-- Adjat Sudradjat*
TELAH banyak contoh bahwa letusan gunung api sangat memengaruhi kehidupan manusia. Setidaknya ada lima letusan gunung api besar di dunia yang telah memberikan dampak luar biasa terhadap kebudayaan manusia, tiga di antaranya terjadi di Indonesia. Pertama, letusan Toba yang terjadi pada lebih kurang 74.000 tahun lalu yang telah memusnahkan kebudayaan neolitikum Tampan di Semenanjung Malaya. Kedua, letusan Gunung Tambora pada 1815 yang menyebabkan musim dingin berkepanjangan, baik di Eropa maupun di Amerika sehingga menyebabkan kegagalan panen. Ketiga, letusan Krakatau pada 1883 yang juga menyebabkan musim dingin berkepanjangan.
Dua letusan gunung api lainnya adalah Gunung Thera di Yunani pada 1630 SM dan Gunung Vesuvius di Italia pada 79 M. Letusan hebat Gunung Thera menyebabkan punahnya kebudayaan Minoan sedangkan letusan Gunung Vesuvius mengubur Kota Pompeii dan Herculaneum yang berperadaban Romawi Kuno. Letusan Gunung Thera memberikan banyak inspirasi sehingga dalam budaya Yunani Kuno dikenal banyak sekali legenda. Berdasarkan berbagai legenda itu, Plato lebih kurang 2.000 tahun yang lalu mengajarkan tentang etika kekuasaan yang menyatakan bahwa bila kekuasaan disalahgunakan akan memperoleh hukuman dan ditenggelamkan ke dasar lautan. Pelajaran Plato tersebut dikenal sebagai legenda "the Lost Atlantis" atau benua yang hilang yang sampai sekarang menjadi teka-teki: betulkah benua yang tenggelam itu ada? Berdasarkan berbagai bukti, seorang peneliti dari Brasil menyimpulkan bahwa Paparan Sunda di bagian barat Indonesia merupakan benua yang hilang sebagaimana diceritakan dalam pelajaran Plato tersebut. Hasil penelitian ini memerlukan penelitian lebih lanjut.
Merapi dan Kelud
Di Indonesia, Kerajaan Hindu Mataram menempatkan Merapi sebagai pusat kehidupan dan sumber serta simbol kekuasaan. Lebih dari 282 candi besar maupun kecil mengelilingi Gunung Merapi. Tatanan kehidupan pun sangat terikat kepada Gunung Merapi sebagai sentral. Letusan hebat Merapi pada abad ke-10 yang mencapai puncaknya pada 1006, dianggap sebagai isyarat untuk memindahkan kerajaan. Letusan itu menghancurkan ibu kota Kerajaan Hindu Mataram dan menewaskan raja serta seluruh anggota keluarganya. Seorang keponakan Raja yang kemudian bergelar Airlangga yang artinya ’selamat dari air bah’ (langga=selamat) memindahkan kerajaan ke Jawa Timur. Dalam buku Pararathon, tahun 1006 M disebut sebagai tahun perlaya.
Gunung Kelud dipilih sebagai tempat baru yang dapat bertindak sebagai sumber dan simbol kekuasaan. Malahan dipercayai bahwa letusan Gunung Kelud memberikan isyarat akan peristiwa penting yang menyangkut kekuasaan, seperti pergantian takhta, lahirnya putra mahkota, atau mangkatnya raja.
Setelah mengalami transformasi melalui Kerajaan Singosari, Kerajaan Majapahit, dan Demak, akhirnya Kerajaan Mataram Islam berdiri kembali di kaki Gunung Merapi yang ratusan tahun sebelumnya ditinggalkan Kerajaan Mataram Hindu. Gunung Merapi kembali berperan sebagai pusat orientasi kehidupan dan simbol kekuasaan.
Gunung Sunda
Keterikatan antara gunung api dan perikehidupan seperti yang dialami di sekitar Gunung Merapi dan Kelud, tampaknya berbeda di tatar Sunda. Ibu kota Tarumanagara, Sundapura berada di wilayah pesisir yang jauh dari kegiatan gunung api. Pakuan, ibu kota Kerajaan Pajajaran di Bogor, berada di kaki gunung yang tidak aktif. Ibu kota Kerajaan Galuh di Kawali Ciamis, berada di kaki gunung api purba yang sudah mati.
Gunung api yang secara nyata berpengaruh terhadap kebudayaan Sunda adalah Gunung Sunda. Gunung ini sekarang sudah tidak ada, karena meledak dengan hebat lebih kurang 50.000 tahun yang lalu. Begitu hebatnya letusan tersebut, sehingga hampir seluruh tubuh Gunung Sunda terlemparkan mengakibatkan terbentuknya lubang menganga dengan garis tengah lebih dari 5 kilometer. Batu-batuan yang terlemparkan diduga membendung Sungai Citarum dan membentuk Danau Bandung. Lubang besar yang ditinggalkan letusan itu oleh para peneliti zaman sekarang diberi nama Kaldera Sunda. Dalam Kaldera Sunda itu terbentuk gunung baru yang dinamakan Gunung Tangkubanparahu. Sekarang kaldera itu sudah hampir seluruhnya ditutupi oleh tubuh Gunung Tangkubanparahu. Gunung ini merupakan anak Gunung Sunda, sama halnya seperti Gunung Anak Krakatau yang lahir pada 1927. Bedanya, Gunung Tangkubanparahu lahir 50.000 tahun yang lalu.
Berdasarkan rekonstruksi, Gunung Sunda diperkirakan mempunyai tinggi 4.000 meter atau lebih tinggi daripada Gunung Kerinci di Sumatra yang merupakan gunung api tertinggi di Indonesia. Bilamana Gunung Sunda masih ada, pastilah gunung ini yang menjadi gunung api tertinggi di Indonesia.
Penamaan Gunung Sunda sendiri diperkirakan sangat erat kaitannya dengan letusan gunung tersebut yang selalu meniupkan abu putih yang menyelimuti badannya sendiri dan wilayah di sekitarnya. Kata sunda diduga berasal dari bahasa Sanskrit çuddha yang berarti putih, suci, atau bersih. Sejak ribuan tahun lalu, Gunung Sunda dan tatar Sunda sering terlihat memutih karena ditutupi abu yang ditebar Gunung Sunda. Secara tertulis, kata Sunda untuk pertama kalinya dikenal pada Prasasti Tugu, sebagai nama ibu kota Kerajaan Tarumanagara yaitu Sundapura, yang didirikan Raja Purnawarman pada 397 M. Kata sunda terdapat pula pada inskripsi batu di Sanghyang Tapak yang bertanggalkan 1030 Masehi yaitu pada zaman pemerintahan Prabu Detya Maharaja, raja ke-20 sesudah Raja Tarusbawa, pendiri Kerajaan Tarumanagara.
Gunung api di tatar Sunda
Legenda Sangkuriang terinspirasi oleh bentuk Gunung Tangkubanparahu yang menyerupai perahu menelungkup. Karena adanya perahu, sudah pasti alam pikiran orang akan mengembara kepada danau besar tempat perahu itu berlayar. Dataran Bandung yang berbentuk cawan raksasa menyuguhkan kemungkinan akan adanya danau pada zaman purba. Maka tidaklah mengherankan kalau di kalangan penduduk tatar Sunda hidup cerita lisan tentang perahu dan telaga yang dirangkai dalam suatu kisah cinta yang indah dan sarat dengan falsafah. Malahan falsafah itu menukik sampai ke alam pikiran budaya Yunani Kuno yang pernah hidup ribuan tahun yang lalu tentang Minotaur dan Oedipus.
Pada awal abad ke-16, cerita lisan Sangkuriang diangkat menjadi cerita tulisan di atas daun lontar oleh Bujangga Manik, seorang pangeran yang juga Pendeta Hindu, sepulang dari perjalanan spiritual menziarahi tempat tempat suci di Jawa dan Bali. Pada 1671, daun lontar yang berisi cerita Sangkuriang tersebut dibawa orang Inggris ke negaranya dan sampai sekarang tersimpan di Perpustakaan Bodlein di Oxford, Inggris.
Penemuan artefak atau bekas alat-alat yang terbuat dari batu di bukit sebelah utara Kota Bandung memperkuat dugaan adanya Danau Bandung. Demikian juga endapan danau berupa batuan, fosil, dan tulang-belulang ikan. Danau Bandung diduga masih ada pada lebih kurang 3.000 tahun yang lalu. Danau mulai mengering karena jebolnya batuan kapur yang menjadi pematang Danau Bandung di daerah Padalarang.
Berbeda dengan yang terjadi di sekitar Gunung Merapi dan Gunung Kelud, gunung api di tatar Sunda tampaknya berperan sebagai tempat untuk berlindung atau rumah untuk hidup dan untuk kembali (ngahyang) seperti dilakukan Dayang Sumbi ketika dikejar Sangkuriang. Dayang Sumbi ngahyang menjadi kembang jaksi. Ketika Kerajaan Pajajaran terdesak oleh Kesultanan Banten dan Cirebon, tempat terakhir untuk bertahan adalah pegunungan seperti Pegunungan Halimun yang terletak di bagian barat tatar Sunda (Banten). Dugaan ini diperkuat pula dengan kenyataan bahwa kerajaan-kerajaan yang berada di pegunungan, seperti Sumedang Larang, Cianjur, Limbangan, dll., mampu bertahan selama beberapa puluh tahun sesudah Kerajaan Pajajaran runtuh. Selain itu, gunung api telah ikut membentuk budaya Sunda di antaranya berupa Sasakala Sang kuriang yang sarat dengan falsafah hidup.***
* Adjat Sudradjat, Guru Besar Fakultas Teknik Geologi, Universitas Padjadjaran.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 15 November 2008
No comments:
Post a Comment