Saturday, November 29, 2008

Menguji Sejarah "Puragabaya"

KETIKA novel dilabeli sebagai novel sejarah, keniscayaannya adalah bagaimana sesungguhnya sejarah di dalamnya dihadirkan. Terlebih lagi ketika sejarah itu merujuk pada suatu masa yang di belakang dengan segenap tabiat dan cara berpikir masyarakatnya, yang juga niscaya memiliki pertautan dengan lokalitas budayanya yang dalam beberapa jejak dan denyutnya masih terasa hingga hari ini. Di lain sisi pelabelan semacam ini juga kerap tergesa-gesa, seolah-olah setiap karya yang mengambil setting masa lalu itu begitu gampang diidentifikasi sebagai novel sejarah. Terlebih ketika sejarah itu diperiksa, terdapat sejumlah keganjilan yang tak sesuai dengan konteks sejarah masyarakatnya. Terutama dalam hal ini sejarah sosialnya.

Oleh karena itulah, ketimbang terlalu cepat melabeli salah satu karya sebagai novel sejarah, posisi sejarah di situ pertama-tama kembali harus ditelaah. Apakah ia sekadar setting yang melatari suatu cerita atau ia memang bertutur ihwal sejarah itu sendiri dengan segenap sudut pandang penafsirannya dalam bentuk fiksi, seperti temaktub dalam tetralogi Pramoedya Ananta Toer yang terkenal atau karya yang lain semacam Arus Balik. Inilah yang terjadi dengan Puragabaya, salah satu kisah dalam tiga novel karya Saini K.M. yang didiskusikan di aula Redaksi Pikiran Rakyat, Kamis (27/11).

Puragabaya yang pada 1970-an selama tujuh tahun merupakan cerita bersambung (cerbung) di Harian Umum Pikiran Rakyat dan banyak mendapat respons dari para pembaca, kali ini diterbitkan oleh Bentang Pustaka dalam tiga novel yang lumayan tebal, yakni Pangeran Anggadipati, Raden Banyak Sumba, dan Pertarungan Terakhir. Meski ketiga novel ini bisa disebut saling berdiri sendiri, terdapat persambungan kisahan di antara ketiganya.

Dalam ketiga novel ini, Saini K.M. mengambil setting masa kejayaan Kerajaan Pajajaran dengan pasukan khususnya, yakni Puragabaya. Mereka adalah para kesatria pilihan putra bangsawan Pajajaran yang disiapkan menjadi pengawal pribadi para pejabat kerajaan. Puragabaya dididik secara khusus di Padepokan Tajimalela yang berada di Hutan Larangan dan lokasinya amat dirahasiakan. Para Puragabaya dilukiskan sebagai lelaki sakti ilmu silatnya dan dengan hati dan perilakunya yang menyerupai pendeta.

Dengan setting kehidupan dan masa kejayaan Kerajaan Pajajaran inilah penerbit lalu melabeli ketiga novel ini sebagai novel sejarah tentang tatar Sunda. Diskusi hari itu pun langsung menguji hingga di mana validitas pelabelan tersebut, sekaligus juga mencoba membaca lebih jauh ihwal gagasan kesadaran apa sesungguhnya yang hendak ditating oleh Saini K.M., dengan karyanya tersebut. Apakah benar ia memaktubkan sejumlah hal tentang sejarah Pajajaran dalam bungkus suatu cerita, atau ia hanya hendak bercerita tentang seluk-beluk dunia persilatan dengan bungkus dan setting sejarah kejayaan Pajajaran?

Pengajar Fakultas Sastra Unpad Teddi A. Muhtadin melihat bahwa ketiga novel ini hadir dengan kerjenihan dan ketertiban bahasa khas Saini K.M. Kejernihan bahasa Saini semacam ini dalam pembacaan Teddi A. Muhtadin agaknya memiliki alasannya ketika bagaimana sejumlah adegan dan jurus-jurus silat dirasionalisasikan. Namun, di lain sisi, ia cenderung menyebut bahwa Puragabaya sesungguhnya lebih layak disebut sebagai cerita silat dengan setting sejarah ketimbang novel sejarah itu sendiri. "Terutama dalam Raden Banyak Sumba dan Pertarungan Terakhir saya mulai terganggu oleh adanya sejumlah adegan yang lebih mencerminkan perilaku manusia masa kini. Artinya, ada beberapa bagian yang tidak betul-betul mencerminkan situasi Pajajaran ketika itu," ujarnya.

**

SENADA denganTeddi A. Muhtadin, Prof. Jakob Sumardjo lebih tegas menyebut bahwa Puragabaya bukanlah novel sejarah, melainkan novel silat. Sebagai novel silat, Puragabaya juga tidaklah bisa diidentikkan dengan novel para samurai Jepang seperti Musashi atau cerita-cerita silat Cina. Di situ kehidupan para pendekar berada dalam persaingan yang selalu saling memusnahkan (membunuh). Inilah yang membedakan Puragabaya dari cerita-cerita silat lainnya.

Lewat tokoh Anggadipati, Saini K.M. merepresentasikan bagaimana dan apa filosofi silat Sunda, yakni silat yang tidak berpretensi menghabisi lawannya. Alih-alih memamerkannya, para pesilat Sunda tidak pernah memperlihatkan kemampuannya, bahkan kalau bisa ia menghindari pertarungan yang dianggap tidak perlu. Namun, seperti juga disebut oleh Teddi A. Muhtadin, bahasa Saini yang merasionalisasikan jurus-jurus silat, Jakob Sumardjo memandang bagaimana Saini K.M. tidak tertarik untuk melukiskan narasi perkelahian silatnya.

"Adegan-adegan ini hanya digambarkan dalam halaman yang terbatas, jadi berupa narasi pendek. Padahal silat justru merupakan seni narasi yang memikat, dialog ’menjual’ dan ’membeli’, ’bertanya’ dan ’menjawab’," kata Jakob memaparkan.

Pada bagian lain ia pun mengkritisi segenap deskripsi sejarah dan adegan dalam ketiga novel tersebut, yang dalam pandangannya tidak sesuai dengan fakta-fakta sejarah. Paling tidak "fakta" seperti mengemuka dalam pantun-pantun Sunda, dari mulai kehidupan sehari-hari masyarakat, cara berpakaian, kepercayaan, tata krama, sampai arsitektur kerajaan dan tata ruangnya.

Memang benar, menurut Jakob, gambaran kota-kota kerajaan di daerah utara dan barat Sunda lebih maritim dan terdapat banyak perampok ketimbang daerah timur serta selatan yang merupakan daerah pertanian huma. Pemberontakan Galuh adalah tafsir yang cerdas atas perbedaan karakter kedua daerah ini. "Tapi yang jadi pertanyaan ketika digambarkan bahwa kaum pemberontak bangsawan Galuh ini juga menyebarkan tulisan-tulisan semacam pamflet pada rakyat untuk mendukung pemberontakan atas Pajajaran, terasa adanya bias pengalaman Angkatan `66 masuk ke dalam novel," ungkap Jakob, seraya menyebut sejumlah bias kehidupan modern lainnya yang terdapat dalam beberapa adegan, termasuk ketika Anggadipati menyelinap ke dalam keputren yang mengingatkan orang ketika Romeo menemui Juliet.

"Jilid pertama novel ini, Pangeran Anggadipati merupakan bagian yang terbaik. Tetapi dua jilid selanjutnya digarap berlarut-larut hanya untuk menceritakan bagaimana Banyak Sumba mengembara untuk mencapai balas dendamnya pada Anggadipati. Dua jilid tebal yang berlarut-larut ini oleh Sutarji Calzoem Bachri pernah dikomentari, ’Puragabaya remnya blong!’" ucap Jakob.

Diskusi kemudian mencoba lebih menelaah masuk korelasi antara karya dan pengarang serta konteks masa ketika Puragabaya terbit sebagai cerita bersambung di tahun 1970-an. Dalam pandangan Abdullah Mustappa, Puragabaya memang terlalu jauh jika hendak dikonotasikan dengan sejarah Pajajaran. Terlebih pada 1970-an itu, informasi ihwal Pajajaran itu amat langka. Karena itulah, agaknya, Puragabaya lebih merupakan idealisasi Saini K.M. yang merujuk pada kehidupan para kesatria Inggris.

Jarak yang jauh antara Puragabaya dan sejarah Pajajaran memang bisa dipahami, sebab, menurut Usep Romli, Saini K.M. bukanlah orang yang punya latar belakang sejarah. Ia sependapat dengan Jakob Sumardjo bahwa ketiga novel Saini K.M., memang lebih menekankan pada genre novel silat.

Diskusi pun akhirnya memberi penanda yang menarik pada salah satu ciri Puragabaya, yakni ia diharamkan berpolitik dan ikut campur dalam urusan negara. Semata-mata tugasnya adalah sebagai fungsi pertahanan. Kenyataan ini amat berbeda dengan konteks Indonesia pada 1970-an itu ketika tentara, atas nama dwifungsi, memasuki lapangan politik. Sayup-sayup terbaca, inilah cara Saini K.M. mengkritisi realitas yang terjadi di sekelilingnya. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 29 November 2008

2 comments:

Baso Darmawan said...
This comment has been removed by the author.
Baso Darmawan said...

Saya sudah membaca cerita ini sejak kecil dan masih dalam bentuk buku-buku lepas yang sekarang menjadi judul beberapa bab di dalam ketiga novel tersebut.
Saya memang tidak menganggap rangkaian cerita ini sebagai cerita sejarah, karena setting waktunya juga agak aneh. Dalam salah satu bagian, diceritakan bahwa kakek Banyak Sumba pernah punya masalah dengan Prabu Siliwangi. Itu berarti paling tidak Pajajaran berada dalam kekuasaan keturunan Prabu Siliwangi. Masalahnya adalah keturunan Prabu Siliwangi sudah beragama Islam semua, sementara Prabu Siliwangi yang tidak mau pindah agama terpaksa menyingkir. Jadi kalau mengikuti setting waktu keluarga Banyak Citra, seharusnya dalam cerita tersebut, agama yang dipeluk penduduk Pajajaran adalah agama Islam, sementara dalam cerita jelas-jelas digambarkan mereka masih memeluk agama Hindu.
Saya juga mempertanyakan kepantasan Langit Hariadi (penulis novel Gajah Mada) memberi komentar novel ini, karena jelas-jelas Saini KM dua tingkat lebih ahli dan lebih senior dari dia.