Monday, November 17, 2008

Buku Baru: Memetakan Kebebasan

-- Budi Kleden*

KEBEBASAN tidak hanya merupakan sebuah tema yang menarik untuk dibicarakan. Dia tampaknya demikian berharga sehingga banyak orang, secara pribadi atau kelompok, berjuang untuk merebut atau mempertahankannya.

Perjuangan untuk memperoleh kebebasan selalu berhadapan dengan kekuatan yang dinilai membelenggu dan menjajah. Dari perspektif penguasa politik yang menjajah, setiap bentuk upaya pembebasan adalah tindakan subversif. Para penguasa agama tidak jarang menilai ungkapan kebebasan itu sebagai heresi yang harus diperangi. Mereka semua tahu, cara paling efektif untuk melindungi diri dari tindakan subversif adalah memanipulasi proses pemikiran, menyeragamkan cita rasa, dan mengontrol pengartikulasian kehendak dan gagasan. Menguasai manusia berarti mengendalikan dua kapasitas dasarnya, pikiran, dan kehendak.

Namun, sejarah menunjukkan bahwa indoktrinasi seintensif apa pun ternyata tidak sanggup mendiamkan secara total suara kebebasan, dan kekerasan seekstensif apa pun tidak mampu menutup rapat segala sumber gagasan alternatif. Semuanya itu memang mengondisikan manusia, tetapi tidak berdaya untuk menghentikan dinamika kebebasan. Kalau demikian, di mana tepatnya sumber terdalam kebebasan yang tidak tunduk pada pendiktean penguasa dan tidak tercekik oleh lengan kekuasaan itu?

Berpikir untuk kebebasan

Nikolay Berdiayev, seorang filsuf Rusia abad ke-20, membuat refleksi yang radikal mengenai kebebasan. Radikal, karena dia tidak terutama berbicara metode dan strategi untuk membebaskan diri dari dan menggunakan kebebasan untuk sesuatu atau seseorang. Lebih dari itu, yang direfleksikannya adalah dasar terdalam dan sifat hakiki dari kebebasan. Bagi Berdiayev kebebasan adalah yang pertama dan dasar terakhir dari segala sesuatu, dan karena itu dia bersifat kreatif bagi semua yang memberinya ruang untuk mengungkapkan dirinya dan subversif di mana orang hendak memenjarakannya. Dengan buku Kebebasan Kreatif karya Dr Paul Klein, ditampilkan pemikiran kreatif Berdiayev untuk para pembaca Indonesia. Mungkin ini adalah karya pertama yang secara eksklusif memperkenalkan Berdiayev dalam bahasa Indonesia.

Berdiayev berpikir dan hidup sebagai seorang yang bebas dan kreatif. Hidup dan kerangka berpikirnya bukanlah sebuah dualisme. Apa yang direfleksikan dan ditulisnya dalam sekian banyak buku adalah pengalaman, pengamatan, dan perjuangan pribadinya untuk menjadi bebas dan kreatif. Baginya, filsafat bukanlah sesuatu yang melulu bersifat akademis dan platonis.

Karena eratnya kaitan antara biografi dan sejarah pemikiran ini, sangat tepat bahwa Paul Klein memperkenalkan biografi Berdiayev dalam napas yang sama dengan memperkenalkan beberapa gagasan kunci Berdiayev. Hemat saya, membaca bab pertama buku sudah sangat memberikan inspirasi. Dia berhasil merangkai kehidupan dan argumen filosofis, sebab memang sudah menjadi prinsip Berdiayev, bahwa hidupnya terabdi untuk filsafat. Hidup yang seperti itu diresapi oleh filsafat dan dapat menghadirkan sebuah filsafat.

Negara monster

Pengalaman manusia ditandai oleh apa yang disebut sebagai keterasingan atau pengasingan. Apa yang dirasakan dalam hati dan dipikirkan di kepala ternyata diungkapkan keluar dalam bentuk yang tidak memadai. Eksteriorisasi dan obyektivasi dipakai untuk menyatakan pengasingan ini. Eksteriorisasi adalah proses menampilkan keluar apa yang ada pada kedalaman. Pengungkapan ini menggunakan perangkat yang sudah ada di dalam sejarah dan masyarakat. Dalam kenyataan, apa yang ada di dalam sejarah dan masyarakat telah terkena obyektivasi, yakni belenggu mengobyekkan atau membendakan keberadaan. Oleh sebab itu, apa pun yang kita ungkapkan keluar selalu terjerat dalam obyektivasi. Jelas bahwa obyektivasi bermuara pada ketidakbebasan.

Obyektivasi adalah hilangnya kebebasan, yang dialami pada beberapa tingkatan, yakni pada tataran dunia dan sejarah, pada tataran pribadi dan pada tataran kolektif. Bentuk obyektivasi kolektif yang paling kuat adalah negara. Negara telah menjadi instrumen yang menindas dan mengalienasi manusia. Walaupun sebenarnya merupakan struktur yang paling rendah setelah pribadi dan agama, tetapi karena memiliki aparat yang kuat, negara berhasil menjadikan dirinya sebagai institusi kedaulatan yang berkuasa penuh dan dilegitimasi untuk menuntut kepatuhan mutlak dari para warga. Baginya, ”negara adalah yang paling kejam dari segala monster, dan manusia mulai di mana negara berhenti” (hal 109).

Berdiayev pun tidak lupa menyoroti obyektivasi yang terjadi di dalam agama. Figur inkuisitor agung dalam Dua Bersaudara Karamasov karya Dostojewsky, baginya, adalah simbol yang secara tepat melukiskan kiprah Gereja yang telah mengingkari ajaran Yesus. Gereja telah berkembang menjadi sebuah lembaga yang membelenggu manusia karena lebih memerhatikan hukum dan moral ketimbang pesan pembebasan.

Membebaskan

Sebagaimana pergumulan untuk menjadi pribadi yang bebas dan membangun masyarakat yang bebas selalu merupakan perjuangan panjang yang dipenuhi kegagalan dan keberhasilan, demikian pun bangunan pemikiran Berdiayev tentang kebebasan adalah sebuah konstruksi yang dirancang selama hidupnya, dengan tingkat kejelasan dan kekaburan yang bervariasi. Kebebasan adalah sebuah tantangan yang tidak gampang untuk dihidupi dan tidak mudah untuk dipikirkan. Namun, kita harus memikirkannya, sebab pemikiran adalah satu bentuk pertanggungjawaban.

Salah satu jargon yang sering digunakan Berdiayev adalah ”primat kebebasan”. Manusia tidak boleh dipaksakan untuk apa pun dan dengan alasan apa pun, termasuk oleh dan untuk kebenaran. ”Suatu kebenaran yang dipaksakan, atas namanya saya harus melepaskan kebebasan, bukanlah kebenaran melainkan cobaan iblis...” (hal 140). Karena posisinya yang ultim tersebut, maka kebebasan pun dipakai untuk menakar dan menilai segala sesuatu, tidak terkecuali kebenaran. Itu berarti, sesuatu hanya dapat disebut sebagai kebenaran kalau dia membebaskan. ”Kebenaran dikenal dalam dan melalui kebebasan” (hal 26).

Kebebasan jugalah yang menjadi takaran untuk menilai kebenaran sebuah agama. Tuhan bukanlah nama lain dari aturan dan hukum, bukan personifikasi dari keharusan dan norma. Tuhan adalah penjamin, pelindung, dan pemenuh kebebasan manusia. Agama yang benar adalah agama yang membebaskan. Untuk mengalami kebebasan seperti ini, Berdiayev yakin bahwa manusia mesti menjadi semakin mistis. Kedalaman mistis ini akan mencegah orang dari kecenderungan membendakan Tuhan dan mengandangkan-Nya dalam kerangka agamanya sendiri. Berdiayev menyebut dirinya sendiri lebih sebagai seorang homo mysticus daripada homo religiosus. Yang dimaksudkannya dengan mistik bukanlah pengalaman yang mengawang dan cenderung subyektivistis. Baginya, seorang mistikus sejati adalah orang ”yang melihat realitas dan membedakannya dari fantasma”.

Kebebasan kreatif

Saat kita memperingati seratus tahun Kebangkitan Nasional, mesti diakui bahwa bangsa ini masih dikuasai oleh kekuatan ekonomi global yang sangat dominan, yang mendikte kebijaksanaan dan keputusan politik pada tingkat nasional. Sementara itu, para politisi kita lebih suka menampilkan diri bukan sebagai pengambil keputusan yang bebas dan bertanggung jawab, melainkan lebih sebagai korban dari berbagai kondisi yang ditetapkan pihak lain. Berbarengan dengan itu, perbedaan-perbedaan yang terdapat di antara warga masyarakat gampang dijadikan ideologi dan argumentasi untuk merenggangkan solidaritas antarsesama warga. Di tengah kondisi kemiskinan dan keterpurukan harga diri, tampaknya sangat gampang manusia Indonesia diprovokasi untuk melakukan tindak kekerasan. Kesadaran, kebebasan, dan tanggung jawab pribadi tampaknya gampang hanyut dalam arogansi mayoritas atau rasa sakit hati minoritas.

Ketidaktentuan yang dialami pada tahun-tahun ini menjadi sebab bagi sebagian orang untuk kembali mengimpikan tampilnya negara yang kuat dan pemimpin yang berkuasa mutlak. Untuk mencegah apa yang dinilainya sebagai kemunduran akhlak, ada orang yang menghendaki agar negara tampil sebagai regulator yang mengatur sebanyak mungkin persoalan pribadi para warga. Cara berpakaian, gerak-gerik, dan bahan bacaan warga pun hendak diatur dan dikontrol oleh negara. Karena moralitas disejajarkan dengan hukum, maka orang berpikir, kualitas moral akan semakin dijamin oleh kian banyaknya hukum dan paksaan.

Di tengah kondisi seperti ini, kehadiran sebuah buku yang berbicara mengenai kebebasan kreatif, yang menunjukkan secara jelas obyektivasi di dalam negara dan menyebut negara sebagai bentuk alienasi yang paling berbahaya, merupakan sebuah peringatan yang sangat penting. Berdiayev tidak bermaksud menolak negara dan mengeliminasi politik. Dia menunjukkan pentingnya negara sebagai pengatur yang memerhatikan agar kebutuhan-kebutuhan dasar manusia terpenuhi. Yang diharapkannya adalah negara yang tahu diri, yang dijalankan dalam kesadaran bahwa perannya adalah menjaga dan memerhatikan kebebasan manusia. Berdiayev mengingatkan bahwa negara memiliki sebuah kecenderungan yang sulit diatasi untuk ”menuntut bagi dirinya bukan saja apa yang menjadi hak Cesar, tetapi juga yang menjadi hak Allah” (hal 111). Menghadapi tendensi semacam ini, para warga harus bangkit dan berjuang untuk menata negara yang membela hak dan kebebasan, sebab di sanalah terletak pembenaran eksistensi negara.

Aktualitas tema kebebasan kreatif sebagaimana dipaparkan di atas sebenarnya hanya menunjukkan satu kekurangan di dalam buku ini, bahwa dia sendiri tidak menyampaikan secara eksplisit tempatnya yang tepat di dalam situasi bangsa ini. Tentu saja semuanya itu tidak dapat dibicarakan di dalam satu buku. Namun, akan menjadi sangat menarik apabila sebagian dari konteks ini disinggung.

* Budi Kleden, Teolog, Dosen Teologi pada STFK Ledalero, Flores

Sumber: Kompas, Senin, 17 November 2008

No comments: