritas sehingga ia ingin menjadi bagian dari mayoritas dengan caranya sendiri.
Dengan logika semacam ini, pemihakan terhadap mayoritas menjadi wajar, tetapi bukan berarti benar. Kepala negara, dengan segala kekuasaan di dalamnya, tetap harus mempertimbangkan norma HAM dan konvensi HAM internasional yang diratifikasi bersama. UU No. 39 Th. 1999 tentang HAM mengakui kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara Indonesia, di samping bahwa kepala negara bekerja untuk warga negaranya tanpa menghitung identitas agamanya.
Ketiga, dalam dunia internasional, pemerintahan SBY memiliki catatan merah terhadap isu ini yang mendorong forum UPR (Universal Periodic Review) sidang HAM PBB untuk memberikan rekomendasi lanjutan akhir tahun lalu di Jenewa. Rekomendasi ini, misalnya, "melakukan upaya-upaya untuk memerangi segala bentuk diskriminasi terhadap agama minoritas", dan "menghukum pelaku kekerasan berdasarkan agama".
Tindakan yang direkomendasikan ini seharusnya merupakan tamparan hebat bagi SBY terutama karena sejak dulu kala Indonesia dinobatkan sebagai contoh toleransi dan patut dijadikan contoh negara Muslim lainnya, bahkan oleh pemerintahan AS sendiri. Barack Obama dalam pidatonya di Kairo 2009 menyebut Indonesia setelah Andalusia dan Cordova, tradisi Islam yang monumental di Eropa. Indonesia, di depan publik Mesir, disebut sebagai negara "di mana warga Kristen yang saleh bebas beribadah di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim".
Dengan ketiga alasan semacam ini, revelansi dan signifikansi penghargaan semacam ini tidak perlu diperdebatkan lagi karena 'keputusan' seharusnya sudah bisa diambil. Namun, lebih dari semua ini, perlu pertanyaan lanjutan yang substantif menyangkut signifikansi isu keberagamaan sebagai daya tawar politik di Indonesia.
Seperti diketahui, beberapa laporan tahunan diluncurkan secara rutin oleh lembaga terkait seperti the Wahid Institute, Setara Institute, dan CRCS UGM lebih banyak menggambarkan kesuraman ketimbang harapan mengingat banyaknya korban dari penanganan yang keliru: manusia, properti bahkan hak hidup itu sendiri. Pada sisi lain, lembaga semacan Amnesty International dan Human Rights Watch tak henti memperingatkan tentang bahaya kebebasan beragama di depan mata. Pemerintah pun masih berpikir setengah hati: menerima sebagian rekomendasi dan pikir-pikir dengan sebagian rekomendasi lainnya.
Di sisi lain, pemerintah lebih senang menjadikan indikator keberhasilan pembangunan pada isu-isu strategis seperti pemberantasan korupsi, pemenuhan layanan pendidikan dan kesehatan, dan hal strategi lainnya. Sementara bertubi-tubi insiden terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan tampaknya tidak banyak berpengaruh. Pemerintahan lebih heboh (baca: reaksioner) ketika indeks persepsi dirilis namun sibuk membela diri saat terjadi konflik bernuansa agama.
Di luar itu, sejatinya gelar tujuh doktor honoris causa dari berbagai universitas di dunia beserta gelar kehormatan lainnya, seperti gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath dari Inggris, sudah cukup banyak dan cukup membanggakan sehingga tidak terlalu perlu tambahan gelar yang kontroversial. Kecuali, jika jabatan presiden adalah jalan untuk mengoleksi gelar kehormatan. n
Nurun Nisa', Dosen ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) Cirebon.
Sumber: Suara Karya, Jumat, 10 Mei 2013
PRESIDEN Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah diumumkan menjadi penerima World Statesman Award oleh Appeal Conscience Foundation (ACF) di AS. Pemberian gelar yang akan dilakukan pada akhir Mei ini menjadi penting mengingat penghargaan ini terkait dengan HAM (hak asasi manusia) dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dengan alasan ini, sejumlah elemen sipil yang tergabung dalam Sobat KBB (Solidaritas Korban Pelanggaran Kebebasan Beragama) melakukan penolakan dengan berdemo di depan Kedubes AS.
Penolakan ini sekaligus merupakan ungkapan ketidakpuasan para korban minoritas yang selama ini diabaikan oleh SBY sehingga mereka mesti memperjuangkan haknya sendiri. Ada tiga landasan yang melatarbelakangi penolakan itu, yakni riwayat sikap SBY, fakta di dalam negeri, dan respon dunia internasional.
Pertama, SBY dalam kapasitasnya sebagai kepala negara tidak banyak memiliki 'prestasi' dalam mempromosikan keberagaman. SBY dalam soal ini lebih banyak tidak bersikap ketimbang mendayagunakan otoritasnya untuk bertindak sebagaimana mestinya seperti telah diamanatkan konstitusi. Sikap ini tampak terang-benderang dalam persoalan keagamaan terkait penyegelan Masjid al-Misbah dan GKI Taman Yasmin Bekasi, yang lokasinya tidak jauh dari kediaman SBY di Cikeas.
Kedua, adanya ketimpangan mayoritas-minoritas di Indonesia belakangan ini. Setidaknya beberapa orang Ahmadiyah telah tewas di Cikeusik dan sudah berpuluh-puluh minggu jemaat GKI Taman Yasmin tidak dapat beribadah dengan tenang di trotoar pasca gereja mereka disegel paksa. Keadaan semacam ini bisa jadi merupakan dampak dari kebijakan SBY yang tidak 'praktis' dalam menindak kekerasan atas nama agama dalam bentuk penyegelan tempat ibadah atau aktivitas lain yang sejenis. Namun, di sisi lain, kebijakan semacam ini justru menjadi langgam dari kebijakan SBY karena terkait soal legitimasi.
Hal ini cukup beralasan mengingat legitimasi SBY merupakan, mengutip Weber, legitimasi rasional yang mengandaikan pemilu dan mekanisme demokrasi lainnya yang sejenis. Dengan legitimasi semacam ini, maka SBY erlu berusah lebih keras ketimbang pendahulunya, Soekarno, yang masuk tipikal legitimasi kharismatis. Cara ini, misalnya, dengan memihak mayoritas karena legitimasi suara mayoritas - dengan cara melibatkan mayoritas dalam pengambilan kebijakan terkait isu kebebasan beragama dan berkeyakinan atau mengikuti selara mayoritas dalam isu yang sama. Namun, tidak juga dapat diabaikan bahwa SBY datang dari kelompok mayoritas sehingga ia ingin menjadi bagian dari mayoritas dengan caranya sendiri.
Dengan logika semacam ini, pemihakan terhadap mayoritas menjadi wajar, tetapi bukan berarti benar. Kepala negara, dengan segala kekuasaan di dalamnya, tetap harus mempertimbangkan norma HAM dan konvensi HAM internasional yang diratifikasi bersama. UU No. 39 Th. 1999 tentang HAM mengakui kebebasan beragama dan berkeyakinan bagi setiap warga negara Indonesia, di samping bahwa kepala negara bekerja untuk warga negaranya tanpa menghitung identitas agamanya.
Ketiga, dalam dunia internasional, pemerintahan SBY memiliki catatan merah terhadap isu ini yang mendorong forum UPR (Universal Periodic Review) sidang HAM PBB untuk memberikan rekomendasi lanjutan akhir tahun lalu di Jenewa. Rekomendasi ini, misalnya, "melakukan upaya-upaya untuk memerangi segala bentuk diskriminasi terhadap agama minoritas", dan "menghukum pelaku kekerasan berdasarkan agama".
Tindakan yang direkomendasikan ini seharusnya merupakan tamparan hebat bagi SBY terutama karena sejak dulu kala Indonesia dinobatkan sebagai contoh toleransi dan patut dijadikan contoh negara Muslim lainnya, bahkan oleh pemerintahan AS sendiri. Barack Obama dalam pidatonya di Kairo 2009 menyebut Indonesia setelah Andalusia dan Cordova, tradisi Islam yang monumental di Eropa. Indonesia, di depan publik Mesir, disebut sebagai negara "di mana warga Kristen yang saleh bebas beribadah di sebuah negara yang mayoritas penduduknya Muslim".
Dengan ketiga alasan semacam ini, revelansi dan signifikansi penghargaan semacam ini tidak perlu diperdebatkan lagi karena 'keputusan' seharusnya sudah bisa diambil. Namun, lebih dari semua ini, perlu pertanyaan lanjutan yang substantif menyangkut signifikansi isu keberagamaan sebagai daya tawar politik di Indonesia.
Seperti diketahui, beberapa laporan tahunan diluncurkan secara rutin oleh lembaga terkait seperti the Wahid Institute, Setara Institute, dan CRCS UGM lebih banyak menggambarkan kesuraman ketimbang harapan mengingat banyaknya korban dari penanganan yang keliru: manusia, properti bahkan hak hidup itu sendiri. Pada sisi lain, lembaga semacan Amnesty International dan Human Rights Watch tak henti memperingatkan tentang bahaya kebebasan beragama di depan mata. Pemerintah pun masih berpikir setengah hati: menerima sebagian rekomendasi dan pikir-pikir dengan sebagian rekomendasi lainnya.
Di sisi lain, pemerintah lebih senang menjadikan indikator keberhasilan pembangunan pada isu-isu strategis seperti pemberantasan korupsi, pemenuhan layanan pendidikan dan kesehatan, dan hal strategi lainnya. Sementara bertubi-tubi insiden terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan tampaknya tidak banyak berpengaruh. Pemerintahan lebih heboh (baca: reaksioner) ketika indeks persepsi dirilis namun sibuk membela diri saat terjadi konflik bernuansa agama.
Di luar itu, sejatinya gelar tujuh doktor honoris causa dari berbagai universitas di dunia beserta gelar kehormatan lainnya, seperti gelar Knight Grand Cross in the Order of the Bath dari Inggris, sudah cukup banyak dan cukup membanggakan sehingga tidak terlalu perlu tambahan gelar yang kontroversial. Kecuali, jika jabatan presiden adalah jalan untuk mengoleksi gelar kehormatan. n
Nurun Nisa', Dosen ISIF (Institut Studi Islam Fahmina) Cirebon.
Sumber: Suara Karya, Jumat, 10 Mei 2013
No comments:
Post a Comment