Sunday, November 09, 2008

Oase Budaya: Jalan Panjang Proses Keindonesiaan

-- Theresia Purbandini

DALAM kebudayaan, ranah kesenian yang bersumbu pada sastra memiliki peluang luas dalam menerjemahkan semangat keindonesiaan, yang mengacu pada cita-cita yang diidealisasikan melalui Sumpah Pemuda 1928.

Dan bentuk keindonesiaan tersebut sekarang ini, menurut Warih Wisatsana yang pernah menerbitkan kumpulan puisi Ikan Terbang tak Berkawan, “sebenarnya masih dalam proses pencarian, karena rumusan abstrak yang coba ditampilkan dalam bahasa sebagai alat pemersatu, masih mengalami proses identifikasi diri akibat pengaruh perkembangan teknologi di semua lini.”

Sementara itu, sastra Indonesia terus melahirkan bahasa Indonesia sebagai sarana ekspresi. “Bahasa Indonesia menjadi alat penting dalam mengungkapkan ekspresi yang dilatarbelakangi berbagai persoalan etnik. Sastra pun menjadi pintu masuk untuk memahami kebudayaan Indonesia,” ungkap Maman S Mahayana, kritikus sastra dari FIB UI.

Sejak Sumpa Pemuda dibacakan pada 1928 silam, keindonesiaan terwujud secara ideologis dan mendapat pengakuan secara nasional. Diyakini oleh Warih, inilah tahap awal dalam pengembangan kebersamaan melalui bahasa, memasuki proses penubuhan Indonesia sebagai bangsa.

Melebur Keanekaragaman

Maman juga menyatakan bahwa sumbangan terbesar peleburan keanekaragaman suku etnik dirumuskan melalui Sumpah Pemuda. “Sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda, bahwa bukan berbahasa yang satu melainkan menjunjung bahasa persatuan, yakni Bahasa Indonesia,” kata Maman.

Maka dengan meyakini rumusan tersebut, kekhasan bangsa Indonesia justru terletak pada keberagaman dari berbagai suku etnik yang tidak bisa diseragamkan, tetapi terus mengupayakan bagaimana menghormati dan menghargai perbedaan yang ada.

Sumpah Pemuda juga dianggap Warih sebagai kesepakatan sosial, sebuah bentuk penyampaian kesadaran akan kebersamaan dalam menyalakan roh keindonesiaan yang beragam. “Tak hanya membutuhkan kesadaran, tapi terutama kaum intelektual dapat mengajarkan persamaan hak yang telah ditentukan dalam bahasa yang mewakili ekspresi-ekspresi lokal, sehingga generasi berikutnya tak hanya menjadi maya,” kata penyair yang juga aktif mengajar di IKIP PGRI Denpasar ini.

Kecanggihan teknologi harus diimbangi dengan kesadaran akan melahirkan tatanan sosial di permukaan, jadi tidak menumbuhkan problematika krisis indentitas yang akan memilah bangsa. “Maka diperlukan daya kritisi yang tajam, terukur dan terarah dalam masyarakat demokratis ini, menuju visi masa depan,” ungkap Warih.

Tak bisa dipungkiri, kata Warih, serbuan globalisasi memang tak bisa dihindari. Timbulnya unsur-unsur manipulatif melalui bahasa Indonesia, sebagai alat pendorong ekspresi, harus disikapi agar tidak mengarah pada alienasi kebangsaan secara keseluruhan. Hal ini disepakati Maman, yang berpendapat bahwa memahami keperbedaan akan menjadi alat pemersatu bangsa melalui bahasa sebagai wujud keindonesiaan.

“Sebagai kebudayaan dunia yang nyatanya tak bisa kita tolak, sebaiknya hal yang negatif tak perlu diserap namun kita harus tetap fleksibel menerima pengaruh luar yang akan menambah ragam kreatif bangsa. Seperti keroncong yang asal muasalnya dari Portugis atau Tari Pinjai khas Melayu yang berasal dari Timur Tengah,” ungkap Maman mencontohkan.

Menghargai Tradisi dan Globalisasi

Seiring perkembangan zaman, era masyarakat modern kini cenderung lebih mengakar pada budaya Barat yang dianggap lebih berkualitas. Makanan asing justru menjadi salah satu contoh daya tarik masyarakat lokal dewasa ini.
Semangat zaman dengan pengaruh Barat ini, dianggap Maman sebagai ciri kemodernan atau sebagian dari ekspresi kebudayaan Indonesia terkini.

Menurut Warih, upaya menghadapi "serbuan" budaya asing ini, dalam konteks keindonesiaan yang terus beproses, bisa dikonkretkan dalam pertukaran gagasan seperti yang dulu dilakukan dalam Sumpah Pemuda. Misalnya, dengan memberi ruang terhadap forum antarkultur dalam bidang kesenian, hingga akan membentuk kemajemukan yang lebih kaya dalam keindonesiaan terkini.

“Seni tari misalnya tidak hanya menjadi gerakan artifisial permukaaannya saja, melainkan dapat mewakili gerakan setempat berdasarkan penghayatan, kontemplasi panjang yang mendasar, dengan kreasi Indonesia yang lebih nyata," kata pria yang tergabung dalam Komunitas Sanggar Minum Kopi, Bali ini.

Lalu, diakui pula oleh Maman, sebagai bangsa, Indonesia masih belajar berdemokrasi. Kuncinya terletak dalam pendidikan yang akan terus menyetir mutu bangsa, menjadi lebih terbuka dalam memaknai perkembangan. “Anggaran pendidikan sebaiknya diperhatikan, karena pendidikan mewujudkan keindonesiaan itu tidak murah.”

Menurut Warih lagi, Bahasa Indonesia sebagai titik pijak untuk mendorong terciptanya interaksi antarkultur, membutuhkan orang-orang yang melampui kelokalan tanpa tercabut dari akarnya, yang dengan sikap kreatif dan sehat mampu melahirkan akulturasi.

Secara khusus, di bidang kesenian, dinamika dalam mengatasi percepatan pergaulan kesenian, diperlukan fasilitas atau dukungan masyarakat Indonesia yang cerdas dan mampu menciptakan cuaca yang baik bagi terbentuknya keindonesiaan bangsa. Karena itulah tradisi pun harus dihargai secara dinamis, dengan terbuka menerima pengaruh budaya global dalam proses akulturasi itu.

Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 9 November 2008

No comments: