Thursday, November 06, 2008

Persona: Benny Hoed Mendekonstruksi Mitos

-- Maria Hartiningsih & Ninuk Mardiana Pambudy

Mitos-mitos yang kian mengental di masyarakat tentang uang, partai politik, dan pasar membuat masyarakat kian kehilangan arah. Rasa kebangsaan meluntur karena ketiga mitos itu melemahkan kehendak untuk maju bersama, menipiskan solidaritas sosial dan mengikis cita-cita bersama sebagai bangsa.

Benny H Hoed (FOTO-FOTO: KOMPAS/MARIA HARTININGSIH / Kompas Images)

Pakar analisis wacana dan semiotik sebagai kajian budaya, Prof Dr Benny Hoedoro Hoed (72), berusaha membongkar dan mendekonstruksi sejumlah fenomena budaya di masyarakat yang sudah menjadi mitos, bahkan ideologi.

Mitos adalah konotasi yang mengental mengenai suatu simbol. ”Proses pengentalannya biasanya berjalan cukup lama, bisa beberapa tahun, atau bisa cepat sekali kalau terjadi ’revolusi’ yang merupakan ’pembalikan’ nilai-nilai, makna, mitos-mitos. Biasanya mitos dibicarakan dalam kaitan dengan kebudayaan massa,” ujar dia.

Mitos parpol sebagai alat mencapai demokratisasi politik saat ini dihadapkan pada konotasi di masyarakat bahwa parpol sedang melakukan sesuatu yang tidak baik dan tidak terpuji sehingga mungkin akan berkembang suatu mitos bahwa parpol justru merusak kehidupan demokrasi dan proses demokratisasi.

”Tetapi, ini baru pada tahap konotasi,” ujar Benny Hoed. Guru besar emeritus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia itu kami temui suatu pagi di rumahnya, di kawasan Kemang, Jakarta Selatan.

Sejumlah mitos

Mitos pasar adalah alat untuk mencapai demokratisasi ekonomi dan pasar tak bisa diintervensi, luluh dalam krisis keuangan global terakhir ini. Kemungkinan yang sedang terjadi adalah krisis paradigma: paradigma kapitalisme liberal sedang memitoskan ”pasar” mengalami krisis, artinya sedang diuji oleh sejarah.

Benny Hoed menunjuk intervensi pemerintah-pemerintah yang tak hanya menyuntikkan uang ke pasar, tetapi juga aturan-aturan yang sangat ketat. ”Saya bukan ekonom, saya melihat dari sisi kebudayaan, bahwa ada yang harus berubah dalam kehidupan demokrasi ini,” tegas Benny.

Menurut dia, pendekatan ekonomi semata tak cukup untuk menghadapi krisis ekonomi global. Pandangan dari sisi ilmu-ilmu sosial dan humaniora perlu mendapat perhatian.

Mengenai mitos tentang uang, menurut Benny, ”Banyak orang bilang, saat ini hedonisme menguasai kehidupan kita. Kalau mau survive, harus punya uang, harus bisa bertanding di dalam pasar dan harus bisa menyalurkan aspirasi melalui parpol.”

Lebih jauh diungkapkan, kecenderungan meningkatnya mitos tentang uang, pasar, dan parpol telah membuat masyarakat makin resah. Rasa kebangsaan terkikis karena hal itu hanya bisa diperkuat oleh rasa kita harus maju bersama, memiliki cita-cita bersama, dan solidaritas sosial, yang karena tiga mitos itu menjadi menipis.

Satu hal lagi yang menjadi mitos adalah politik penting sebagai alat untuk mencapai kekuasaan, meski bagian itu tidak ditonjolkan. Namun, menurut Benny, politik hanya alat mencapai tujuan sebenarnya, yakni uang, partai, dan pasar.

”Kalau politik dianggap sebagai mitos, berarti ada anggapan hanya dengan politik orang bisa survive,” ujar Benny, ”Maka, saya melihat politik dalam arti luas, tak hanya di tingkat partai atau parlemen, tetapi juga dalam kehidupan sosial sehari-hari, mulai di rumah tangga. Di sini peran negosiasi sangat penting.”

Jadi, kemungkinan berlaku hukum survival of the fittest?

Karena itu, ada institusi-institusi yang merupakan regulator dalam kehidupan sosial. Institusi-institusi itu menjadi mediator antarmanusia satu dengan yang lain dan dengan masyarakat, juga antara masyarakat dengan pemerintah. Prinsip demokrasi tak boleh ada yang tersisih, terkalahkan. Inilah peran institusi.

Kalau institusi gagal menjadi mediator yang efektif dalam negosiasi?

Bisa terjadi individu atau sejumlah individu kehilangan kepercayaan pada institusi yang diharapkan menjadi mediator itu. Biasanya ada upaya institusi untuk kembali bernegosiasi guna mengembalikan kepercayaan para individu. Dalam negosiasi, peran wacana sangat penting.

Perang wacana

Mengenai wacana, Benny Hoed semakin yakin pada apa yang dikemukakan intelektual dan filosof Perancis, Michel Foucault, bahwa sejarah sebenarnya merupakan perang wacana. Mitos mewujud di ruang publik sebagai wacana, yaitu cara mengungkapkan suatu pikiran atau perasaan baik secara verbal maupun nonverbal.

”Kalau di TV kita lihat demonstrasi lalu yang ditonjolkan terus adalah bagaimana polisi menendangi demonstran, itu sudah satu wacana yang mengungkapkan kekejaman polisi,” ujar Benny.

Persaingan wacana terjadi terus-menerus?

Sejarah menunjukkan ada semacam persaingan wacana yang tidak berakhir karena di dalam kehidupan yang manusiawi tidak ada absolute truth. Terkait dengan kreativitas, ada lembaga-lembaga atau kelompok-kelompok pembentuk citra, karena mereka memiliki semua sarana untuk menyebarluaskan wacananya di ruang publik.

Bagaimana dengan banyak orang yang tak punya akses ke ruang publik?

Ada istilah silent majority. Tetapi, ini juga semakin menguatkan mitos tentang uang, parpol, dan pasar. Mekanisme pasar digunakan untuk menguasai media. Memang ada faktor lain, yaitu kebudayaan. Masyarakat menolak wacana sesuai kebudayaannya.

Bagaimana supaya masyarakat cerdas memilih wacana?

Kemampuan kritis diperoleh melalui pendidikan, baik formal maupun nonformal. Sayangnya, di sini pendidikan tidak menjadi mitos untuk menyelesaikan masalah.

Bagaimana dengan produk politik, seperti perundang-undangan?

Banyak rancangan undang-undang yang tak dibicarakan lagi apa isinya karena telah menjadi satu artefak. Sebagai artefak, McDonald’s, misalnya, konotasinya adalah kecepatan saji, kepraktisan, dan kesiapan 24 jam. Tetapi, ada yang mengatakan, McDonald’s merusak karena kolesterol tinggi; mungkin praktis, tetapi membuat orang malas masak dan mengeluarkan uang lebih banyak. Ketersediaannya yang 24 jam membuat orang makan kapan saja tak pada waktunya.

Contoh lain, RUU Pornografi. Sebagai artefak, ada yang mengatakan, dia akan menjadi penyelamat, tetapi ada yang pula yang mengatakan, dia akan memecah belah. Jadi, yang dipersoalkan bukan teksnya, tetapi penilaian. Itu pendekatan konotasi, yang kalau mengental akan menjadi mitos.

Baik yang pro maupun menolak akan terus berjuang, meskipun RUU itu sudah disahkan.

Polisistem

Oleh karena sudah menjadi simbol yang didukung atau ditolak dengan maknanya sendiri-sendiri, yang menjadi keprihatinan Benny Hoed adalah terbelahnya masyarakat. ”Terbelah oleh masalah kebudayaan akan menimbulkan keresahan budaya yang menurut saya jauh lebih berat dibanding keresahan ekonomi,” papar dia.

Bisa dijelaskan lebih jauh?

Saya ingin berbicara tentang pentingnya kreativitas dalam masyarakat. Kreativitas pada seni, misalnya, merupakan bagian dari apa yang disebut sebagai polisistem, suatu sistem yang bermacam-macam, tidak satu. Keindahan di Papua berbeda dengan keindahan di Jawa Tengah, Bali, atau Batak.

Polisistem dikuasai dua hal. Satu, poetik, yakni kaidah-kaidah semacam kode sosial yang mengatur kehidupan seni dan kreativitas. Itu ada di masyarakat. Kedua, patron, yang mengatur, dimulai dari negara, UU, kementerian, lalu di bawahnya ada polisi, organisasi massa, dan seterusnya. Dalam sastra dan seni rupa, patron juga bisa penerbit dan galeri-galeri.

Jadi, kreativitas dibatasi. Sejauh mana batas-batas itu cukup longgar atau sangat ketat, tergantung pada kekuatan patron atau poetiknya, yakni kode sosialnya yang tak bisa dilihat sama di seluruh Indonesia, karena tak terbatas pada kelompok etnis. Subetnis dalam kelompok etnis juga bisa menentukan.

Mana yang baik? Ada yang menganggap patron itu lebih baik negara. Maka, bentuknya bisa undang-undang atau yang lain. Dulu ada Dinas Kebudayaan yang mengatur enggak boleh ini enggak boleh itu, tetapi setelah reformasi patron-patron itu melemah.

Sebelum negara, sudah ada dewan-dewan adat. Jadi, sekarang ada dua aliran. Aliran Bhinneka Tunggal Ika mengatakan, patron itu adanya di tempat di mana code behaviour berlaku. Yang satu pakai UU.

Jadi?

Kalau kita berpegang pada Bhinneka Tunggal Ika, sudah jelas. Tetapi, sehabis reformasi sejumlah daerah minta otonomi yang makin besar, ada resistensi dari yang mendukung NKRI. Sistem seperti apa yang akan dikembangkan, menurut saya, kembali lagi pada kebudayaan yang harus dihormati.

Pada zaman ini harus ada kompromi antara kepentingan kebudayaan di setiap daerah dengan kepentingan nasional, yang sekarang ini baru kelihatan ketika menghadapi apa yang namanya globalisasi; bagaimana kita merespons trend global itu.

Sumber: Kompas, Minggu, 2 November 2008

No comments: