Saturday, July 28, 2007

Khazanah: Sutardji, Tradisi, Apresiasi

-- Ibnu Wahyudi*

SELAMA sepekan, sampai Kamis kemarin, digelar sejumlah acara untuk menyambut 66 tahun usia penyair bernama Sutardji Calzoum Bachri yang dipusatkan di Kompleks Taman Ismail Marzuki, Jakarta.

Kalau menurut Dami N. Toda dalam Hamba-hamba Kebudayaan, tahun ini Sutardji baru berusia 62 tahun. Secara statistik, sangat sedikit sastrawan Indonesia yang dalam pencapaian usia tertentu dirayakan dengan semarak dan menghadirkan sejumlah pengamat sastra Indonesia dari dalam maupun luar negeri sebagai pembicaranya. Dengan kata lain, diadakannya acara bertajuk "Pekan Presiden Penyair" ini paling kurang menunjukkan kebermaknaan eksistensi sastrawan kelahiran Riau tahun 1941 (atau 1945?) ini berkaitan dengan perjalanan sastra Indonesia yang tahun ini mencapai 150 tahun jika dihitung sejak tahun 1857.

Penyair yang di masa lalu namanya sering dipelesetkan dengan Sutardji Calzoum Bir --lantaran dalam beberapa acara pembacaan puisi ia sering membaca sembari menenggak bir-- tak pelak lagi adalah sastrawan, istimewanya sebagai penyair, yang bersastra dari suatu pijakan kesadaran puitika yang bernas. Setidak-tidaknya dari kredo yang pernah ia kemukakan, jelas menunjukkan bahwa ada alas yang mendasari arah atau kecenderungan berpuisinya itu. Oleh sebab itu, tidak mengherankan jika beberapa kali dapat kita baca pikirannya melalui sejumlah tulisannya yang menyiratkan konsep bersastranya.

Gugatannya atas karya-karya yang ia nyatakan sebagai puisi gelap, misalnya, yang menurutnya marak pada tahun 1980-an, sekurang-kurangnya telah menunjukkan sikap dan pengambilan posisinya dalam dunia kepenyairan dan kepengarangan pada umumnya.

Demikian pula dari "perdebatan" kecilnya dengan Joko Pinurbo soal salah cetak dalam puisi, misalnya, atau komentarnya atas sajak-sajak Sapardi Djoko Damono, menjelaskan akan sikap kesastraannya itu. Dan kenyataan ini, secara jelas memberikan bukti kepada kita akan proses kepenyairannya, yang dalam konteks Indonesia dapat dinyatakan sebagai istimewa, sebab yang jauh lebih banyak adalah penyair yang menghasilkan sajak-sajak, tetapi tanpa didukung oleh suatu konsep berkarya yang dapat dipahami oleh pembaca.

Dengan kata lain, yang jauh dan sangat lebih banyak adalah sajak-sajak yang ditulis karena adanya dorongan untuk menulis sajak begitu saja.

Tradisi

Ketika tulisannya mengenai "pantun" dipublikasikan, sejumlah orang dan konon juga banyak pelaku sastra di Malaysia cukup terhenyak akan kedalaman pemahaman Sutardji atas pantun, Sementara, bentuk pantun ini sangat dikenal dan masih segar-bugar di sana, sedangkan di Indonesia dapat dikatakan tidak lagi menjadi bagian keseharian. Kemampuan Sutardji dalam mendedah dan mengeksplorasi pola pantun yang sedemikian itu, barang tentu bukan sesuatu yang mengherankan. Sama tidak mengherankannya ketika di akhir kredonya ia menyatakan "maka menulis puisi bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantra" yang secara jelas dapat dipahami sebagai akar budaya dan roh kepenyairannya. Dan baik pantun maupun mantra adalah bentuk sastra (lisan) dari khazanah pribumi yang tentu dapat disebut sebagai sebuah tradisi yang kita miliki.

Dengan demikian, antara Sutardji dan tradisi dapat dinyatakan sebagai sebuah kesatuan, sebuah kedirian. Oleh kenyataan ini, maka ketika membaca sajak-sajaknya yang mantra itu, yang kemudian sangat terasa adalah sifat kealamiahannya; bukan keartifisialannya. Dalam kesenian, kebersatuan semacam ini akan mempertontonkan suatu "kehidupan" yang menawan. Dan itulah sajak-sajak Sutardji, yang utamanya telah dikumpulkan dalam O Amuk Kapak: sebuah diri yang hakiki.

Tapi jangan silap, mantra Sutardji tentu tidak lagi berfungsi sebagaimana mantra di masa dulu. Mantra-mantra Sutardji menyimpan misteri; ia menyiratkan sesuatu yang di masa kini kerapkali dinyatakan sebagai representasi sebuah komunikasi. Oleh karena itu, jika sajak-sajak Sutardji masih saja dipahami sebagai pelaksanaan atau penerusan belaka dari tradisi mantra, jelas itu sipi.

Dalam sajak yang berjudul "Shang---Hai" contohnya, yang berbunyi "//ping di atas pong/ pong di atas ping/ ping ping bilang pong/ pong pong bilang ping/ mau pong? Bilang ping/ mau mau bilang pong/ mau ping bilang pong/ mau mau bilang ping/" paling tidak memperlihatkan fenomena kemanusiaan yang paling dasar, yaitu bahwa komunikasi itu ternyata sangat sering tidak komunikatif. Kendati tampak ada komunikasi, ternyata sesungguhnya tidak ada komunikasi, seperti banyak dipancarkan oleh karya-karya absurd.

Maka, pengeksplorasian khazanah tradisi yang berupa mantra itu, sejatinya untuk menetak jalan buntu. Oleh karena itu, idiom kapak, bukan hanya dalam bentuk puisi, melainkan secara nyata dihadirkan dalam pembacaan puisinya sekitar 30-an tahun lalu, menyiratkan akan repotnya suatu komunikasi.

Kembali kepada soal kredo yang ditulis tanggal 30 Maret 1973, khususnya dalam pernyataannya bahwa "Kata-kata harus bebas dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya" dan "Bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan" tentu segera mengingatkan kita pada hakikat kearbitreran atau kemanasukaan dalam menyebut benda dengan kata apa saja. Ini lagi-lagi soal komunikasi. Namun, realitas tak selamanya bisa diajak kompromi, sebagaimana mantra yang sangat terbatas sebagai sarana komunikasi dengan bukan sesama. Perihal kearbitreran ini, perhatikan sajaknya yang berjudul "Sejak", misalnya pada "//sejak kapan sungai dipanggil sungai/ sejak kapan tanah dipanggil tanah/ sejak kapan derai dipanggil derai/ sejak kapan resah dipanggil resah/".

Sebagaimana Friedrich Nietzsche dengan teologi "death of God"-nya, kalimat kredonya "bila kata telah dibebaskan, kreativitas pun dimungkinkan" sesungguhnya semata-mata sekadar penyemangat atau siasat dalam soal yang personal sifatnya. Artinya, baik Nietzsche maupun Sutardji sepertinya mau menyatakan bahwa di sekitar diri ini sangat banyak belenggu, sehingga perlu ada upaya membebaskan atau "memberontak" dalam kadar yang seberapa pun.

Apresiasi

Salah seorang peserta lomba baca puisi dalam rangkaian kegiatan "Pekan Presiden Penyair" ini konon membacakan puisi "Mesin Kawin" nyaris tanpa busana dan beraksi di pentas seolah suatu persetubuhan. Dari sisi penghayatan, barangkali peserta ini dapat dinilai sebagai mencoba lebur ke dalam esensi sajak menurut pandangannya. Namun dari sisi yang luas, perlu disadari bahwa apresiasi terhadap kepenyairan Sutardji lebih sering bukan pada aspek penghayatan terhadap karya melainkan pada sosok atau penampilannya.

Dalam beberapa acara apresiasi sastra yang diikuti Sutardji sebagai narasumber, konon yang lebih mengemuka adalah apresiasi terhadap identifikasi kepenyairan yang bukan pada proses pemahaman terhadap karya-karya, tapi lebih kepada keflamboyanan atau juga kenyentrikan sang sastrawan. Tentu, ini bukan kesalahan Sutardji misalnya, namun kesalahan dunia pengajaran sastra di Indonesia pada umumnya.

Inilah Sutardji Calzoum Bachri, yang baik karya maupun penampilannya, telah mampu menghipnotis banyak peminat sastra di Indonesia, sebagaimana seorang pesulap telah mampu memukaunya: "aku dipukau David Copperfield".

* Ibnu Wahyudi, Peminat sastra, tinggal di Depok

Sumber: Pikiran Rakyat, Sabtu, 28 Juli 2007

No comments: