-- Hudan Hidayat*
NOVEL, sebagai karya sastra, harus diletakkan dalam hubungan antara Tuhan, alam dan manusia. Tuhan, sebagai Maha Kesadaran yang tak berbentuk, memerlukan semesta untuk menampakkan kehadiran-Nya. Kita bisa menandai kehadiran Tuhan melalui bentuk ciptaan-Nya. Yakni dunia dan manusia.
Tuhan memang bisa membuat apa saja, tetapi bentuk yang dibuat-Nya itu tetap mengandaikan waktu. Waktu yang memuat tahapan dalam proses yang kita nikmati atau sesali. Begitulah manusia menikmati proses terbentuknya alam dengan mengeluarkan teori Big Bang atau Statemen Evolusi. Proses dan bentuk yang terikat dalam hukum-hukumnya sendiri. Proses dan bentuk yang menimbulkan keindahan dan kecemasan, ketakutan dan harapan -- seperti bentuk janin dalam perut ibu. Bentuk yang menginginkan kekekalan dalam nilai-nilainya. Proses dan bentuk adalah novel itu sendiri. Proses dan bentuk adalah penceritaan itu sendiri.
Seperti Tuhan mencipta semesta yang menjadi latar bagi manusia, demikian juga manusia mencipta karya sastra yang menjadikan alam sebagai latar bagi tokohnya. Kehadiran tokoh dalam karya sastra adalah turunan langsung dari kehadiran manusia di tengah semesta. Tanpa manusia yang mengalami peristiwa, semesta tak mempunyai arti. Hanya alam yang membisu: ada, tapi tak bisa dimaknai. Karena hanya manusialah yang bisa membuat makna dengan kesadarannya.
Demikian juga dengan tokoh dalam karya sastra. Latar, alur, tema, ada dalam sebuah novel. Tanpa tokoh yang bermain di latar, alur dan tema, maka novel itu hanya membisu bagi pembaca. Dengan hadirnya tokoh, maka segenap unsur 'semesta' dalam novel tiba-tiba membentuk jalinan makna bagi pembaca.
Itulah gejala 'kesadaran' yang memerlukan 'tubuh'nya. Seperti Tuhan memerlukan semesta untuk memperlihatkan kebesaran-Nya. Begitu juga manusia memerlukan tubuhnya untuk menampakkan roh kesadarannya. Maka prinsip penciptaan adalah bagaimana mengkonkretkan dunia yang abstrak. Konkretisasi inilah kerja sang pengarang. Maka novel adalah tubuh pengarang, tempat gejala kesadarannya mewujud. Dalam wujud novel.
Dalam elemen-elemen novel, sang pengarang berdiam. Masa lalunya mengendap di situ. Tokoh dalam novel menjadi alter-ego sang pengarang. Dengan tokoh-nya, sang pengarang memberantakkan dirinya. Membongkar gudang jiwanya. Gudang jiwanya yang terhubung dengan alam dan Tuhan. Sang pengarang membuat semacam terowongan untuk sampai ke alam dan Tuhan. Terowongan yang bercabang di mana di dalamnya sang pengarang berjalan bolak balik antara manusia, alam dan Tuhan.
Tentu saja sang pengarang boleh membuat terowongan jiwanya sendiri, tanpa terhubung dengan alam dan Tuhan. Tekanan diberikan pengarang kepada relasi antara tokohnya dengan manusia lain. Sesekali saja dia menyentuh alam dan Tuhan. Sikap seperti ini sikap yang sah. Sebab novel sebagai bagian bentuk seni tidak bisa dibakukan. Membakukan novel sama dengan menindas sang pengarang untuk menghayati alam dan Tuhan, sementara sang pengarang ogah menyentuh kedua bidang ini.
Tetapi, bila sikap ini yang ditempuh, maka dunia yang dibangun pengarang dalam novelnya akan kekurangan bahan renungan. Sebab hidup ibarat jalannya mobil: seseorang tertarik pada rodanya atau pintilnya, orang lain tertarik pada warna dan bentuknya. Baik roda atau pintil ban bukanlah mobil itu sendiri. Juga warna dan bentuk mobil. Mereka hanya elemen mobil. Elemen yang penting, tapi bukan mobil itu sendiri. Maka datang orang lain lagi yang terpikat dengan keseluruhan mobil, sambil kemudian mulai menanyakan hakekat mobil: darimana mobil itu memperoleh tenaganya. Hendak kemanakah mobil itu dibawa oleh pengemudinya. Singkat kata, kenyataan mobil ditransenden ke dalam makna yang lebih luas.
Tanpa terowongan yang menghubungkan dengan alam dan Tuhan, maka sebuah novel akan bertaruh dengan kedalaman jiwa sang tokoh. Tentu, tokoh yang ditempatkan dalam bingkai relasi dengan manusia lain. Tokoh yang karena lakunya atau laku orang lain pada dirinya, telah membuat manusia fiksi itu menembus kedalaman dirinya sendiri. Ia memamerkan lukanya, ke dalam suatu kengerian psikologis karena luka jiwanya. Ia memburaikan jiwanya. Ia meninggi. Ia menjauh dari dunia sehari-hari.
Tokoh seperti ini biasanya memiliki keunikan dan ketinggian baik pikiran maupun lakunya. Sebuah penceritaan yang penuh talenta, akan menghidupkan tokoh yang unik ini ke dalam simbol dan metapor. Ia bukan penceritaan yang hanya memusat pada hasrat tubuh. Penceritaan yang hanya tubuh, akan meringkus novel ke dalam kekeringan makna. Novel menjadi dunia yang sempit. Tak bisa menjadi kaca banding bagi pembaca.
Sebab hidup penuh lapisan dan tarikan. Seolah lapisan dan tarikan hati. Seolah lapisan dan tarikan bumi. Tarikan Tuhan juga. Lapisan dan tarikan yang seolah arus sungai menarik diri-diri pembaca. Diri pengarang juga.
Sering dikatakan orang, dunia yang begitu kompleks ini telah membuat seluruh relasi menjadi nisbi. Hidup menjadi serba permisif. Dan dalam kenisbian itu relasi lelaki dan perempuan menjadi medan yang penuh ujian: nilai-nilai terguncang. Manusia kini boleh melakukan apa saja. Bahkan seorang perempuan boleh meniru lebah. Di mana sang ratu lebah dikelilingi dan dicicipi banyak lelaki.
Sudah demikian jauh hidup berjalan, meninggalkan jaman Siti Nurbaya. Tetapi soalnya, "kebebasan tubuh", harusnya hanya menjadi sampiran, bukan isi, dari perjuangan memuliakan manusia. Manusia (tokoh novel) boleh terjatuh, tetapi sang pengarang menariknya untuk tegak kembali. Memberinya sayap pikiran untuk menjangkau dunia.
Ledakan kehidupan, tarikan kematian, lintasan hati, dalam bentuk varian keanehan dan ketinggian pikiran dan perasaan, yang memendar dalam sekian banyak tindakan aneh dan gila, harusnya menjadi harga yang pantas bagi novel yang mengusung kebebasan. Bukan hanya berhenti pada tubuh. Mengerucut hanya hasrat pada tubuh. Tetapi ia bergerak liar menjangkau dunia. Novel menjadi tandingan dunia dalam bingkai kata-kata. Tempat di mana manusia dapat menyimak dan memetik kabajikan darinya.
Sejak Iwan Simatupang, Budi Darma, Mangunwijaya, Kuntowijaya atau Putu Wijaya misalnya, berhenti menulis, saya merasa dunia novel sudah lama mengusir alam dan Tuhan dari kisahnya. Juga mengusir disiplin psikologi.
Novelis kita (terutama perempuan), banyak yang hanya bertumpu pada kisah tubuh. Seolah patriarki benar-benar mengungkung dan hendak mereka rubuhkan. Tak ada salahnya. Tapi kebebasan itu, tak menjadikan tubuh terangkat, atau tubuh dipandang, sebagai sesuatu yang lebih tinggi. Tubuh tak menjadi keping alam dan Tuhan. Tempat dimana renungan dunia ditegakkan.
Tubuh adalah segala-galanya, membuat novel seolah dunia tak lengkap. Kalaupun ada luka, kesakitan, kegilaan, aspirasi, maka luka, kesakitan, kegilaan, dan aspirasi itu tidak bisa naik. Karena tubuh bukan sampiran tapi isi. Sastra kehilangan nilai transendennya.
Fasilitas yang diberikan oleh novel, semangat kebaruan yang hendak diusung dalam fasilitas itu, tak mengangkat novel. Kecuali pameran hasrat akan tubuh. Pembaruan yang menyempit pada tubuh, bukan membuka pada dunia, tapi tak akan sampai kemana-mana.
* Hudan Hidayat, Cerpenis dan pekerja sastra
Sumber: Republika, Minggu, 24 Juni 2007
No comments:
Post a Comment