-- Mila Novita
Jakarta - Di hadapan ratusan pengunjung yang memadati ruang terbuka MP Book Point, Cipete, Jakarta Selatan, Jumat (28/11) malam, aktor monolog Iman Soleh berdiri, membacakan buku karya Andrea Hirata yang masih hangat meluncur, Maryamah Karpov.
Di hadapannya ada selembar kertas, ia pun mulai membacanya, “Bus Bang Zaitun adalah GMC besar serupa roti. Tempat duduk depan amat panjang, jika didesak-desakkan bisa muat lima orang, termasuk sopir. Kisahnya setelah melikuidasi alat-alat orkes Pasar Ikan Belok Kiri ditambah dengan pinjam uang kiri-kanan, ikutlah Bang Zaitun dalam lelang mobil eks Meskapai Timah yang telah tamat riwayatnya itu. Mobil itu dulu dipakai untuk antar-jemput siswa-siswi sekolah Meskapai Timah.” Pembacaan selesai. Pengunjung pun bertepuk ceria.
Namun, pengunjung yang menyesaki toko buku itu datang bukan untuk menghadiri pementasan Iman Soleh. Sekali pun, penampilan dosen Sekolah Tinggi Seni Indonesia-STSI Bandung itu menjadi bagian penting pada rangkaian acara malam itu.
Tak bisa dielakkan lagi, para pengunjung, memang lebih menantikan “bapak” dari tetralogi Laskar Pelangi, Andrea Hirata, yang malam itu meluncurkan karya pamungkasnya, Mimpi-mimpi Lintang: Maryamah Karpov, buku terakhir dari Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor.
Iman Soleh membawakan Mozaik 11 dari novel Maryamah Karpov setebal 504 halaman itu yang dijual seharga Rp 79.000. Suara Iman Soleh pun menderu, meningkahi naskah dari buku yang dia bacakan, seperti suara bus Bang Zaitun yang diberi nama Dendang Gembira Suka-suka. Iman menjadi aku, si Ikal, yang menggambarkan Bang Zaitun sebagai pencinta sejati musik, “Musik dalam pandangannya, lebih dari sekadar hiburan.” Demikian gaya bahasa Andrea tentang musik, telah dibaca oleh Iman.
Menepati Janji
Andrea muncul setelah penampilan pembacaan itu. Dia tampil bersama dengan penulis skenario film Laskar Pelangi Salman Aristo, produser Putut Widjanarko, pemeran ayah Ikal di film, Mathias Muchus, dan pemeran Ibu Mus, Cut Mini.
“Setelah hampir dua tahun ditanya terus, pagi, siang, malam, akhirnya untukmu kawan, kupersembahkan Maryamah Karpov,” Andrea menyapa dengan bahasa khasnya, seperti di novel.
Lebih dari setahun lalu Andrea meluncurkan serial ketiga dari tetralogi ini, Edensor. Bukan karena kesulitan untuk menulis akhir dari perjalanan Ikal dalam pencarian cintanya, A Ling, maka Andrea butuh waktu selama itu.
Andrea mengungkapkan fenomena lain pemunculan karyanya. “Apabila waktunya digabungkan, mungkin (jarak antarbuku) tidak sampai satu bulan, tapi jeda di antaranya (penulisan) yang lama, terutama karena saya sangat menghormati kerja keras para sineas. Saya menjanjikan Maryamah Karpov akan terbit kalau (film) Laskar Pelangi sudah turun, tidak main lagi di bioskop. Dan sekarang, meskipun masih main, saya penuhi janjiku kawan, saya terbitkan malam ini,” kata Andrea.
Karya sastra bagaikan anak dari seorang pengarang. “Anak bungsu” Andrea ini sarat dengan muatan sosiologi Belitong, seperti Bang Zaitun tadi. Mengapa Andrea mamasukkan segmen Bang Zaitun si mantan pemain orkes Pasar Ikan Belok Kiri yang dikhianati organ tunggal, dan bahkan memilih adegan di naskah itu untuk dibacakan Iman Soleh dalam peluncurannya?
Tak lain tak bukan karena Andrea cinta musik. Ada banyak segmen musik yang diceritakan Andrea dalam tetralogi ini, dari Jim Morrison yang diceritakannya melalui karakter Arai di Edensor sampai dengan Bang Haji Roma Irama yang posternya terpampang di setiap kamar yang ditempati Ikal. Dan tidak mengejutkan jika pada peluncuran Maryamah Karpov, ia menyebutkan nama Slankers dalam persembahannya, selain dua keponakannya dan ibunya, Masturah. “Sebenarnya karya itu saya persembahkan untuk para Slankers karena saya mengagumi Slank. Mereka selalu mengatakan ‘work hard’,” katanya. “Bang Roma?” penonton penasaran. “Bang Roma pasti dong,” Andrea tertawa.
Kembali ke Titik Nol
Andrea mengaku kembali lagi ke titik nol, ketika ia menulis Laskar Pelangi. Ia sama sekali buta tentang sastra ketika itu, pengalaman menulis fiksinya nol besar. Laskar Pelangi pun ia buat awalnya bukan untuk diterbitkan, melainkan untuk Ibu Mus, karakter guru yang sangat inspiratif itu.
Ketika menulis Edensor, ada sedikit pengetahuan tentang novel dan sastra yang membuatnya terbebani. “Ketika menulis Maryamah Karpov, saya merem (tutup mata, red), pura-pura tidak tahu. Saya menulis dengan menangis, tertawa, menangis lagi, seperti ketika menulis Laskar Pelangi. Di suatu malam, saya tutup, saya ingat, saya seperti menulis Laskar Pelangi kedua,” kata Andrea.
Itu pula yang membuat Andrea merasa perlu banyak belajar. Sebuah pengalaman bagus ia dapatkan ketika soft launching Maryamah Karpov di Ubud Writers Festival 19 Oktober lalu. John Berendt, penulis Amerika Serikat yang mengarang Midnight in the Garden of Good and Evil, yang menulis 20 tahun baru menulis empat novel, sementara Andrea yang awalnya buta sastra dan baru menulis dalam empat tahun itu sudah menghasilkan empat novel. “Saya sedang mempertimbangkan dengan keras sekali untuk berhenti menulis. Saya musti banyak belajar, menulis buku bukan hal yang mudah,” katanya. n
Sumber: Sinar Harapan, Sabtu, 29 November 2008
No comments:
Post a Comment