BAHASA sejatinya merupakan identitas suatu bangsa. Indonesia sebetulnya sudah mengikrarkan jati dirinya 100 tahun silam, lewat Sumpah Pemuda. Salah satu isinya mengungkapkan kesepakatan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.Kini, setelah 80 tahun berselang, masihkah janji itu dipegang teguh anak bangsa? Sebagian tentu telah membuat sumpah pemuda itu tergerus zaman. Namun, sebagian lain masih setia menggunakan bahasa Indonesia sebagai bagian dari gaya hidup kesehariannya. Hanya saja, seberapa besar jumlah mereka, ini sulit dijawab.
Indonesia jelas membutuhkan satu bahasa yang dipakai menyeluruh oleh segenap rakyatnya. Tanpa adanya kesamaan bahasa, sukar sekali mencapai komunikasi yang sehat. ''Lebih parahnya lagi, tanpa itu, proses mencerdaskan anak bangsa juga akan terhalang,'' kata Kepala Pusat Bahasa Depdiknas Dr H Dendy Sugono.
Di kelas, para guru memakai bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar. Itulah sebabnya bahasa Indonesia harus terus diajarkan di sekolah. ''Kalau anak didik tidak mengerti bahasa Indonesia, mana mungkin mereka mengerti materi yang disampaikan guru,'' jelas Dendy saat memberi sambutan pada pembukaan Kongres IX Bahasa Indonesia, Selasa (28/10), di Hotel Bumi Karsa, Jakarta.
Memprihatinkan
Dendy melihat perilaku berbahasa masyarakat saat ini cukup memprihatinkan. Bahasa Indonesia seolah tidak menjadi tuan rumah di negeri sendiri. ''Seperti ada kegamangan untuk meyakini identitas bangsa,'' sesalnya.Di keseharian, sebagian masyarakat terpantau oleh Dendy lebih suka menggunakan istilah-istilah dalam bahasa asing. Selain itu, judul buku, judul sinetron, tulisan-tulisan di ruang publik, juga mencerminkan kecenderungan serupa. ''Ini pertanda pembangunan berjalan kurang terarah.''
Terkait ikrar pemuda di tahun 1928, jauh hari sebelum kemerdekaan, kondisi itu tentu tidak menggembirakan. Dendy gelisah melihatnya. ''Setelah 80 tahun Sumpah Pemuda, Indonesia tak juga mengalami kemajuan besar.''Pada sambutannya seusai membuka kongres, Mendiknas Prof Dr Bambang Sudibyo juga melihat ada pergeseran sikap masyarakat terhadap posisi bahasa Indonesia. Belakangan, bahasa asing dan bahasa daerah sering dipergunakan tidak pada tempatnya. ''Mestinya, pada kesempatan formal, bahasa Indonesia tetap dipergunakan.''
Indonesia, lanjut Bambang, semestinya bisa membangun dirinya dengan melakukan penguatan bahasa. Seperti yang dilakukan Jerman dan Jepang. ''Kedua negara maju itu sempat hancur oleh perang. Mereka membangun bangsanya melalui politik identitas, mengutamakan penggunaan bahasa nasionalnya. Semua literatur asing bahkan diterjemahkan. Semangat dan sikap nasionalisme mereka tunjukkan dengan kecintaan pada bahasanya,'' katanya.Bambang kemudian mengemukakan contoh yang lebih ekstrem, yakni pembangunan bangsa yang dilakukan Yahudi. Mereka menghidupkan kembali bahasa Ibrani untuk pembangunan bangsanya.
Bambang yakin kecintaan terhadap apa yang dimiliki bangsa akan berdampak positif bagi ketangguhan negara. Termasuk ketangguhan di bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, pertahanan, dan keamanan. ''Pandangan ini bukan berarti anti identitas bangsa lain namun lebih kepada menempatkan kembali bahasa Indonesia sebagai jati diri bangsa,'' cetus mantan menteri keuangan ini.
Memperkaya
Bambang juga memperlihatkan betapa bahasa asing bisa memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Kata 'laskar', contohnya. ''Laskar tidak berasal dari kosa kata Melayu. Ini adalah bahasa Arab yang sudah menjadi bagian dari kosa kata bahasa Indonesia dan dapat diterima dengan enak,'' katanya.Kendati demikian, Bambang mengingatkan kosa kata yang diserap dari bahasa asing harus tetap fungsional. Kata tersebut mesti dapat menjadi simbol. ''Keberadaan kosa kata baru itu selayaknya dapat memberi arti di berbagai aspek keilmuan dan kehidupan,'' sarannya.
Menyusul kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, menurut Bambang, Indonesia harus segera meresponnya dari segi pengayaan kosa kata bahasa. Kebutuhan tersebut mendesak untuk dipenuhi, dan kita harus memiliki padanan katanya dalam bahasa Indonesia.Untuk itu, Bambang menganggap Kongres Bahasa sebagai ajang yang penting. Terlebih, kali ini, Kongres Bahasa mengangkat tema >Membentuk Insan Indonesia Cerdas Kompetitif Melalui Pengajaran Bahasa Indonesia. Sebanyak 1.100 peserta yang terdiri dari pengajar, pakar, dan pecinta bahasa Indonesia ambil bagian dalam perhelatan lima tahunan yang ditutup pada 1 November 2008 ini.
Peta bahasa
Bambang berharap Kongres Bahasa dapat menjadi pertemuan yang bermanfaat bagi pengembangan bahasa Indonesia untuk memenuhi tuntutan zaman. Ia juga menganggap perlu adanya upaya melestarikan bahasa dan sastra daerah. ''Sebagai langkah awal, Pusat Bahasa telah memetakan 442 bahasa daerah, menerbitkan kamus, dan tesaurus bahasa Indonesia,'' imbuh Dendy.
Pada Peta Bahasa tersebut terdapat 26 bahasa daerah di pulau Sumatera. Lantas, ada 10 bahasa daerah yang terpetakan dari pulau Jawa, Bali, dan Madura. Selain itu, ada 255 bahasa dari Kalimantan, 58 dari Maluku, dan 207 dari Papua. ''Peta ini disusun untuk meneguhkan kekayaan dan keragaman budaya bangsa,'' tandas Dendy. (Reiny Dwinanda)
Sumber: Republika, Minggu, 2 November 2008
No comments:
Post a Comment