Tuesday, November 18, 2008

Pengajaran Sastra Perlu Paradigma Baru

JAKARTA, KOMPAS - Pengajaran sastra di sekolah-sekolah masih belum mengalami kemajuan. Buku-buku sastra wajib baca tidak tersedia di sekolah-sekolah. Kondisi ini diperparah oleh guru-guru bahasa dan sastra Indonesia yang kurang mencintai sastra. Apabila hal ini tetap dibiarkan, sejumlah nilai luhur seperti keimanan, kejujuran, ketertiban, pengendalian diri, pengorbanan, demokrasi, kehausan pada ilmu, akan semakin hancur.

Demikian dikatakan sastrawan Taufiq Ismail dan guru Bahasa serta Sastra Indonesia, Waitlem, yang dihubungi secara terpisah di Jakarta dan Solok, Sumatera Barat, Senin (17/11).

Taufiq Ismail menilai, pengajaran sastra di sekolah-sekolah masih menggunakan paradigma lama. Bahkan, hasil serangkaian wawancara dengan tamatan SMU 13 negara, pada Juli-Oktober 1997, dibandingkan dengan kondisi sekarang (2008), posisi Indonesia juga tak berubah. Siswa SMU Indonesia tidak satu pun ada buku wajib sastra yang harus dibaca. Nol judul. Sedangkan negara lain berkisar 5 sampai 32 judul buku sastra wajib baca.

Ini dinilai Taufiq sebagai penurunan karena di zaman AMS Hindia Belanda, siswa diwajibkan membaca buku sastra 25 judul bagi AMS Hindia Belanda-A dan 15 judul bagi AMS Hindia Belanda-B. ”Dewasa ini, sejumlah nilai-nilai luhur hancur, seperti keimanan, kejujuran, ketertiban, pengendalian diri, pengorbanan, dan kehausan pada ilmu, karena kurangnya siswa belajar sastra,” kata Taufik.

Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan Depdiknas Baedhowi pada kesempatan terpisah di sela- sela Kongres Bahasa Indonesia, juga mengatakan, pendidikan sastra memupuk kecerdasan siswa hampir dalam semua aspek. Peran guru berada di garis depan dalam pembelajaran sastra.

Menurut Baedhowi, melalui apresiasi sastra, siswa dapat mempertajam perasaan, penalaran, daya khayal, serta kepekaan terhadap masyarakat, budaya, dan lingkungan hidup. Melalui apresiasi sastra, kecerdasan intelektual siswa dapat dilatih. Kecerdasan emosional dan spiritual siswa dapat dikembangkan.

Menurut Waitlem, yang guru Bahasa dan Sastra Indonesia di SMP 4 Gunung Talang, Kabupaten Solok, kurikulum pengajaran Bahasa dan Sastra Indonesia sekarang sudah lebih baik. Cuma kendalanya, selain pada guru, yang sebagian tidak menyukai sastra, juga karena buku-buku sastra tidak tersedia di perpustakaan. (NAL)

Sumber: Kompas, Selasa, 18 November 2008

No comments: