-- Ilham Khoiri
Pak Dul sirahe gundul
Tuku rokok neng Pasar Sentul
Arepo silul kudu wani cucul
Ora cucul ora ngebul
Akale wong lanang nek dolan ning Pasar Kembang
Gawe alasan golek aman ben ra konangan
Politik saiki cen seneng maen belakang
Njabane resik jebul jerone selingkuhan
Lumpur Lapindo metune soko Sidoarjo
Bojo loro kabeh kok seneng nggodha
Wis merdeka sih ono kumpeni Londo
Nembaki rakyat, rakyat neng alas Tlogo
Kill the DJ. (KOMPAS/ARBAIN RAMBEY / Kompas Images)
Puisi berjudul ”Ora Cucul Ora Ngebul” karya Sindhunata itu dinyanyikan dengan gaya rap oleh kelompok Rotra asal Yogyakarta dalam pertunjukan ”Poetry Battle 02” di halaman Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Jumat (21/11) malam. Teks yang biasa dideklamasikan atau dibaca sendirian dalam suasana tenang itu menjelma sebagai jalinan bunyi berulang yang mengentak-entak. Rima pada akhiran kata-kata berbahasa Jawa itu membentuk irama yang rancak.
Para penonton yang berdiri di depan panggung pun spontan bergoyang. Pada malam yang gerimis itu, mereka tersedot dalam suasana musik hip-hop yang bebas, dinamis, penuh kegembiraan. Kata-kata puisi yang diucapkan dalam gaya lagu bercakap alias talking song itu seperti hanyut dalam luapan ekspresi seni bergaya jalanan.
Rotra hanyalah salah satu dari 17 kelompok rap dari Yogyakarta dan Jakarta yang turut meramaikan ”Poetry Battle 02” yang diselenggarakan Jogja Hip Hop Foundation. Ada kelompok Jahanam, Kill the DJ, Dub Youth, Kontra, Gatholoco, DPMB, Zapatista, Gangsta Lovin, dan Robot Goblok. Mereka menyanyikan berbagai teks puisi Indonesia dengan gaya rap, gaya yang tumbuh dari budaya musik hip-hop di Amerika dan Eropa.
Sebagian kelompok membawakan sajak-sajak bermuatan sosial yang dipenuhi kata-kata lantang, seperti puisi Widji Tukul dan Sindhunata. Kelompok lain mencoba mengolah puisi liris yang punya gaya bahasa yang halus dan rumit, seumpama karya Goenawan Mohamad, Joko Pinurbo, atau Cecep Syamsul Hari. Ada juga yang mengulik sastra klasik, seperti Kill The DJ yang ”meng-hip-hop-kan” Serat Centini karya pujangga Keraton Surakarta awal abad ke-19.
Begitulah, beragam teks puisi karya sastrawan Indonesia itu mengalir di atas panggung sebagai nyanyian yang hidup. Puisi keluar dari habitatnya sebagai teks yang konvensional dengan pakem pembacaan tertentu, lalu bermetamorfosis menjadi pertunjukan seni yang sama sekali baru. Peralihan ini kerap memunculkan sensasi mengejutkan.
Kreasi
”Poetry Battle 02” ini merupakan kegiatan lanjutan dari kegiatan serupa di Yogyakarta dan Jakarta sejak tahun 2006. Perhelatan itu menandaskan, betapa kreativitas untuk mempertemukan berbagai aliran seni sangat dimungkinkan dan pertemuan ini potensial melahirkan bentuk-bentuk yang segar.
Dalam konteks ini, dunia sastra dan puisi dileburkan. Pada satu sisi, teks-teks sastra—yang umumnya berjarak dari lingkungan khalayak—melebur dalam budaya jalanan anak muda. Pada sisi lain, anak-anak muda itu bersentuhan, bahkan mempelajari bahasa dan gagasan puisi yang dilantunkan.
”Dengan begini, kami terdorong untuk membaca buku-buku sastra,” kata Iwa K, perintis musik rap Indonesia yang menjadi pembawa acara dalam acara itu.
Lebih dari itu, ”Poetry Battle” juga menerabas sekat-sekat seni, agama, ras, kelompok, atau etnis. Bahasa seni yang universal dimanfaatkan untuk membuka ruang dialog dan menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda.
”Nyawiji siji ing guyub lan rukun. Mboten sah mikir werna kulit lan agama. Menika hip-hop kang adedasar budi pekerti, kamanungsan, lan toleransi. (Kita bersatu dalam guyub dan rukun. Tidak usah memikirkan warna kulit dan agama. Hip-hop ini didasari budi pekerti, kemanusiaan, dan toleransi)”. Begitu penuturan Zooki a.k.a Kill The DJ, pendiri dan produser Jogja Hip Hop Foundation, saat membuka pentas.
Bagaimana pandangan kalangan sastra? Pengamat sastra dari Universitas Indonesia (UI), Maman S Mahayana, mengapresiasi usaha kaum muda itu sebagai kreativitas yang yang sah. ”Puisi itu lapangan tafsir. Puisi dapat diterima dan diterjemahkan siapa pun dengan tingkat apresiasi bagaimana pun,” katanya.
Kreativitas anak-anak muda akhirnya menawarkan alternatif bagi tradisi musikalisasi puisi di Tanah Air. Jika selama ini kita akrab dengan gaya Reda Gaudiamo dan Ari Malibu yang melantunkan sajak-sajak Sapardi Djoko Damono dalam suasana sendu, kini kita boleh mencoba menikmati gaya anak muda yang meneriakkan puisi dengan lebih bebas, gembira, dan dengan irama musik yang merangsang goyang.
Sumber: Kompas, Minggu, 23 November 2008
No comments:
Post a Comment