Sunday, November 30, 2008

Butet Berpikir, Tuhan Tertawa

-- Triyanto Triwikromo

APA saja yang bisa membuat Tuhan tertawa? Saat melihat manusia melucu, mencoreng-coreng wajah dengan riasan badut paling heboh, atau menumpahkan celotehan sarat humor? Jawaban semacam itu mungkin benar, tetapi menurut pendapat novelis Milan Kundera, ternyata Tuhan tertawa karena manusia berpikir.

KOMPAS/PRIYOMBODO / Kompas Images

Dalam pepatah Yahudi, fenomena semacam itu muncul dalam ungkapan, ”manusia berpikir, maka Tuhan tertawa”. Persoalan menjadi lebih tidak keruan ketika ”sang manusia” yang berpikir itu adalah Butet Kartaredjasa yang lebih dikenal sebagai pemain teater yang kerap melakonkan naskah-naskah teater, film, atau monolog lucu.

Tuhan akan tertawa terpingkal-pingkal karena pikiran-pikiran Butet tidak hadir dalam format biasa, linear, atau patuh pada logika-logika umum. Tuhan atau manusia lain sebagai citra Allah bisa jadi sakit perut karena geli mendapatkan formulasi pikiran-pikiran Butet yang tidak bersandar pada hukum-hukum berpikir yang ”baik dan benar”.

Tidak linear

Lewat tokoh Celathu—alter ego sang pengarang—Butet memang berkesan merespons segala peristiwa sosial, politik, ekonomi, budaya, dan kadang-kadang kemiliteran yang ”bermain” selama satu tahun (mulai September 2007-September 2008). Karena harus menulis dalam bentuk kolom, aktor Teater Gandrik ini memang dipaksa menuangkan gagasan, kritik, atau sekadar celometan dalam nuansa ”esai dan cerita”.

Karena itu, pikiran-pikiran Butet—yang sebelum jadi buku telah dimuat di harian Suara Merdeka—ini cenderung mengikuti hukum esai yang subyektif dan aturan cerita yang beralur, berplot, berkarakter, berkonflik, dan tidak jarang melodramatis.

Dengan kata lain, selain bisa mengunduh kelucuan ala Butet, dengan membaca buku yang diperkaya oleh karikatur-karikatur ekspresif Dwi Koendoro ini, kita juga mendapatkan strategi berpikir model manusia yang tidak merespons segala sesuatu dengan cara-cara biasa dan linear.

Kita tidak sekadar menikmati kisah-kisah pemberontakan Celathu terhadap kehidupan yang tertib—termasuk berkorupsi secara cermat dan tidak terendus publik—tetapi juga memperoleh ”pemberontakan pikiran” yang terkadang dekonstruktif dan subversif.

Mengapa demikian? Sebab, pikiran-pikiran Celathu memang muncul secara spontan, seperti kilat, menusuk tanpa diminta, serampangan, dan lepas konteks. Karena itu, sebelum membaca buku ini, Butet perlu memberikan semacam rambu-rambu pemaknaan. ”Yang bukan orang Jawa memang tidak familier dengan kata ini. Kurang lebihnya celathu artinya ’berujar’ atau ’menyahut’, atau ’nyeletuk’, atau menyambar omongan... karakter Mas Celathu tak terlalu jauh dari makna kata itu sendiri” (halaman vii).

Pasemon

Butet dalam buku yang didesain oleh Ong Hari Wahyu ini memang menceletuki peristiwa, bukan mengomentari ucapan pejabat, bintang film, atau para pembuat berita dan cerita di negeri ini.

Dengan menceletuki peristiwa, ia memang lebih bebas menyeret segala persoalan nyata dan berbahaya secara politis ke rumah tangga Mas Celathu yang lebih dikenal sebagai Republik Celathu (hal 77) dan tidak jatuh sebagai teks yang memfitnah presiden, pejabat publik, atau orang lain.

Dalam ”Presiden Semu”—salah satu dari 54 kolom yang dipajang—ketika tokoh Celathu diprotes akibat memiliki keinginan menjadi presiden seumur hidup, Butet dengan enteng menulis, ”... ini kan Republik Celathu, jadi sistem dan aturannya bisa dibuat sesuka kita. Yah, minimal dimirip-miripkan dengan negara.”

Bagaimana cara Butet memformulasikan pikiran? Ada beberapa strategi yang ditempuh oleh pengarang. Pertama, dia menggunakan pasemon. Pasemon, paling tidak menurut pendapat Goenawan Mohamad, dalam bahasa Inggris bisa diterjemahkan sebagai allusion, tetapi ia bukanlah sekadar muslihat atau device, tertentu dalam tata komunikasi. Ia lebih menjinjing nuansa permainan, sindiran, dan sesuatu atau peristiwa yang ”bukan sebenarnya”.

Karena itu, ketika ingin menyindir kegagalan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla mewujudkan slogan ”Bersama Kita Bisa”, misalnya, dia cukup menulis ”Raja Godhong”. Dalam kolom berkisah tentang pengangguran itu, Butet bilang, ”Sejak kemarin-kemarin dia pun sudah tahu bahwa bersama para pemimpin, kita memang selalu bisa. Bisa menganggur maksudnya...” (hal 39).

Dalam teks ini juga pengarang menyindir penggunaan istilah ”raja” dan ”ratu” yang tidak proporsional. Termasuk penggunaan istilah ”ratu ekstasi”, ”ratu mesum”, ”raja poligami”, dan ”raja godhong” (sebagai kritik atas demam anturium atau jemmani purba) (hal 43).

Dengan menggunakan strategi pasemon, Butet memang kemudian harus memakai ilmu negasi untuk menyindir perilaku korup. Itulah sebabnya, jangan heran jika dalam ”Ilmu Kosokbalen” (Ilmu Negasi), ia menulis, ”Bukankah sekarang ini tak sedikit para peneguh iman berpredikat juru dakwah begitu bangga dengan masa lalunya yang kelam. Merampok dulu, berdakwah kemudian. Jadi koruptor sekarang, memberantas korupsi belakangan” (hal 28).

Cara kedua yang ditempuh Butet adalah dengan mendekonstruksi makna. Dalam ”Namanya Celathu”, misalnya, ia mempertanyakan makna kemerdekaan. Dalam teks yang tragis-komis tentang lomba makan kerupuk dan panjat pinang pada setiap selebrasi 17 Agustus itu, ia menyatakan, ”pemimpin yang dipercaya sebagai nakhoda bangsa ini masih konsisten menyelenggarakan kemiskinan rakyatnya” (hal 4).

Dengan menggunakan strategi berpikir (dan kadang-kadang melucu) semacam itu, Butet akhirnya memang mengajak pembaca untuk hidup secara demokratis dan bertoleransi (dengan senantiasa memberikan ruang bicara bagi Mbakyu Celathu—istri—Jeng Genit, Mbak Tomboy, dan Sang Pembarep—anak-anaknya) dan tidak menganggap diri sebagai sosok super.

Celathu—dalam desain Butet—adalah sosok yang daif, karakter yang masih membutuhkan pertolongan, kekuatan, bahkan tertawaan dan ledekan orang lain. Celathu adalah pelaku ”etika kedaifan”, sesuatu yang jarang diidamkan oleh orang lain yang lebih memilih hidup sebagai pribadi yang arogan, menang sendiri, dan rakus menelan hak sesama.

Di luar editing yang sedikit kurang cermat (antara lain cenderung menggunakan kata ”dimana” bukan ”di mana”), buku yang mengusung ”pikiran” Butet ini memang bermanfaat bagi kita untuk merespons segala sesuatu dengan mata hati dan mata pikir yang tak lazim. Sekali lagi, ini bukan buku tentang humor. Ini buku tentang bagaimana manusia memancing tawa Tuhan dengan berpikir tak linear.

(Triyanto Triwikromo, Sastrawan dan Direktur Program Anugerah Sastra Pena Kencana, Tinggal di Semarang)

Sumber: Kompas, Minggu, 30 November 2008

No comments: