ISTILAH musik sastra mungkin terdengar asing di telinga. Ya, istilah tersebut memang baru saja 'diciptakan' oleh pianis dan komposer kenamaan, Ananda Sukarlan. Musik sastra berarti, musik yang dibuat berdasarkan puisi seorang penyair, dan dimainkan secara baku. Bait dalam puisi yang menginspirasi komposisinya kemudian disesuaikan dengan komposisi musik itu sendiri. Ini sungguh berbeda dengan musikalisasi puisi, yang tidak mementingkan unsur musik, namun lebih kepada menyanyikan puisi itu sambil diiringi musik.
foto-foto:dok jcom
Musik sastra karya Ananda Sukarlan yang diubah dari puisi-puisi karya Sapardi akan dipentaskan pada lima konser JCoM Fest, yang digelar Jakarta Conservatory of Music di Goethe Haus dan Erasmus Huis dalam kurun waktu Sabtu (28/7) hingga Minggu (12/8).
Selain karya Sapardi, Andy juga menggubah beberapa karya penyair lain, yakni Goenawan Mohamad dan Ilham Malayu. Ia juga akan ditemani beberapa musisi lain yang turut tampil, termasuk Jeffrey Jacob, pianis dan komposer piawai asal AS.
"Karena itu, dalam karya Ananda, ibaratnya saya hanya ikut saja. Beda dengan musikalisasi beberapa puisi saya beberapa waktu lalu. Meski dibawakan secara akustik, namun di kesempatan lain nada maupun instrumennya bisa diubah dan tidak baku, asalkan kata-katanya tetap puisi saya," tutur Sapardi Djoko Damono, dalam ajang diskusi santai, Sapardi dari Dekat, sebagai pembuka rangkaian acara Jakarta Conservatory of Music Festival (JCoM Fest) di Jakarta, Senin (23/7).
Beberapa puisi karya Guru Besar dan mantan Dekan Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya, red) Universitas Indonesia itu memang digubah menjadi komposisi musik dan lagu oleh Ananda. Di antaranya adalah Aku Ingin, Dalam Doaku, Di Kebun Binatang, Akulah si Telaga, Hujan Turun Sepanjang Jalan dan Kuterka Gerimis.
Oleh Andy, panggilan akrab Ananda, puisi-puisi tadi digubah ke dalam bentuk musik. Sebelumnya, ia sudah kerap melakukan itu, namun hanya terbatas pada puisi-puisi karya penyair Barat seperti Walt Whitman atau TS Elliott.
"Terus terang, sebelum ini, satu-satunya sastrawan Indonesia yang saya baca karyanya hanyalah Goenawan Mohamad. Saya belum pernah membuat karya musik dari puisi-puisi Indonesia karena saya kurang memahami bahasanya, meski saya bisa bercakap-cakap dalam bahasa Indonesia,' tutur musisi yang lama tinggal di luar negeri dan kini berdomisili di Spanyol ini.
Untunglah, kawan baik sekaligus rekanan Andy dalam menggelar JCoM Fest, Chendra Panatan, mengenalkannya pada puisi-puisi karya Sapardi. Lewat internet, kemudian ia mencari puisi lain karya sang sastrawan. Bahasa Sapardi yang sederhana membuat Andy jatuh hati. Keindahan di antara jalinan kata-kata nan lugas tersirat dengan sendirinya. "Puisi karya Pak Sapardi lebih kena di saya. Ibaratnya, seperti musik, yang penting adalah yang terjadi di antara not-notnya, bukan not balok itu sendiri," lanjutnya.
Membuat komposisi ini bak memberikan identitas baru untuknya. Andy mengakui, hingga tahun lalu, karya-karyanya tidak pernah terkesan sebagai karya musisi Indonesia, atau dalam bahasanya sendiri, "tidak ada Indonesia-Indonesianya sama sekali."
Menggubah puisi Indonesia ke dalam komposisi musik bukanlah pekerjaan yang mudah. Memang, puisi Indonesia memiliki karakter yang tidak ada pada karya sastra Barat. Dengan puisi Sapardi, Andy mengaku bisa mengenang masa kecilnya dulu. "Selain bunyi yang ada pada jalinan kata-katanya, saya suka sekali dengan metafora yang dibuat Pak Sapardi dalam puisi-puisinya. Banyak kata yang menjelaskan apa yang tidak bisa atau tidak pernah dirasakan pancaindra," ungkapnya.
Sejak Januari, Andy pun secara intens berhubungan dengan Sapardi via email. Diskusi demi diskusi, saran demi saran mengalir membuahkan beberapa komposisi. Di antaranya terdapat beberapa kantata, kumpulan beberapa puisi yang digabung menjadi satu. Seperti Ars Amatoria, yang menggabungkan beberapa sajak tentang cinta menjadi satu komposisi musik dan lagu. Bahkan, puisi Aku Ingin digabung dengan sebuah puisi lain yang dimasukkan ke bagian tengah. Sehingga, struktur musikalnya berbeda dengan struktur puisinya.
Bagi Sapardi, keinginan Andy menggubah puisi-puisinya menjadi komposisi musik merupakan sesuatu yang menggembirakan. Bahkan, ia mengaku kaget dan sangat terkesan karena Andy justru memilih menggubah puisi-puisi yang panjang, bukan sajak pendek dengan beberapa bait saja.
"Ada beberapa sajak yang tak pernah saya bayangkan untuk bisa dijadikan musik. Ternyata justru sajak-sajak itu yang dipilih. Selama ini, beberapa musisi yang menggubah puisi saya umumnya memilih sajak yang pendek dengan lirik dan bait yang jelas. Lha, Andy malah memilih puisi-puisi yang panjang. Saya kaget, kok berani ya?" jelas Sapardi seraya tersenyum.
Namun, kala menyaksikan beberapa puisinya dibawakan dalam bentuk lagu dan musik sore itu, Sapardi mengaku puas. Ia justru kagum karena puisi-puisi karyanya tetap mengena meski telah berubah bentuk sedikit.
"Menurut saya, puisi itu penuh ambiguitas dan multi interpretasi. Saya tidak akan merubah itu. Dalam menggubahnya, saya lebih melihat struktur kalimat dan banyak berkonsultasi dengan Pak Sapardi. Namun beliau justru membebaskan saya sehingga saya merdeka dalam berkarya," kata Andy. [D-10]
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 26 Juli 2007
No comments:
Post a Comment