-- Deddy Arsya*
AA Navis pernah ingin jadi menteri. Entah, entah ingin jadi menteri apa. Setidak-tidaknya ia pernah bercita-cita. Andai ia diberi pilihan antara sebagai alat kekuasaan, menulis, dan berbicara, yang dia pilih adalah kekuasaan. Kenapa? Katanya, ia mau menyikat semua koruptor. Navis pesimis tentang kekuatan pena untuk memberantas korupsi.
Membicarakan korupsi, setidak-tidaknya praktek ini sudah dimulai sejak manusia ada dan hidup berkelompok. Dalam riyawat Israilian dikatakan, Kabil dan Habil yang bekerja pada lapangan yang berbeda, yang satu bekerja bercocok tanam yang lain beternak atau mengembala, diminta untuk menyerahkan “qurban” kepada Tuhan. Habil mengurbankan ternaknya yang gemuk-gemuk dan sehat seperti yang dianjurkan, sementara Kabil berlaku curang dengan menyerahkan buah-buahan atau hasil pertanian yang busuk.
Sejak saat itu, prilaku korupsi terus-menerus berkembang seiring meluasnya bumi. Dengan coraknya yang beraneka, dengan beragam-ragam bentuk, mulai dari yang kecil-kecil sampai korupsi dalam skala besar, mulai dari tingkat rendah sampai korupsi massal.
China maupun India, yang pernah tercatat sebagai negara dengan tingkat korupsi tertinggi, perlawanan terhadap korupsi telah digalakkan di segala aspek kehidupan. Pelaku korupsi mendapatkan hukuman yang berat dan tak kenal ampun. Indonesia kini masih termasuk dan ikut dalam lima rangking teratas korupsi paling banyak di dunia. Namun sepertinya, korupsi belum juga sepenuhnya menjadi musuh bersama bangsa ini.
Tak semua lapisan masyarakat dengan tegas dan gencar menentang korupsi. Meskipun ajaran agama, maupun kebudayaan mana pun, mengutuk habis-habisan prilaku korupsi. Banyak ajaran-ajaran tentang kesederhanaan yang dikandung oleh agama dan kebudayaan kita, dalam artian manusia dianjurkan untuk memelihara hak diri tanpa merampas milik oranglain, memakan apa yang sekedar menjadi kebutuhan tanpa menjangkau yang sesungguhnya dibutuhkan oleh oranglain. Namun jangan-jangan korupsi di negeri ini baru menjadi permasalahan profan (sekuler) saja?
Tulisan pendek ini tidak akan mempertanyakan itu lebih jauh, namun sesungguhnya tulisan pendek ini hanya akan mencoba menggambarkan beberapa catatan perihal apa kata novel-novel Indonesia tentang korupsi. Untuk itu, akan diuraikan beberapa novel Indonesia yang berbicara tentang korupsi secara.
Pada dua dasawarsa abad ke-20, Hikayat Kadiroen ditulis. Novel ini sesungguhnya sangat bertendensi komunis-sosialis. Penulisnya adalah seorang aktivis partai komunis bernama Semaoen. Dalam novel itu ditemukan ide-ide dasar komunis tentang perlawanan terhadap penindasan kaum borjuis dan usaha menuju kesetaraan kelas. Novel ini bergaya realisme sosialis. Dalam novel ini Semaoen sepertinya ingin memperlihatkan bagaimana penderitaan yang dialami rakyat yang ditindas kaum borjuasi, para tuan tanah dan pejabat praja pribumi dan colonial yang korup.
Jauh sebelum Hikayat Kadiroen ditulis Semaoen, telah pula ditulis sebuah novel berjudul Max Havelar of de Aoffieveillingen der Nederlandsche Handelmaatschappij. Edisi Indonesia-nya berjudul Lelang Kopi Maskapai Dagang Belanda. Novel karangan Multatuli alias Edward Douwes Dekker yang telah ditulis hampir satu setengah abad yang lalu itu sesungguhnya juga mengisahkan para penguasa pribumi maupun penguasa kolonial yang korup. Lewat novel itu konon, Multatuli berhasil membukakan mata kaum politisi di Negeri Belanda saat itu tentang kebobrokan yang terjadi di daerah jajahannya, Nusantara.
Akibatnya, sejak terbitnya Max Havelaar pada tahun 1860 pemerintah Belanda memulai usaha-usaha mendatangkan kesejahteraan pada kehidupan rakyat Indonesia, walaupun pada masa itu masih terjadi ekspedisi militer menaklukkan beberapa daerah Nusantara yang bergolak akan senjata menentang Belanda.
Novel politik Max Havelaar, dalam beberapa tanggapan, dianggap telah menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Hindia Belanda pada masa itu atau sekitar satu setengah abad sebelum Indonesia menjadi negara dan bangsa yang merdeka. Buku ini pula yang kemudian menyulut perubahan politik penjajahan Belanda, antara lain melalui politik Balas Budi (ethische politiek) di Hindia. Politik Balas Budi inilah yang kemudian oleh beberapa sejarawan dianggap pemantik lahirnya kaum terpelajar yang di dasawarsa berikutnya mencita-citakan Indonesia merdeka, yang bebas dari penjajahan bangsa mana pun.
Di tahun 1950, Pramudya menulis sebuah novel yang berjudul Korupsi. Novel ini berkisah tentang pejabat negara yang masuk dalam perangkap korupsi. Novel ini berlatar revolusi pada masa pemerintahan Orde Lama. Novel itu pernah menyebabkan Pramoedya memiliki hubungan yang tidak begitu harmonis dengan pemerintahan Soekarno waktu itu. Novel ini tidak begitu ramai dibicarakan atau 0kurang mendapat apresiasi dari penikmat sastra kita jika dibandingkan dengan novel-novel Pramoedya lainnya. Karena gaya bercerita dalam novel ini dianggap berbeda dengan novel-novel Pram seperti Tetralogi Pulau Buru maupun Arus Balik.
Orang-orang Proyek karya Ahmad Tohari yang berlatar waktu pada masa Orde Baru juga menggambarkan bagaimana alur korupsi, bagaimana karakter-karakter yang terlibat, sebab-sebab terjadinya korupsi, dan bagaimana korupsi menjadi suatu budaya dalam masyarakat Indonesia. Novel ini bercerita tentang “permainan” dalam proyek pembuatan jembatan. Lewat tokoh seorang insinyur kepala proyek yang juga mantan aktivis kampus, Ahmad Tohari mencoba mengungkapkan dan menyingkap praktek kotor yang berlangsung di sekeliling tokoh itu. “Aku insinyur.
Aku tak bisa menguraikan dengan baik hubungan antara kejujuran dan kesungguhan dalam pembangunan proyek ini dengan keberpihakan kepada masyarakat miskin. Apakah yang pertama merupakan manifestasi yang kedua? Apakah kejujuran dan kesungguhan sejatinya adalah perkara biasa bagi masyarakat berbudaya, dan harus dipilih karena keduanya merupakan hal yang niscaya untuk menghasilkan kemaslahatan bersama?” kata Kabul, sang insinyur, dalam usahanya memahami proyek pembangunan jembatan desa yang dikepalainya itu.
Tentu masih banyak novel dari pengarang Indonesia yang membicarakan tentang korupsi yang luput dari pembacaan saya yang rabun. Dan tentu akan lebih banyak lagi tema-tema yang sama yang diusung oleh karya kreatif pada genre sastra lain seperti pada cerita pendek, sajak, maupun naskah drama.
Seperti kata Navis, karya sastra mungkin tak akan mampu berbuat banyak dalam memberantas korupsi. Novel maupun genre sastra lainnya hanya bisa menggugah. Tapi setidak-tidaknya, sastra telah turut membicarakan korupsi di negeri ini.
* Deddy Arsya, mahasiswa Sejarah Peradaban Islam, IAIN Imam Bonjol Padang
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 30 November 2008
No comments:
Post a Comment