-- Ibnu Wahyudi*
HANYA ada segelintir penyair, ternyata. Ini kalau kita setia dengan makna ”penyair” yang mestinya adalah ”orang yang menulis syair”. Tanyakan saja pada yang sering mendaku sebagai penyair, adakah pernah membuat syair? Atau tanyalah pada diri sendiri, hai para penyair, berapa syair pernah lahir?
Tapi apakah seseorang yang disebut atau yang menamakan diri sebagai ”penyair” lazimnya pernah menulis syair? Tidak, agaknya. Bahkan sangat bisa jadi, tidak sedikit ”penyair” yang pernah membaca atau tahu dengan apa yang disebut ”syair”. Sangat mungkin pula, ketika mengetahui atau disadarkan bahwa ”syair” itu adalah bentuk puisi yang berpola tertentu, ”penyair” bersangkutan bisa saja tidak rela lagi disebut sebagai ”penyair”.
Sebaliknya, begitu dipahamkan ihwal perkembangan makna mengenai apa yang disebut syair, para ”penyair” bersangkutan mungkin sekali tenang-tenang saja lantaran telah menjadi mafhum bahwa ”syair” atau ”penyair” itu sekadar istilah bagi mereka yang menulis atau menghasilkan puisi; tidak harus menghasilkan ”syair”. Dengan begitu, kata ”syair” telah mengalami perubahan makna atau lebih tepatnya, perluasan arti.
Arti yang bergeser itu adalah pada kenyataan bahwa kata ”syair” bukan lagi semata-mata merujuk pada bentuk sastra yang terdiri atas empat baris dan berpola a-a-a-a, tetapi sudah menjadi ungkapan lazim bahwa bentuk yang bukan—prosa atau bukan—drama itu adalah ”syair”.
Ini serupa dengan istilah ”pantun” yang semenjak akhir abad ke-19 lazim dipakai untuk menyebut cara berkomunikasi dengan gaya ”nyastra” sebagai berpantun, tanpa harus mengindahkan pola pantun yang memiliki rima a-b-a-b atau harus adanya sampiran dan isi, sebagaimana pernah dinyatakan oleh Kwee Tek Hoay pada tahun 1931.
Kerancuan pengertian
Dari pernyataan yang tertera pada sampul buku kumpulan puisi yang terbit tahun 1857, Boek Saier Oetawa Terseboet Pantoen, jelas terlihat adanya kerancuan dalam memahami makna syair dan pantun. Di dalam buku itu, kata ”oetawa” (atau), menunjukkan adanya penyamaan di antara dua istilah itu.
Pada masa ketika syair atau pantun banyak ditulis oleh para pengarang peranakan China seperti Oeij Peng Long, Tan Tjiook San, Tan Hiap Lee, Tan Tjeng Nio, atau The T L, kedua istilah ini memang seringkali bertukar makna. Konsistensi penyebutan tampak belum dijaga betul dan mungkin juga dianggap tidak terlalu penting pada waktu itu.
Dalam pemahaman di masa berikutnya, sekurangnya sejak pembedaan syair dengan pantun seperti yang dikemukakan C Hooykaas (Penyedar Sastera, 1963), apa yang tertera pada sampul buku tadi tampak sebagai sebuah kekeliruan.
Akan tetapi, bijak dan tepatkah menempatkan kebiasaan literer di kurun lebih dari satu setengah abad lalu itu dengan ukuran-ukuran masa kini? Tentu saja tidak. Sebab pada saat tradisi sastra belum berpikir mengenai karakteristik atau tipologi bentuk-bentuk sastra, wajar jika terjadi generalisasi pada istilah-istilah yang masih gamang pemahamannya. Kekaprahan ini dapat dianalogikan dengan pemakaian istilah ”pop” dan ”populer” di masa kini.
Merujuk pendapat Hamka, melalui tulisannya berjudul ”Mengarang Roman” (Pedoman Masjarakat, 1938), dikatakan, syair sudah dikenal oleh bangsa Arab sebelum agama Islam tersiar. Orang Arab masa itu yang tersohor sebagai penyair adalah Antarah dengan syair-syair perwiranya dan Amaroel Qijs dengan syair-syair remajanya.
Jika penjelasan Hamka ini sahih, jelas bahwa syair sudah mempunyai tradisi yang sangat tua. Akan tetapi, apakah syair yang ditulis oleh orang-orang Arab itu sama dengan syair-syair masa kini dilihat dari pola dan kaidahnya, Hamka tidak menjelaskan secara rinci. Karena menurut A Teeuw (Shair Ken Tambuhan, 1966), dalam hubungannya dengan ragam sastra di dunia Melayu, syair diciptakan pertama kali sekitar tahun 1600-an oleh Hamzah Fansuri.
Meski demikian, yang lebih jelas adalah kenyataan bahwa sejak dahulu kala, syair sudah dibuat dan merupakan hasil dari tradisi tulis, bukan lisan. Bahwa syair berasal dari Arab, dibenarkan oleh Dick Hartoko dan B Rahmanto (Pemandu di Dunia Sastra, 1986). Hooykaas pun menegaskan perihal fungsi syair yang berhubungan dengan aspek pengajaran.
Syair bukan pantun
Secara konvensional, syair terdiri atas empat larik yang berima dengan sebuah huruf hidup atau vokal ditambah dengan huruf mati atau konsonan, atau sebaliknya, konsonan dengan vokal. Dalam pengertian sederhananya, pola syair dikatakan sebagai mempunyai rima a-a-a-a.
Setiap baris, menurut Hooykaas, sekurang-kurangnya harus berjumlah delapan suku kata, ”mendapat empat kali tekanan suara, dan biasanya tidak lebih dari sebelas suku kata”. Meski demikian, aturan yang sedemikian itu banyak perkecualiannya.
Apabila syair pada hakikatnya adalah salah satu bentuk karya puisi dalam tradisi tulis maka sebaliknya, pantun, sesungguhnya berasal dari suatu komunikasi bersastra dalam tradisi lisan. Bentuk pantun yang lazimnya terdiri atas sampiran (larik pertama dan kedua) serta isi (larik ketiga dan keempat) dengan pola persajakan a-b-a-b tentu tidak hanya mengindikasikan bahwa pantun adalah ”jenis puisi lama” sebagaimana secara simplistis sering dipakai oleh para penyusun kamus istilah sastra untuk mendefinisikan pantun.
Pantun pada hakikatnya merepresentasikan suatu bentuk komunikasi lisan yang saling berbalas atau bersahut, atau juga mengarah kepada suatu penerusan ujaran yang manasuka tetapi berjalinan. Dengan pengertian lain, pantun yang mewadahi suatu komunikasi bersahutan atau berbalasan akan mengekspresikan suatu pola yang mengulang beberapa larik, biasanya dua larik, dari pantun yang sudah diujarkan terlebih dahulu.
Penggalan pantun—biasanya berupa sampiran—yang dapat diteruskan dengan cukup mudah akan memicu lahirnya baris ketiga dan keempat.
Kenyataan seperti ini jelas berbeda dengan syair yang hampir tidak memungkinkan adanya penerusan baris-baris. Karena payung utama syair yang berupa mitos, sejarah, ataupun juga ide-ide tertentu, bukan milik kolektif melainkan individual.
Jika dasar kata ”penyair” adalah ”syair”, sedangkan amat sedikit dari mereka pernah menulis syair, masih layakkah istilah ini dipertahankan?
Beberapa tahun lewat pernah ada yang mencoba memakai istilah ”penyajak” atau ”pemuisi”, tetapi agaknya kurang mendapat tempat di sini. (Di Malaysia, istilah ini agaknya lebih diterima).
Istilah ”penyajak” atau ”pemuisi” tidak ada salahnya kalau coba kita pakai lagi. Sebagai golongan yang sangat berutang kepada kata, saatnya kini untuk membayarnya dengan memilih kata atau istilah yang tepat.
Bagaimana, hai para penyajak, atau para pemuisi?
* Ibnu Wahyudi, Pengajar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia
Sumber: Kompas, Sabtu, 29 November 2008
1 comment:
benar sekali bung,kita sering kali meninggalkan itu semua.dan saya sendiri masih tergolong amatir yang butuh belajar banyak
Post a Comment