-- Ahmad Sahidah
KETIKA penulis buku ini memulai penelitian pada 1996, dia tidak menyadari betapa berpengaruhnya militer Indonesia dalam memproduksi dan membentuk ortodoksi sejarah Orde Baru.
/ Kompas Images
Selain itu, penulis juga menceritakan bagaimana proses yang harus dilalui untuk melakukan penelitian di Indonesia, karena ketika penelitian ini digagas, Indonesia masih di bawah kekuasaan militer Orde Baru.
Perlu tujuh bulan untuk mendapatkan izin. Di halaman prakata, kita akan menemukan cerita betapa rumitnya birokrasi pada masa itu.
Peran Nugroho Notosusanto
Sebenarnya penelitian tentang kiprah militer di Indonesia bukan hal baru. Namun, karya ini memberikan perspektif baru tentang tafsir terhadap upaya manipulasi militer terhadap sejarah untuk kepentingannya dan yang mungkin agak mengejutkan adalah uraian penulis tentang seorang tokoh di balik propaganda ini, yaitu Nugroho Notosusanto.
Seperti telah diketahui bersama, militer Indonesia selalu mendaku sebagai unik. Ini disebabkan, pertama, rakyat Indonesia yang menciptakan militer di dalam perjuangan kemerdekaan 1945-1949 melawan Belanda dan, kedua, selama perlawanan ini militer mengasumsikan sebagai lapisan kepemimpinan nasional setelah penangkapan pemimpin sipil pada tahun 1948.
Atas dasar dua klaim ini, militer Indonesia dalam waktu lama memperoleh justifikasi untuk memainkan peranan dwifungsi dalam pertahanan dan politik. Pendek kata, legitimasi sejarah telah digunakan oleh militer Indonesia untuk mempertahankan hak-haknya dalam kekuasaan politik dan pengaruhnya di Indonesia.
Lalu bagaimana peranan di atas diwujudkan dan untuk apa ia dipertahankan? Untuk mengetahui hal ini, penulis melakukan survei terhadap beberapa publikasi sejarah resmi (huruf miring dari peresensi) dan tempat-tempat bersejarah seperti buku teks Sejarah Nasional, Museum Sejarah Monumen Nasional, dan Museum Angkatan Bersenjata Satria Mandala, serta satu nama yang sering dia temukan, yaitu Nugroho Notosusanto. Bahkan, nama yang disebut terakhir menempati posisi yang sangat penting dalam rekonstruksi sejarah masa lalu. Tokoh yang pernah menjadi Menteri Pendidikan ini adalah pengarang versi pertama dari kudeta 1965. Peranan sangat penting dalam pembuatan sejarah Orde Baru yang bahkan diperluas ke dalam proyek pembuatan film dan materi sejarah untuk pendidikan militer dan sipil.
Atas pertimbangan posisi sentral Nugroho Notosusanto, penulis mencoba menceritakan bagaimana dan mengapa Nugroho bekerja untuk militer Indonesia di dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata.
Menurut penulis, ia adalah propagandis utama Orde Baru. Atas dasar asumsi ini, beliau berusaha keras untuk menelisik riwayat hidupnya dari sahabat, rekan, dan musuhnya sehingga dimungkinkan perolehan data yang lengkap.
Untuk menjawab posisinya sebagai seorang sejarawan yang menguji motivasi dan kisah kehidupan sejarawan lain (baca Nugroho Notosusanto), penulis menegaskan bahwa ketertarikannya terletak pada usaha untuk menemukan bagaimana sebuah rezim menggunakan sejarah sebagai legitimasi dan bagaimana ia dimanipulasi untuk menyesuaikan dengan kepentingan dari beberapa kelompok yang berbeda.
Lebih jauh, buku ini juga memasukkan analisis terhadap proyek sejarah yang ditujukan pada sipil dan militer, dengan penekanan pada museum dan monumen yang diciptakan oleh militer. Setelah disurvei, ditemukan bahwa museum diorama (model gambar) menarik perhatian imajinasi penulis. Baginya diorama ini adalah teatrikal masa lalu. Bahkan, boleh dikatakan ini adalah ”karya” nyata untuk memahami bagaimana militer merepresentasikan masa lalu.
Pemilihan model sejarah visual ini sengaja dipilih oleh Nugroho Notosusanto karena sebagaimana dia ungkapkan bahwa di dalam sebuah masyarakat seperti Indonesia yang masih berkembang, di mana kebiasaan membaca masih rendah, kami [kepemimpinan militer] memercayai visualisasi sejarah tetap sebagai cara efektif untuk mengungkapkan identitas ABRI (hal 11). Keadaan sekarang tampaknya belum banyak berubah. Masyarakat kita masih lebih bisa menikmati ”sajian” visual, terutama televisi. Untungnya, media elektronik tidak lagi dikekang dalam menyampaikan berita dan laporan.
Merujuk kepada pendapat Barry Schwartz bahwa kajian terhadap representasi masa lalu tidak bisa dikonstruksi secara harfiah, ia dieksploitasi secara selektif, karya sarjana Australia ini berusaha untuk menampilkan seluruh ”sejarah” dan turunannya untuk memosisikan militer sebagai aktor, yang dalam bahasa Asvi Warman Adam, merekayasa peristiwa masa lalu dalam perspektif militerisme.
Lebih jauh dengan mengutip Graeme Turner, penulis menegaskan bahwa representasi di sini adalah sebuah mediasi diskursif yang terjadi antara peristiwa dan kebudayaan yang memberikan sumbangan terhadap konstruksi ideologi nasional. kegunaannya bukan pada sebagai sebuah refleksi atau refraksi masa lalu, tetapi sebagai sebuah konstruksi masa kini. Jadi, penggambaran peristiwa ”G 30 S PKI” telah dijadikan ”alat” untuk mengukuhkan legitimasi rezim.
Militer sepintas telah berhasil menciptakan citra tentang dirinya sebagai tentara rakyat yang berani berkorban, sebagai penjaga semangat kemerdekaan, dan pelindung Pancasila. Namun, tegas penulis, semua ini adalah sebuah representasi yang hipokrit karena dalam kenyataannya militer mempraktikkan kekerasan selama berkuasa (hal 216).
Namun, citra ini terus dibangun, baik di kalangan militer maupun sipil. Sayangnya, meskipun mereka berhasil menumpas ”pembangkang” melalui kekuatan senjata, mereka gagal mengontrol pikiran rakyat Indonesia itu sendiri.
Bias jender
Hal lain yang mungkin memantik kritik adalah representasi sejarah yang bias jender. Penjelasan versi militer tentang perjuangan kemerdekaan cenderung menonjolkan versi maskulin. Hanya pejuang kemerdekaan yang mengangkat senjata yang mendapat tempat dalam sejarah mereka. Sementara sumbangan kaum perempuan dan nonkombatan terpinggirkan. Celakanya, justru citra perempuan muncul dominan pada peran mereka dalam pemberontakan komunis.
Meskipun militer mempunyai kekuasaan yang hampir tak terbatas pada masa itu, tidak berarti sepi dari kritik dan bahkan penolakan dominasi mereka yang menindas. Edward Espinal mencatat bahwa di dalam protes Malari 1974, mahasiswa menuntut pengurangan peran politik militer di dalam pemerintahan dan penghapusan Kopkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban).
Penolakan makin menguat ketika pada tahun 1980 mahasiswa secara simbolik membakar sepatu khas militer di beberapa kampus. Malangnya, kekuatan mahasiswa yang belum meluas, sebagaimana tahun 1988, mudah ditumpas.
Akhirnya, salah satu pesan yang paling jelas dan diketahui umum adalah bahwa kajian terhadap historiografi Orde Baru yang diproduksi militer adalah bahwa ketika satu versi tunggal tentang masa lalu yang diperkenankan, sejarah bisa menjadi bagian dari sistem ideologi otoritarianisme.
Meskipun, kata penulis, pada masa itu ada sebuah representasi yang mungkin bisa menjadi potensi counter terhadap sejarah resmi, yaitu karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Munculnya pluralisme penafsiran ini memberikan tantangan besar bagi Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, yang memandang dirinya sebagai penafsir resmi masa lalu Indonesia.
Sejatinya, karya ini menambah terang sejarah tentara yang telah berhasil ”mengubah” realitas menjadi cerita untuk mengukuhkan peran dan kekuasaannya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Paling tidak, ia menjadi catatan yang berharga bagi semua anggota TNI sekarang untuk tidak lagi mengulang kesalahannya memasuki wilayah yang bukan otoritasnya.
Selain itu, penulisan sejarah Indonesia tidak lagi dikangkangi oleh kepentingan kekuasaan dan diserahkan kepada pakar sejarah dan disiplin lain yang berkaitan yang mempunyai komitmen untuk menjelaskan masa lalu secara lebih obyektif, seimbang, dan adil. Semoga.
* Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Ilmu Humaniora dan Graduate Research Assistant di Universitas Sains Malaysia
Sumber: Kompas, Minggu, 9 November 2008
No comments:
Post a Comment