-- Arie MP Tamba
BEN Anderson, sarjana Amerika yang pernah meneliti fenomena kebangsaan itu, sampai pada perumusan – bahwa bangsa adalah suatu komunitas politik yang dibayangkan – sekaligus terbatas maupun berdaulat. Segenap anggotanya memang tidak akan pernah saling mengenal satu sama lain, namun dalam benak, hidup suatu bayangan akan keterkaitan mereka.
Keterkaitan inilah yang terus dipelihara, melalui institusi kebudayaan: sosial, politik, agama, kesenian, dll. Di bidang kesenian khususnya, bagaimana lekatnya karya sastra dengan tegaknya nilai kebangsaan atau bangsa (baca: Indonesia), dapat disimak melalui beberapa karya Pramudya Ananta Toer. A Teeuw (1997) menguraikan secara detail, di antaranya, melalui kupasan atas novel Perburuan (1949).
Struktur novel (dengan tokoh-tokoh cerita: Karmin, Hardo, Ningsih, Dipo, dll), menunjukkan ciri-ciri sebuah lakon. Dalam tiga bab pertama urutan adegan terdiri dari dialog-dialog tipikal. Bab akhir menunjukkan kemiripan dengan goro-goro, adegan wayang yang dicirikan oleh "geger" hebat di tengah alam; terjadinya segala macam peristiwa yang gawat dan berbahaya sekaligus.
Pada saat Karmin, sekuat tenaga mencoba membantu sahabatnya dan menyelamatkan Ningsih, sedangkan Hardo dan Dipo dibocorkan penyamarannya, kemudian ditahan dan diantar ke kantor lurah, maka dari arah lain muncul sebuah truk dengan orang Indonesia yang berseru lewat pengeras suara bahwa Indonesia telah merdeka. Jepang menyerah pada Sekutu, dan Soekarno dan Hatta memproklamasikan Republik Indonesia.
Ini menyebabkan kekacauan besar di kalangan orang-orang Jepang. Sebelum mereka menyerah, terjadi tembak-menembak dengan pihak Indonesia. Dan akhir cerita Perburuan pun cukup tragis, khususnya bagi Hardo; sebab, peluru terakhir membunuh tunangannya, Ningsih.
Demikianlah novel yang dipretensikan pengarangnya sebagai "cerita bersemangat anti-Jepang, patriotik, dan ditutup dengan proklamasi kemerdekaan" itu, berakhir tragis. Setelah memperlihatkan, bagaimana kesewewenangan Jepang menghasilkan tirani kekuasaan yang sangat nyata. Khususnya di dalam bab akhir: kepicikan dan kebengisan Jepang, dikisahkan Pram secara gamblang.
Tentu saja, dari sisi penceritaan novel, Perburuan akan lebih berhasil sebagai novel patriotik, heroik, bila melukiskan suasana dan kisah perlawanan bawah tanah – ketimbang menyuguhkan dialog-dialog panjang-lebar – antara seorang kere setengah telanjang dengan beberapa orang karibnya. Proklamasi itu juga akan lebih terasa hidup lewat berbagai peristiwa, daripada merenungkannya dari kesedihan Hardo yang kehilangan kekasihnya.
Tapi novel Perburuan memang bukan novel aksi, melainkan sebuah kisah kontemplatif, dengan dialog-dialog panjang bahkan bertele-tele sebagai bahan. Namun, dengan kekurangan ini, Pram tetap berhasil memperlihatkan – bahwa menulis sebuah karya sastra – adalah memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan, serta mencoba memahaminya melalui pengalaman eksistensial para tokoh cerita.
Novel pun jadi sebuah evokasi, pencitraan kenyataan Indonesia atau ke-Indonesiaan, yang coba dikonkretkan melalui teks sastra. Dengan sengaja menghadirkan sebuah momen kritis – penegakan sebuah bangsa melawan kolonialisme, pengedepanan nilai-nilai kemerdekaan, kebebasan – berhadapan dengan penjajahan oleh bangsa lain.
Pram tampak juga mengidentifikasikan dirinya, atau memperlihatkan idealisasinya tentang figur manusia Indonesia melalui tokoh Hardo. Menggarisbawahi kenyataan, bahwa sastrawan tak pernah lepas dari ikatan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme, sekalipun ia mencoba menafikannya.
Dengan cara lain, penyosokan kebangsaan ini terlihat juga dari kepenyairan Sutardji Calzoum Bachri (SCB), yang menerjemahkan kebangsaan dengan menghidupkan inspirasi budaya lokal, mantra, sebagai medan eksplorasi kepenyairannya. Dalam mantra itu, kata-kata bisa hadir sebagai imaji pembentuk suasana magis dan surealis, yang meluluhkan pikiran ke dalam kabut ketidakpahaman.
Tapi meski kata-kata di dalam mantra sering tampak tanpa makna, tapi kata-kata itu memiliki kekuatan memukau yang luar biasa. Dunia mantra sepenuhnya tidak rasional. Sebagai ragam tutur estetik, mantra memiliki logika sendirinya. Mantra dicipta dengan tujuan memengaruhi bukan saja jiwa manusia, tetapi juga hewan, tetumbuhan, bahkan makhluk-makhluk halus yang dipercaya bertebaran di sekeliling kita (Abdul Hadi WM, 2007).
Ini menjelaskan, karya seni mempunyai kaitan erat dengan konteks ruang dan waktu, nilai-nilai sosial dan pemikiran yang hidup di tengah masyarakatnya. SCB muncul setelah lebih dari 20 tahun wafatnya Chairil Anwar. Dengan kredo kembali ke mantra, SCB tampak melakukan antitesa terhadap kepenyairan (dan cara berbahasa) Chairil. Secara keseluruhan, SCB telah meneguhkan perlunya pengembangan bahasa puisi – bagi seorang penyair – sebagai anak bangsa.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 9 November 2008
No comments:
Post a Comment