SYAIR puisi, bagi Willibrordus Surendra Broto (W.S. Rendra) adalah palagan perjuangan. Ini menjadi pilihannya karena di ranah ini perjuangan tak pernah kenal pensiun.
Pujangga, dalam catatan sejarah suatu kerajaan, selalu berdampingan dengan raja. Entah karena sang penulis dan pencatat sejarah itu adalah juga pujangga sehingga menempatkan posisinya sendiri sepanggung dengan elite kerajaan. Atau memang demikian para pujangga itu didengar kalimat-kalimat arifnya sebagai penasihat.
Pada "kerajaan" bernama Indonesia, posisi itu mungkin ditempati W.S. Rendra. Penyair berusia 73 tahun yang telah mulai berkarya sejak usia belia, yakni saat ia duduk di bangku SMP ini tidak pernah berhenti menjadi pujangga. Bedanya, ia mencipta syair, lalu diteriakkan dengan lantang di pentas-pentas utama untuk didengar semua orang. Bukan untuk meninabobokkan sang raja yang sedang bercengkerama bersama selir-selirnya.
Bersyair, bagi Mas Willy, sapaan akrabnya, adalah daya hidup. Itu sebabnya, ia tidak pernah berhenti berpuisi meskipun napas sudah hampir terhenti sekalipun. Dalam catatan perjalanan kepenyairannya, Rendra dikenal dengan kilau karyanya yang membumi dan berisi kritik sosial yang tajam dan menohok. Tak jarang, sejumlah pejabat era syair itu dilantunkan harus menekuk wajahnya ke dagu.
Pekan lalu, selama dua hari, Rabu--Kamis (19--20 November), Si Burung Merak ini hadir di SMA Negeri 1 Bandar Sribhawono, Lampung Timur. Ia didaulat untuk menyampaikan orasi dan membacakan puisi bersama penyair Ahmadun Yosi Herfanda di hadapan ratusan guru dan siswa SMA/SMK se- Lampung Timur.
Kepada Sudarmono, Chairuddin, dan Syaifulloh dari Lampung Post, W.S. Rendra menyampaikan "orasi" selama dua jam lebih di seunit rumah mewah tengah kebun milik L. Anwarsono di Bandar Sribhawono, Rabu malam (19-11). Lampung Post cukup membuka, lalu menyela dengan tiga pertanyaan untuk mendapat pernyataan amat panjang dari bapak 11 anak ini. Berikut petikannya.
Selamat datang di Lampung, Mas Willy. Anda punya pengalaman atau kesan terhadap Lampung?
Ini luar biasa. Saya kebetulan sampai di sini dini hari, sekitar pukul 01.00. Perjalanan dari Pelabuhan Bakauheni selama hampir dua jam di sergapan gelap membuat suasana seperti masuk belantara nan jauh. Itu membuat saya merasa berada di perdalaman yang jauh dari peradaban kota. Yang saya tahu, ini adalah Lampung.
Ketika pagi, saya bangun mendapati diri berada di sebuah rumah yang berada di tengah kebun. Ya, di sini (rumah L. Anwarsono, red). Siangnya, saya diminta ke sekolah (SMA Negeri 1 Bandar Sribhawono, red), untuk melihat lomba baca puisi. Lalu diajak berdiskusi dengan sejumlah siswa.
Terus terang, saya kaget dan surprise. Di tempat yang sangat jauh ini, ada satu sekolah yang mempunyai apresiasi sangat luar biasa kepada sastra. Itu bisa saya rasakan saat berdialog dengan puluhan siswa. Mereka mengaku mempunyai sanggar sastra siswa. Dan, kegiatan temu sastra yang saya hadiri kali ini, menurut informasi panitia, sudah berlangsung untuk yang ke enam kami. Sebelumnya, Tardji (Sutardji Calzoum Bachri, red) sudah datang, bahkan Taufik Ismail sudah dua kali. Ini yang menurut saya luar biasa dan mengandaskan tesis saya sementara yang tak percaya ada perkembangan dunia sastra yang demikian mengakar di tempat yang jauh seperti ini. Itu kesan pertama saya.
(Rendra terus berbicara.....)
Saya punya pengalaman yang cukup banyak dengan Lampung, meskipun kalau nggak salah, saya baru dua kali datang ke Lampung, termasuk hari ini. Yaitu, sekitar tahun 1989, saat itu Hendro Priyono menjadi Komandan Korem Garuda Hitam, ya. Saya sempat datang ke beberapa desa etnis terpencil di Ogan Lima, Lampung Utara. Di sana, saya melihat petani kita dengan kebun kopi yang luas-luas. Sayangnya, mereka lebih percaya bahwa untuk mendapatkan hasil yang banyak harus membuka lahan yang luas. Sementara, perawatan tanaman tidak diperhatikan.
Lalu ke Metro, mengunjungi daerah-daerah permukiman transmigrasi. Ini menjadi modal saya untuk memahami kekuatan hukum adat (Rendra panjang lebar menerangkan soal hukum adat, karena sedang konsentrasi mengawal sistem ketatanegaraan Indonesia untuk karya-karya berikutnya).
Untuk Anda ketahui, Lampung dengan tatanan adatnya adalah salah satu wilayah dan otoritasnya yang termasuk paling terakhir dapat ditaklukkan Belanda. Kalau Kerajaan Banten yang mempunyai pengaruh terbesar ke Lampung ditundukkan Belanda sejak abad 17, Lampung baru bisa dijarah dua ratus tahun kemudian. Apa yang menyebabkan Lampung tidak mudah ditundukkan? Kesimpulan saya sementara adalah karena Lampung mempunyai hukum adat yang sangat kuat. Adat Lampung memiliki hukum daulat yang mengakar ke hati sanubari setiap pengikutnya. Ini sesungguhnya modal yang amat berharga milik negeri ini.
Sayangnya, para pemimpin kita justru gandrung dengan sistem yang diwariskan para kapitalis liberal. Kejadiannya, hukum adat relatif masih ada meskipun tidak terlalu dirawat, sementara, negara Indonesia yang sistem demokrasinya dikawal ketat dan pupuk, justru hancur berantakan. Ini yang saya sebut, kebijakan pemerintah kita tidak pernah belajar dari sejarah.
Ya, sejak awal Anda terus berjuang dengan syair dengan harapan bisa memperbaiki keadaan ini. Anda merasa berhasil? Atau, apakah Anda merasakan adanya pengaruh positif dari syair yang Anda baca dengan kebijakan yang diambil penguasa?
Saya kira, tidak etis jika saya menilai tentang hasil karya diri sendiri dan pengaruhnya terhadap tatanan bangsa ini. Yang saya tahu, kearifan agama juga telah menyediakan ladang garapan perjuangan yang berbeda-beda, sesuai dengan kemampuannya. Yang mampu dan memang kuat dengan pikirannya, yang menyumbang ide untuk memperbaiki bangsa ini. Yang mampu dengan hartanya, ya kerahkan. Yang seperti saya, yang berusaha memaksimalkan apa yang saya bisa. Bahkan, yang tak mampu menyumbang secara nyata pun masih punya kewajiban untuk mendoakan.
Saya memilih menjadi penyair, pastilah mempunyai keyakinan bahwa posisi itu harus ada yang mengisi. Meskipun kerjaan saya sepertinya hanya berteriak menyuarakan kebebasan dan mendobrak dengan kata-kata, tetapi saya tidak sembarang bersuara. Saya harus punya modal dan pengetahuan nyata tentang apa yang harus saya teriakkan. Itulah mengapa, sebagai penyair, saya tetap beraktivitas ke mana-mana dan masuk ke bidang apa saja. Saya harus merekam setiap kejadian di setiap sudut negeri ini, untuk kemudian disampaikan kepada penguasa. Tentu, sesuai kebisaan saya, ya dengan meraciknya menjadi syair puisi.
Saya juga harus terus mengikuti perkembangan zaman dan proses perjalanan negara ini. Terus terang saya katakan, banyak sekali keputusan pemerintah yang sengaja dianjurkan oleh pihak lain sebagai jebakan agar kita hancur, tetapi tetap dijalankan.
Saya sangat miris ketika pemerintah berencana meningkatkan subsidi pupuk kimia, itu, pupuk urea dari Rp17 triliun, ya, menjadi Rp50 triliun. Mau jadi apa negeri ini. Padahal, tidak ada negara beradab yang mau membuat pabrik pupuk urea. La, kita malah mau meningkatkan.
Nah, kalau dana itu, nggak usah dinaikkanlah. Kita, punya kearifan budaya yang disebut rojo koyo. Uang itu kita belikan ternak sapi atau kerbau, kita bagikan kepada rakyat, sudah dapat berapa. Nah, hewan ternak itu yang akan berproduksi membuat pupuk organik terbaik dan sangat ramah lingkungan. Belum keuntungan utamanya. Mengapa kita ngotot mau terus membuat pabrik urea. Ini celakanya kita.
Saya ngomong begini bukan tanpa dasar. Sebab, pekan lalu saya mengadakan semacam pelatihan pembuatan pupuk kompos di tempat saya. Hasilnya, luar biasa. Walaupun hanya percobaan, saya melihat ini bisa dikembangkan lebih luas.
Anda membuat pupuk kompos? Apakah Anda sudah ekspansi ke ranah selain dunia kepenyairan?
Ya, bengkel teater saya memang bukan sekadar sanggar tempat belajar teater. Di sini, anak-anak ini (Rendra memperkenalkan tujuh siswanya yang ikut ke Lamtim), menimba ilmu kesenian, tetapi juga belajar seni hidup secara paripurna. Kami bukan sekadar mengolah gerak raga dan olah kata di panggung, tetapi juga olah rasa. Hidup harus seimbang.
Kalau dibilang ekspansi, jelas bukan. Saya hanya menjalankan titah sebagaimana diajarkan Islam kepada kita. Kita harus mengaplikasikan apa yang kita katakan. Juga peduli dengan lingkungan kita.
Di usia Anda yang sudah 73, apakah masih akan terus menciptakan syair dan membacakannya untuk bangsa ini?
Bagi saya, pilihan ini sudah selesai. Kalau mau berhenti atau diberhentikan, seharusnya sejak masa saya kuliah. Sebab, saya begini sudah sejak SMP. Jadi, tidak ada yang bisa menghentikan saya. Dan di sini tidak ada kata pensiun.***
Sumber: Lampung Post, Minggu, 23 November 2008
No comments:
Post a Comment