-- Rocky Gerung*
SEJARAH memerlukan peristiwa. Peristiwa memerlukan tokoh. Dan tokoh harus tewas dalam peristiwa. Dengan cara itu sejarah diulang-ulang, dan tokoh diingat-ingat. Mengulang dan mengingat harus menimbulkan ”sensasi politik” agar dapat menghasilkan ”ketagihan historis”. Sensasi itu namanya ”perjuangan”, dan pelembagaannya bernama ”kepahlawanan”.
Arsip nasional adalah tempat sensasi politik disimpan. Maka begitulah, secara rutin arsip itu dibuka, dan rutinitas itu justru menghambarkan sensasinya. Namun, ritus harus terus berlanjut karena negara memerlukan masa lalu.
Kepahlawanan lalu menjadi rutinitas politik kebangsaan, tetapi ritusnya tidak menghasilkan imajinasi kebudayaan. Yang terasa justru hanya semacam ”perang tarif” politik di dalam menentukan siapa, kapan, dan untuk apa sebuah lencana kepahlawanan dianugerahkan.
Ketagihan historis adalah candu kekuasaan. Ia mengikat masyarakat di tiang politik masa lalu, dan mengatur ruang sejarah dari titik itu. Akibatnya, ruang sejarah menjadi terbatas, yaitu sebatas jumlah peristiwa yang memiliki ”tokoh”. Dan karena politiklah yang mendefinisikan syarat-syarat menjadi ”tokoh”, maka arsip nasional tidak lain adalah arsip politik.
Dalam konstruksi semacam itu, kepahlawanan tak lagi menjadi ”ruang hening cipta” untuk meluaskan batin kemanusiaan, tetapi berubah menjadi ”pasar tumpah” yang hiruk pikuk oleh berbagai dagangan politik.
Pahlawan tewas dua kali
Gejala ”kecanduan pahlawan” menumbuhkan industri politik baru: upacara, tanda jasa, biografi, proposal seminar, pidato- pidato, puisi, film, talk show, iklan politik, dan doa-doa. Di sini, produk sejarah dan produk kebudayaan massa bercampur dalam pasar yang sama: demagogi!
Begitulah ”sang pahlawan” tewas untuk kedua-kalinya: bukan di medan perang, tetapi di medan makna! Persoalan kita memang ada di sini. Kepahlawanan selalu kita simpan dengan password politik. Padahal, sebuah makna semacam ”kepahlawanan” seharusnya disimpan dalam folder sejarah sosial yang terbuka, tanpa password, agar ia dapat diakses oleh beragam imajinasi. Dengan cara ini ruang sejarah dapat meluas dan kita bertumbuh dalam pengalaman kebudayaan yang inklusif, lega, dan sugestif bagi pendidikan kemanusiaan.
Sejarah diperlukan bukan karena sensasi politiknya. Juga bukan sebagai sumber keteladanan nilai. Akan tetapi, pada percakapan terus-menerus tentang kemanusiaan. Keteladanan tidak harus diikatkan pada masa lalu. Ia dapat berada di masa depan, yaitu pada ide-ide yang membuka ruang imajinasi peradaban.
Cita-cita politik yang menimbulkan toleransi kemanusiaan adalah ”a history in the making”. Sebaliknya, orientasi obsesif pada politik identitas di masa lalu adalah imajinasi historis yang berbahaya.
Oleh karena itu, dalam soal ”kepahlawanan”, ruang sejarah juga meluas mengikuti daya jelajah pikiran. Sesungguhnya suatu deteritorialisasi sejarah sedang terjadi di dalam berbagai percakapan kebudayaan kita. Pertemuan pikiran dunia karena eskalasi komunikasi memungkinkan kondisi kemanusiaan dirawat di luar batas-batas natural sebuah bangsa.
Reorientasi mental
Dalam banyak peristiwa dunia, yaitu dalam hal yang menyangkut ”penyelamatan kemanusiaan”, kepahlawanan justru berasal dari luar batas bangsa. Begitulah dulu kita sinis pada ide hak asasi manusia, pada individualitas, pada liberalisme, pada pluralisme.
Akan tetapi, itulah nilai-nilai kepahlawanan global yang memungkinkan kita bercakap-cakap dalam bahasa politik kemanusiaan, dan bahkan telah kita pakai untuk mengoreksi masa lalu kita yang penuh dengan penindasan dan penghinaan terhadap kemerdekaan manusia. Inilah medan ”global citizenship” yang mengajarkan kita pada nilai-nilai toleransi, perbedaan dan kesementaraan.
Kepahlawanan adalah kepemimpinan untuk membuka ruang sejarah seluas-luas akal sehat manusia. Kepahlawanan adalah keberanian untuk berorientasi dalam medan makna yang produktif bagi perluasan kemanusiaan.
Dalam cara pandang ini, patriotisme niscaya memerlukan reorientasi mental, yaitu dari nasionalisme ke humanitarianisme. Perluasan ide ini akan melapangkan jalan bagi sejarah untuk menemui anak tunggalnya: Kemanusiaan Yang Maha Esa!
* Rocky Gerung, Pendiri Setara Institute Pengajar Filsafat, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia
Sumber: Kompas, Sabtu, 15 November 2008
No comments:
Post a Comment