-- Dwi Fitria
PENGARANG kita memaknai keindonesiaannya dengan cara masing-masing.
Max Lane, penerjemah karya-karya Pramoedya pernah mengatakan bahwa sejarah dan sastra adalah dua alat paling andal untuk membentuk konsep kebangsaan dalam diri individu sebuah bangsa. Dalam bukunya Bangsa yang Belum Selesai, Max Lane menekankan bagaimana pentingnya memelajari ulang sejarah dan sastra untuk membentuk karakter bangsa Indonesia.
Kondisi suatu bangsa dapat dilihat dari karya sastranya. Oleh karenanya kualitas pemahaman seorang pengarang mengenai makna jati dirinya sebagai bagian dari sebuah bangsa akan tercermin dalam karya-karyanya. Para pengarang mutakhir memiliki cara masing-masing untuk memaknai keindonesiaan mereka.
Sebagai seorang pengarang, Puthut EA berusaha melihat permasalahan yang sedang dihadapi bangsa dengan cara kritis dan kemudian mengolahnya dalam medium sastra. “Concern saya lebih di cerpen, meskipun tidak utuh, saya menggambarkan segi-segi kecil wajah Indonesia dengan cara sendiri,” ujar pengarang kelahiran Rembang, 28 Maret 1977 itu.
Dalam kumpulan-kumpulan cerpennya Sebuah Kitab yang Tak Suci (2001), Dua Tangisan pada Satu Malam(2003) dan Sarapan Pagi Penuh Dusta (2004), Puthut mengangkat hal-hal yang berbeda sesuai dengan perhatiannya pada masalah sejarah, kebudayaan, perempuan juga agama.
Puthut sendiri percaya bahwa sastra adalah representasi dari kondisi Indonesia. Apa pun bentuknya, karya setiap pengarang adalah kepingan-kepingan yang secara keseluruhan membentuk wajah Indonesia saat itu.
Kearifan lokal
Ia mengambil contoh Laskar Pelangi dan Ayat-Ayat Cinta yang laris manis bak kacang goreng di pasaran. Dua karya itu menggambarkan Indonesia dari sudut pandang yang amat bertolak belakang. “Saya memandang kedua karya itu dalam konteks keindonesiaan. Yang satu sarat dengan gagasan modernis, sementara yang lain memperlihatkan adanya kecenderungan laki-laki sentris,” ujarnya. Meski bertolak belakang kedua buku itu menggambarkan apa yang sedang terjadi di dalam masyarakat saat ini.
Lain Puthut, lain Cok Sawitri. Penulis perempuan kelahiran Sidemen, Karangasem, Bali 1 September 1968 itu melihat keindonesiaan sebagai penghormatan terhadap keragaman yang ada di nusantara. “Kekuatan bangsa Indonesia terletak kepada keberagamannya. Oleh karena itulah menurut saya keindonesiaan maknanya adalah rasa hormat kepada martabat juga semua kearifan lokal yang ada di seluruh pelosok Indonesia.”
Sehingga menurut Cok, saat bertemu orang-orang dari berbagai daerah yang berbeda dipertemukan, tidak akan ada yang merasa lebih atau kurang, karena sesungguhnya semuanya adalah puncak-puncak tersendiri dari kebudayaan yang jika dipersatukan akan membentuk apa yang dimaksud dengan Indonesia.
Sayangnya kesadaran akan kebhinekaan ini semakin lama menurutnya semakin menurun. “Perkembangan bangsa Indonesia saat ini, melenceng jauh dari cita-cita awalnya. Sehingga kelompok minoritas cenderung terpinggirkan. Padahal yang disebut Indonesia sekarang berhutang budi pada semua elemen yang membentuknya.”
Ketidaksadaraan akan kebhinekaan ini dikhawatirkan Cok akan berakibat buruk terpecah belahnya Indonesia di masa mendatang. “Mungkin belum kita rasakan, tapi tak mustahil perpecahan semacam itu bisa terjadi dua puluh tiga puluh tahun ke depan. Jika kesadaran mengenai kebhinekaan ini tak juga dipulihkan,” katanya. Penawar satu-satunya bagi kondisi ini adalah ditegakkannya Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk juga dalam sisi sosial budayanya.
Kesadaran inilah yang kemudian mendorong Cok untuk mengeksplorasi legenda serta kekayaan folklore lokal dalam banyak karyanya. Janda dari Jirah, Karyanya yang teranyar diterbitkan oleh Gramedia pada 2007 lalu, mengangkat kembali sosok Calonarang, dengan menggunakan sudut pandang yang lebih positif. Bertolak belakang dari penggambaran Calonarang selama ini, pada Janda dari Jirah, sosok itu digambarkan sebagai perempuan sakti yang bijaksana.
Saat ini Cok juga sedang membuat rekonstruksi kitab Sutasoma. “Itu cara saya untuk mengapresiasi keindonesiaan saya. Dengan tidak membiarkan kekayaan budaya leluhur lenyap begitu saja,” kata perempuan yang juga aktif bergelut di dunia teater itu.
Sayangnya usahanya ini kerap tak mendapatkan apresiasi yang semestinya. “Buku saya yang terakhir misalnya. Penerbit menuntut untuk mengedit isinya. Padahal reinterpretasi semacam itu jika diedit tanpa pemahaman yang memadai tentang Sutasoma, malah akan merusak isinya,” kata Cok.
Dalam sebuah diskusi mengenai Globalisasi Ekonomi dan Kebudayaan Francis Fukuyama pernah mengatakan bahwa Globalisasi akan berjalan lurus dengan homogenisasi di bidang-bidang ekonomi, politik juga budaya. Namun ekonomi dan politiklah yang akan bersentuhan langsung dengan proses ini. Sebab untuk menjadikan dirinya maju, sebuah masyarakat haruslah berbentuk demokrasi, dan harus terkoneksi ke pasar global. Oleh sebab itulah homogenisasi terjadi lebih cepat pada institusi dan ideologi.
Dinamis dan terbuka
Sementara dalam level budaya, proses ini tak bisa dikatakan berlangsung sama cepatnya. Bahkan menurut Fukuyama, ada semacam resistensi terhadap homogenisasi budaya. Budaya adalah salah satu aspek yang tidak akan dengan mudah mengalami proses ini. Budaya dinamis dan terbuka tapi dengan mengacu pada nilai-nilai yang sudah terbentuk budaya akan menyeleksi dengan sendirinya hal-hal yang dianggap cocok atau tak cocok menjadi bagiannya.
Arus globalisasi memperderas aliran informasi yang masuk ke Indonesia. Tak terkecuali bagi para sastrawan, kemudahan akses ini tentulah membuat para pengarang semakin banyak terekspos pengaruh luar. Kondisi ini menurut Puthut EA bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan. ”Keindonesiaan kita sejak dulu adalah sesuatu yang dinamis, dan masuknya pengaruh luar bukanlah sesuatu yang perlu ditakutkan,” ujarnya.
Yang perlu mendapatkan perhatian justru mental terjajah yang telah sedemikian lama menjadi momok dan seolah-olah terinternalisasi pada karakter banyak orang Indonesia. “Memandang segala sesuatu yang datang dari Barat sebagai sesuatu yang wah, padahal sesungguhnya hal-hal yang datang dari budaya kita amat sarat imajinasi dan nilai-nilai. Cara pandang inilah yang harus dibalik,” kata Puthut lagi.
Hal ini juga berlaku dalam menilik kiprah sastra Indonesia di dunia internasional. “Kita terlalu naïf memandang kemajuan sastra negara lain. Jika yang dimaksud maju adalah dikonsumsi secara luas oleh masyarakat internasional, maka harus dipertanyakan adalah banyakkah pihak yang mendukung penerjemahan.”
Padahal secara kualitas, sejak dahulu bangsa Indonesia memiliki kekayaan yang sangat kaya. “ Kurang kualitas apa Serat Centhini, karya-karya Budi Darma, atau karya Pram,” ujarnya.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 9 November 2008
No comments:
Post a Comment