-- Adek Alwi*
PALING tidak ada tiga sebab mengapa tahun 1970-an dan 1980-an tak banyak benar sastrawan asal (dan yang tinggal di) Aceh kita kenal. Pertama, mereka mungkin tak serajin LK Ara, Isma Sawitri, Zakaria M Passe (untuk contoh yang tak banyak itu) mempublikasikan karyanya di majalah dan koran Jakarta. Kedua, teknologi informasi termasuk dunia penerbitan belum semaju periode-periode sesudah itu. Ketiga, jumlah sastrawan yang muncul di tahun 1990-an dan 2000-an bisa jadi memang lebih banyak, juga kerajinan mereka mengirimkan karya ke media Jakarta, dan mereka diuntungkan pula oleh kemajuan teknologi informasi termasuk dunia penerbitan.
Nah, apa pun sebabnya namun sejak periode 1990-an gairah sastra di Nanggroe Aceh Darussalam memang tinggi frekuensinya. Hal itu ditandai oleh penerbitan buku kaum sastrawan di daerah itu, berita-berita tentang aktivitas mereka, serta karya-karya mereka yang dipublikasikan di media Ibu Kota.
Mustafa Ismail satu dari generasi sastrawan Aceh pada masa yang bergairah itu. Suatu hari, bertemu kami di TIM dan dia hadiahi saya antologi puisinya terbaru, "Tarian Cermin". Saya sudah kenal nama penyair, cerpenis, serta wartawan kelahiran 1971 ini. Puisi dan cerpennya tersebar di banyak media (pun cerpen Azhari yang juga asal Aceh, muda usia pula). "Tarian Cermin" diterbitkan oleh Aliansi Sastrawan Aceh dengan BRR NAD tahun 2007, menghimpun 99 sajak Mustafa Ismail bertahun cipta 1993 hingga 2003. Rinciannya: 1 sajak tahun 1993; 4 tahun 1995; 21 tahun 1996; 13 tahun 1997; 4 tahun 1998; 32 tahun 2000; 1 tahun 2001; 9 tahun 2002; dan 14 sajak di tahun 2003.
Rincian itu penting dibuat, juga (seperti ditulis Mustafa dalam Prolog) bahwa sajak-sajak di tahun-tahun "awal kepenyairan" tidak diubah atau direvisinya sehingga dapat kita ikuti perjalanan kepenyairan dia dalam kurun waktu 10-11 tahun itu. Nah, dalam konteks perjalanan kepenyairan inilah saya lihat hal-hal menarik dalam "Tarian Cermin".
Bila dipilah menurut tahun penciptaan serta domisili penyair, maka sajak-sajak pada kumpulan ini dapat kita kelompokkan ke dalam tiga periode, dan masing-masing periode memperlihatkan tema-tema yang menonjol. Pertama, periode 1993-1996 yaitu ketika penyair masih berdomisili di daerah asal. Kedua, periode 1997-1998, sewaktu penyair mulai menetap di Jakarta sebagai jurnalis. Ketiga, periode 2000-2003, tatkala penyair (tentunya) sudah beradaptasi dengan rantau atau Ibu Kota.
Pada periode pertama sajak lebih didominasi tema-tema kegelisahan, semacam keinginan untuk berangkat, pergi, atau melakukan perjalanan (kata yang kerap hadir di banyak sajak). Itu bisa karena keadaan, seperti dalam sajak "Satire Cinta": penjara jadi sangat akrab saat terpahami/ membentuk butiran embun dan tarian rumput/ kita kehilangan waktu untuk berbasa-basi/ semua yang kita bicarakan adalah tanah lapang/ dan kebun terserang hama//.
Atau, bisa juga karena rasa kesia-siaan ("Hujan Sudut Kota"), serta sunyi yang lahir akibat situasi ("Kita Saling Memanggil", "Romantisme Jarak 1"); yang membuat aku-lirik menengok 'dunia dalam': ketika kau katakan hari adalah kesunyian/ aku pun terlempar dalam sumur yang kau sediakan/ mencoret-coret puisi tentang diri sendiri/.
Di periode kedua, atau di masa transisi kepindahan ke Jakarta, tema kerinduan, juga cinta (walau di akhir-akhir periode pertama hal ini juga terlihat) lebih menonjol. Begitupun rasa gagap, dan juga tekad buat menghadapi lingkungan baru, Jakarta, kota besar itu. Yang terakhir ini misalnya terlihat pada sajak "Kosong": kadang kita harus selalu ingat, jalan tidak seperti diperkirakan/ maka bersiaplah untuk bersedih, untuk menerima nasib yang dingin/dan segala keinginan membusuk dalam coretan dinding// begitulah yang kucoba pahami kini: Sebuah kota tiba-tiba saja meledak dalam genggaman/ aku ingin bersedih, sebagaimana juga engkau mungkin,/ senantiasa mengharapkan bukit-bukit yang meninggi, bulan yang perak/ dan diatasnya kita menari//. Atau pada puisi "Ketika Kau Memakan Daging-dagingku", dan juga "Sketsa Kemarau 3".
Adapun tema kerinduan, misalnya kepada tanah lahir, atau rumah mengemuka dalam sajak "Orkes Pagi Hari", juga sajak "Menengok Tahun". Dan, kepada keluarga, sajak "Menerima Surat 1" yang ditujukan kepada ayah, juga "Membaca Wajah Ibu" yang bagi saya terasa indah: disitulah bintang itu, terselip dalam kelopak mata/ tetap cerah, tetap indah/ dan aku pun larut dalam sinarnya// disitulah laut,mengalirkan hawa dingin/ bagi setiap perjalanan/ tetap teduh, tetap biru/ membuatku selalu kangen dan terpana// disitulah sumur, yang tak pernah lelah/ memberi/ aku adalah gayung yang masih tetap/ menimbanya//.
Dan tema cinta, terlihat pada sajak "Memo Pagi", "Menerima Surat 2", "Sajak Pagi Hari", "Prosa Kasmaran", atau yang lain-lain.
Di periode ketiga (2000-2003), yang menyumbang 50-an sajak bagi kumpulan ini, mengedepan tema-tema 'besar' dalam arti telah meluas dari sekadar persoalan diri sendiri ke keadaan di Aceh yang pada periode ini masih rusuh. Menurut saya tema ini terenungkan lalu tertuang dalam sajak sebab penyair sudah selesai beradaptasi dengan rantau, Jakarta, kota besar. Juga, setelah ada jarak fisik, pun waktu, maka peristiwa di kampung halaman yang tentunya terekam dalam diri mendesak minta diekspresikan. Dan tema itu hadir dalam puisi "Elegi Tanah Kelahiran 1989-1998 (1)", "Elegi Tanah Kelahiran 1989-1998 (2)". Pun pada sajak "Berita", "Dialog (1)", "Dialog (2)", "Dialog (3)", "Ironi", "Berumah di Bawah Langit", "Sajak Kehilangan", "Cerita Dari Surat Kabar (1), "Belajar Dari Nasib", "Lhokseumawe", dan sejumlah sajak lagi. Kita kutip "Elegi Tanah Kelahiran 1989-1998 (1)" yang agak prosais, guna ikut merasakan akibat rusuh yang (pernah) berlarut-larut itu: ketika bukit itu dibongkar dan tulang-tulang menyembul keluar/ aku tertegun dan kalut: manusiakah yang menguburnya/ betapa hidup begitu mudah berakhir. Cinta begitu saja dicabut/.
Akhirnya, ingin pula diutarakan hal lain yang sempat saya catat, bahwa entah karena pengaruh profesinya yang lain (cerpenis, wartawan), atau memang disengaja sebab kecenderungan puisi Indonesia mutakhir banyak demikian: pada beberapa sajak Mustafa Ismail dalam kumpulan ini merebak pula aroma prosais. Misalya larik sajak "Dialog 1996" ini: Kembang Tanjung tidak terlalu jauh dari Sigli,/ kota yang sempat menyimpan surat-surat dari lautan/. Atau pada sajak "Seorang Lelaki yang Menangis" berikut: lelaki itu telah melipat jasnya, lalu menangis, sepanjang jalan/ ia melangkah jauh, merobek seluruh malam,/ tetapi malam telah mati, hari telah pergi, menangis sudah tidak punya arti/ lelaki itu kembali pulang, membuka jasnya, lalu pergi/ hidup harus berarti, katanya, hidup jangan dinikmati sendiri/ pandanglah sejenak ke depan, kakiku masih berdarah!/.
Lantas, ada ungkapan yang berulang: suatu ketika, entah kapan, kita mulai lagi sebuah obrolan (sajak "Banda Aceh: Obrolan"), dan, ini: suatu hari, entah kapan, kau tatap lagi rumah itu (sajak "Luka yang Dititipkan").
Lainnya lagi adalah musuh utama puisi, yaitu salah cetak, seperti tersua dalam sajak "Orkes Pagi Hari", "Memo Sigli (2), atau jangan-jangan juga di puisi lain yang luput dari mata saya. ***
* Adek Alwi, pengarang, wartawan, dan dosen Politeknik Universitas Indonesia
Sumber: Suara Karya, Sabtu, 1 Nopember 2008
No comments:
Post a Comment