INDUSTRI pariwisata Kota Bandung dipastikan akan sampai pada satu titik jenuh, bila para pelakunya hanya berfokus pada wisata belanja dan kuliner. Padahal di sisi lain, Kota Bandung juga tidak mempunyai kawasan yang dapat dijadikan sebagai objek wisata alam. Itu artinya, insan-insan pelaku industri pariwisata dan pemerintah selaku pemegang regulasi harus mencari alternatif objek wisata yang dapat dikembangkan. Satu di antara potensi tersebut adalah budaya dan pertunjukan seni.
Namun jangankan bisa menjadi objek wisata, lingkung seni sebagai rumah produksi dari kesenian itu, keadaannya sungguh sangat memprihatinkan. Ibarat pepatah mengatakan, hidup enggan mati tak mau, hirup teu neut, paeh teu hos.
Mari kita simak data yang ada di Dinas Pariwisata Kota (Dispar) Bandung. Menurut Kepala Dispar Kota Bandung, M. Askary, baru 200 lingkung seni yang terdata di Kota Bandung. Padahal, hasil penelitian terakhir Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) yang dilakukan bersama Ketua RT/RW setempat, menyebutkan, ada 860 linkung seni yang hidup di Kota Bandung. Artinya, hampir 600 lebih lingkung seni di Kota Bandung belum terpetakan dan masuk database Dispar Kota Bandung. Padahal, penelitian itu juga menyebutkan, ada 38 jenis kesenian yang berkembang di Kota Bandung. Kesenian yang paling pinunjul (populer) dan hampir menjadi bagian kegiatan setiap lingkung seni adalah pencak silat.
Persoalannya adalah, sejauhmana potensi yang sangat besar ini, bisa menjadi alternatif bagi terbentuknya objek wisata baru di Kota Bandung? Sementara di sisi lain, lingkung seni sebagai sebuah wadah berkesenian para seniman pun, notabene mempunyai sistem (pola) manajemen tersendiri yang berbeda dengan pola manajemen industri yang menjadi tuntutan dunia pariwisata.
Bagaimana kedua fenomena ini dapat bertemu pada satu benang merah yang sama dalam mengedepankan seni pertunjukan tradisi sebagai alternatif wisata Kota Bandung? Fenomena inilah yang dibahas dalam diskusi "Manajemen Seni Pertunjukan" bagi seniman se-Kota Bandung, yang diselenggarakan Dispar Kota Bandung di Hotel Papandayan, Jln. Gatot Subroto, Bandung, (10/11).
Legalisasi
Langkah awal yang harus dilakukan menurut Askary adalah melakukan pendataan. Untuk itu, Disparkota mengundang para penggerak lingkung seni untuk segera mendaftarkan lembaganya. Hal ini penting, karena jumlah tersebut memang baru sebatas kuantitas semata. Belum diketahui secara pasti bagaimana keadaan lingkung seni yang sesugguhnya, baik dari segi manajemen keorganisasiannya, senimannya, kegiatannya, maupun sarana dan prasarana yang dimiliki.
Yang baru terdata adalah jenis kesenian yang dikembangkan lingkung seni. Bukti menunjukkan, jenis kesenian yang paling banyak dikembangkan dari ke-600 lingkung seni tersebut adalah pencak silat. Data ini tentu saja sangat berseberangan dengan program Dispar Kota Bandung yang selama ini cenderung fokus pada pengembangan seni benjang.
Pada posisi inilah, Askary mengakui, pihaknya selaku pemegang regulasi tidak mau sabulang bentor dalam menjalankan program. Alih-alih mengembangkan, justru jauh panggang dari api. Oleh karena itu, program pendataan yang dikehendaki pemerintah, idealnya, menjadi perhatian semua pihak. Terutama para penggerak lingkung seni yang selama ini cenderung bergerak di "gerbong bawah tanah".
Jika pendataan itu berhasil dilakukan, Dispar Kota Bandung akan memberikan legalisasi sekaligus klasifikasi lingkung seni sesuai konsentrasi keseniannya masing-masing. Jika lingkung seni tersebut cenderung pada kegiatan-kegiatan yang bersifat pelestarian dan pemuliaan, akan terbentuk suatu silaturahmi, pembinaan, pasanggiri, dan sosialisasi kepada siswa SD, SMP, SMA, maupun masyarakat luar sehingga nilai-nilai yang tersebut akan tetap lestari.
Jauh sebelum itu, Dispar Kota Bandung juga berencana mencoba memfasilitasi lingkung-lingkung seni tersebut sesuai kebutuhannya masing-masing. Jika lingkung seni itu memerlukan pendampingan dalam pola manajemen keorganisasian, maka akan diberikan materi tersebut. Jika justru peralatan yang diperlukan, bantuan sarana dan prasaranalah yang akan diberikan.
Namun persoalan yang muncul adalah, sudah tipisnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap janji-janji yang diberikan pemerintah. Banyaknya jumlah lingkung seni yang tidak terdata di Dispar Kota Bandung menurut seniman Asep Solihin, merupakan bukti, seniman justru lebih survive tanpa perhatian ataupun dukungan pemerintah.
Sedangkan seniman Suhendi Afryanto lebih menyoroti fenomena ini pada policy pemerintah. Policy pemerintah dalam menangani seni budaya daerah, cenderung parsialistik. Akibatnya, hasil yang diberikan tidak efektik dan kurang efisien. Sentra-sentra budaya yang dekat dengan ibu kota provinsi ataupun pusat-pusat kekuasaan cenderung diuntungkan, sedangkan yang jauh kurang disentuh.
Afryanto mengusulkan perlunya mengubah pendekatan dari parsialistik ke holistik. Pendekatan ini tidak melulu melibatkan pemerintah dan masyarakat dalam memfasilitasi seni daerah, tetapi juga melibatkan lembaga pendidikan formal/non formal, swasta, juga media.
Jika dipetakan, strategi ini melibatkan pemerintah dalam upaya menyediakan sarana/prasarana, termasuk payung hukum.
Manajemen
Dari sisi manajemen, Dosen STSI, Dadang Suganda menguraikan, di negara-negara Barat, organisasi kesenian ditangani secara lebih profesional dengan adanya pemisahan antara manajer yang bertanggung jawab di bidang artistik dan di bidang nonartistik. Sedangkan di Indonesia, pada umumnya, organisasi-organisasi kesenian khususnya organisasi seni pertunjukan tradisional, pimpinan organisasi (sutradara, koreografer, komposer, dalang) memiliki peran ganda, yaitu fungsi artistik dan fungsi nonartistik.
Fungsi artistik meliputi pengendalian mutu, koordinasi, dan integrasi, serta upaya membantu artis, aktor, penari, pemusik, serta para pendukung lainnya dalam pementasan. Sedangkan fungsi nonartistik (manajerial) meliputi upaya manajemen kebutuhan penonton/sponsor, pengelolaan anggota organisasi, pengelolaan anggaran, promosi, serta perencanaan pengembangan organisasi yang dipimpinnya.
Namun, lagi-lagi persoalannya, para pimpinan maupun anggota organisasi kesenian daerah, sering kali dihadapkan pada kebutuhan pokok (basic need). Yang pada akhirnya mengalihkan perhatiannya dari kesenian daerah ke jenis kesenian lainnya. Hal itu terjadi karena kesenian daerah yang diusung penggerak organisasi kesenian daerah, tidak mampu memberikan salary yang dapat menutup kebutuhan biaya hidup.
Tentu saja, semua ini menjadi suatu pekerjaan yang sangat panjang. Tanpa mesti pesimis, Askary maupun seluruh pembicara sepakat, bila matra itu sudah menjadi pegangan para seniman dalam menggerakkan organisasi keseniannya, dipastikan kesenian apa pun tinggal adaptasi saja. Toh, pola (matra) manajamen seni pertunjukannya itu sendiri sudah menjadi pegangan masyarakat. Khususnya para pengelola lingkung seni yang kini sedang dikhawatirkan akan terus berguguran. Semoga tidak! (Eriyanti/"PR")***
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 15 November 2008
No comments:
Post a Comment