-- Richard Oh*
MENJADI kritikus film di negara ini ternyata sangat mudah. Tidak perlu prakualifikasi, tidak seperti seorang pakar ekonomi yang minimal perlu gelar sarjana ekonomi atau pengalaman sebagai seorang praktisi bisnis. Kredensial seorang kritikus film kita berkisar dari pemerhati film, kataloger film, penggiat film, hingga wartawan khusus film.
Maka, tidaklah mengherankan jika resensi film yang tiap minggu kita baca di beberapa media besar seperti saling sahut-menyahut, hampir seragam dalam penafsirannya, ataupun kisaran penafsirannya. Kritikan para ’kritikus’ ini pada akhirnya tidak ubahnya muntahan segar seorang penonton, sebuah impresi superfisial tentang sebuah karya. Tidak bisa ditanggapi sebagai sebuah kritikan. Karena tulisan seperti itu tidak menukik ke dalam eksplorasi-eksplorasi pemikiran.
Kritikus seperti ini digambarkan oleh Roland Barthes sebagai kritikus neither-nor, kritikus bukan ini atau itu. Intinya, penulis seperti itu bukanlah seorang kritikus sejati karena untuk membedah setiap detail gambar, suara, kerangka, makna, pergelutan ungkapan seorang sutradara, dibutuhkan kepiawaian yang setara pula. Untuk merinci sinematografi, seorang kritikus diharapkan punya kualifikasi juga dalam bidang ini, seperti pencahayaan, pengambilan sudut gambar, penggunaan lensa kamera, problema digital dan seluloid dan bahasa visual seorang sutradara. Untuk kerangka sebuah film, diharapkan kritikus itu paham tentang penyuntingan film, struktur narasi, penguasaan genre film tertentu, konsistensi karakterisasi, nada yang ditekan pada satu titik atau titik-titik tertentu.
Dia juga bukan seorang pemikir. Untuk mengkritik sebuah karya, boleh saja seorang kritikus tidak menguasai semua aspek perfilman, tetapi ia dituntut bisa berpikir secara sistematis. Ini adalah kriteria utama yang memisahkan seorang kritikus sejati dengan kritikus bukan ini atau itu.
Penonton vs kritikus
Tidak seperti seorang pencipta yang senantiasa ditantang untuk membongkar rujukan-rujukan estetika, seorang kritikus dituntut untuk bisa memetakan sebuah pemikiran. Apa pun bentuk pemikiran itu, asal ia segar, merupakan sebuah respons puitis, berjarak, dan tidak frontal.
Kritikan adalah sebuah pemikiran yang mengarah ke satu arah (Barthes): ke arah kesimpulan pemikiran. Ketika kritikus itu memutuskan menulis sebuah kritikan, ia sebenarnya merespons pada bahasa. Pertama pada bahasa secara literal, kemudian pada bahasa karya itu.
Saat kritikus itu menuangkan pemikirannya ke dalam sebuah tulisan, pemikirannya mau tidak mau patuh pada bahasa dengan segala aturan gramatika dan sintaksisnya. Dengan kata lain, tatanan bahasa dan logika bahasa itu memaksa sebuah pemikiran yang tersadur dalam bahasa mau tidak mau merunut dan terarah (ke sebuah kesimpulan makna).
Kritikus itu juga merespons pada bahasa sebuah karya. Bahasa yang dimaksudkan tentunya adalah gaya sebuah karya: gaya dalam penuturan, penyeleksian, penekanan pada obyek-obyek tertentu dalam sebuah karya, keunikan ekspresi (dalam dialog ataupun karakter) dan metodologi dalam membangun sebuah bagan karya. Sang kritikus akan mencari sebuah serat atau serat-serat bahasa di dalam karya itu untuk kemudian dirajut kembali menjadi sebuah pengupasan segar, terarah, dan kohesif.
Seorang kritikus menonton sebuah film tidak seperti seorang penonton biasa. Seorang penonton biasa menonton sebuah film karena hasrat. Hasratnya terpicu untuk menonton, memahami, menikmati sebuah film. Maka, hubungan antara penonton dan film bermula dari subyek yang ingin mendominasi sebuah obyek. Tujuan sang penonton biasa boleh digambarkan sebagai sebuah hasrat yang agresif.
Penonton biasa dan film yang ditonton terjalin dalam sebuah hubungan yang sepihak, yaitu melalui hasrat subyektivitas penonton pada obyek, yakni film: maka hubungan ini lebih tepat kalau digambarkan sebagai sebuah hubungan fisikal ketimbang mental. Oleh karena itu, ketika seorang penonton biasa berkomentar tentang sebuah film, artikulasi bentuk oralnya hanya bisa kita tafsir sebagai sebuah reaksi, atau impresi, yang tidak berakar pada sebuah pemikiran yang terarah karena ia hanya sekadar artikulasi, tidak terbangun dalam sebuah sistemasi pemikiran yang hanya bisa terwujud dalam sebuah tulisan. Artikulasi tidak bisa ditangkap dalam sebuah bagan real, kecuali dalam tulisan. Ia hambur dalam ketiadaan begitu sebuah ungkapan terucap. Untuk supaya sebuah artikulasi bisa terwujud menjadi kenyataan (menurut Derrida), subyek perlu mati dahulu. Maka, dalam hal ini, kita tidak memiliki banyak pilihan selain merujuk pada pemikiran Mallarmé, yang juga diandalkan oleh Barthes: yaitu menangkap dahulu imanen (ilahi) berkelabat dalam kata-kata kemudian membiarkannya memudar kembali ke antah berantah ketika kata-kata itu tersusun rapi dalam satu bait puisi (atau kalimat).
Pendekatan seni kritik
Sublasi (asimilasi entitas kecil ke dalam bagan yang jauh lebih besar). Menurut Harold Bloom, semua karya mempunyai dna dari karya-karya sebelumnya. Susan Sontag belajar dari John Cage, sang komposer yang terkenal karena komposisinya diseling banyak kesunyapan tak berdenting, pernah menyatakan bahwa di era modern ini hampir tidak mungkin lagi bagi seorang pencipta seni untuk melepaskan diri secara signifikan dari pengaruh-pengaruh pencipta seni sebelumnya. Kemungkinan yang masih ada adalah eksplorasi-eksplorasi di pinggir-pinggir kerangka, atau seperti John Cage, melawan dominasi pengaruh pencipta sebelumnya dengan sebuah kesunyapan. Hanya itu satu-satunya cara untuk memotong ari-ari kepengaruhan pada karya-karya sebelumnya. Kepiawaian seorang pencipta pada saat ini sangat tergantung kelincahannya dalam mengsublasi berbagai pengaruh ke dalam karyanya sehingga sebuah makhluk eklektis baru, karya paduan berbagai materi, bisa tercipta. Seorang kritikus yang berwawasan harus bisa secara saksama mendata/merinci pergumulan eklektis dalam sebuah karya.
Puitis, Menyamping. Di bagian ini, saya kira kita bisa meminjam dari Alain Badiou dan Gilles Deleuze untuk memberikan sedikit pengarahan yang berguna. Bagi Alain Badiou, sebuah karya seni ibaratnya sebuah event. Karena setiap kejadian adalah unik, maka dalam keterperangkapan kita dalam situasi baru yang masih baru itu, sangatlah susah bagi kita untuk mengupasnya secara langsung. Karena kita masih terperangkap dalam sebuah ungkapan yang masih belum bisa dikategorikan ataupun direduksi menjadi sebuah pernyataan konkret, satu-satu cara untuk bisa mengupaskan karya itu adalah secara tidak langsung (indirect) dan puitis. Yang dimaksud secara tidak langsung dan puitis adalah sebagai berikut: seorang kritikus perlu merespons sebuah karya dengan berkarya seni atau mencoba mengitari karya itu di pinggiran, tidak frontal, tetapi puitis.
Kita juga bisa memetik banyak pengetahuan dari apa yang Deleuze peroleh ketika ia mewawancara Francis Bacon, rupawan Inggris yang terkenal dengan lukisan-lukisannya yang mencoba menangkap sebuah jeritan. Ketika ditanya Deleuze bagaimana ia menilik kembali karyanya setelah karya itu selesai dikerjakan, Bacon menjawab bahwa ketika ia mengerjakan karya, ia memakai satu set teori yang berbeda dengan ketika ia mencoba menelaah kembali karyanya setelah selesai. Dari sini, Deleuze mendapatkan kesimpulan bahwa ketika kita melihat sebuah karya seni, kita tergugah melampaui diri kita. Respons kita tidak beranjak dari ego, tetapi dari sebuah perasaan yang sangat kuat. Karena keterpanahan kita pada sebuah karya tidak berhubungan dengan ego kita, maka kita memandang sebuah karya seni dari sebuah jarak. Intinya, penilaian kita tidak berdasarkan sebuah reaksi personal sarat pradugaan pribadi. Maka, apa yang sering kita baca dalam berbagai ulasan film seperti kata nasi basi atau omong kosong dan kata-kata seperti itu, hanya mencerminkan sebuah reaksi yang tidak puitis dan sangat frontal. Begitu kita membaca penulisan kritikus dengan perbekalan kosakata seperti itu, kita langsung bisa menilai penulis itu hanya sebatas kritikus bukan ini atau itu.
Verisimilasi vs Realitas. Kita sering juga menemukan dalam resensi film keluhan tentang pencipta film yang kurang memiliki latar belakang tertentu sehingga ia gagal membangun sebuah realitas yang meyakinkan. Seperti film Riri Riza, Tiga Hari untuk Selamanya pernah dikritik oleh seorang kritikus dengan kata-kata yang berkisar pada kegagalan Riri Rizi pada film itu karena ia tidak mempunyai latar yang memadai untuk mengupas lingkungan hidup atau kedudukan sosial seperti yang ditampilkan dalam filmnya itu. Tanggapan seperti ini perlu diluruskan dengan beberapa contoh yang membantu. Pertama, ketika kita membicarakan sebuah karya fiksi, asumsi pada sebuah khayalan ataupun impian langsung terbesit dalam ungkapan kita. Sudah jelas setiap pencipta seni punya asumsi ataupun impresi yang berbeda pada realitas: keunikan sudut pandangnya justru yang membuat kita tertarik pada karyanya. Jika seorang kritikus menuntut pada seorang pencipta seni supaya ia bisa membangun sebuah realitas yang dikenal oleh orang banyak, penuntutan ini saya kira lebih tepat kalau ia ditujukan pada karya dokumenter daripada karya fiksi. Keluwesan seorang pencipta seni senantiasa berada dalam permainan realitas. Kepintarannya membangun sebuah realitas bukan karena ia begitu mahir menciptakan sebuah realitas yang begitu menyerupai kenyataan, tetapi lebih pada bagaimana sang pencipta membuat realitas itu begitu hidup atau bernyawa. Jadi, realitas dalam karya-karya seni tidak berarti keselarasannya pada realitas, tetapi pada kebernyawaannya dalam sebuah karya.
Simulacra dan Gerakan Palsu. Gerakan sebuah film, menurut Deleuze, adalah sebuah gerakan palsu: pergerakan kontinuitas sebuah film merupakan sebuah ilusi yang tercipta ketika 24 frame film digerakkan dalam sedetik. Dan, ketika sebuah obyek ditangkap oleh kamera, apa yang ditangkap secara otomatis menjadi sebuah simulacra, sebuah jiplakan dari obyek asli. Dengan demikian, semua bentuk rekaman digital ataupun seluloid tidak mencerminkan sebuah kenyataan asli. Kita bisa belajar dari sini untuk menilai dengan benar apa yang dimaksudkan keaslian sebuah situasi atau karakterisasi sebuah karya film. Rujukan pada akhirnya kembali ke apa yang saya ungkapkan di atas, yaitu bukan ketergantungan pada verisimilasi karakter ataupun situasi pada realitas, tetapi pada kesenyawaan (lifeness bukan lifelikeness).
Semoga esai ini sedikit merepotkan mereka yang gandrung menulis kritikan film, tetapi tidak sudi mendalami bidangnya, dan mengajak mereka yang berpotensi untuk mengimbangi pergelutan pencipta seni sehingga sebuah dialog yang mengasyikkan bisa tercipta dan sebuah komunitas kesenian terbangun dengan sehat dan kekar untuk kemajuan bersama.
* Richard Oh, Penulis Novel; Penggagas Penghargaan Sastra Kathulistiwa Award
Sumber: Kompas, Sabtu, 29 November 2008
1 comment:
thx infonya btw kepikir apakah kritikus animasi sama seperti kritikus film?
Post a Comment