-- Yopie Setia Umbara*
PALING tidak terdapat empat hal yang menggejala kuat muncul dalam sejumlah karya sastra Indonesia mutakhir. Pertama, pencarian identitas dalam kerumitan tarik-menarik antara pergulatan pribadi melawan pandangan kolektif. Kedua, upaya mencerna kembali aneka rupa trauma, mulai dari suksesi kekuasaan di masa lampau, bencana politis-kolonial, tragedi PKI, hingga bencana alam. Ketiga, fiksi yang memadukan unsur tradisional dengan gaya hidup kosmopolitan. Dan keempat yang juga terasa kuat dalam karya sastra Indonesia akhir-akhir ini adalah keprihatinan empatik atas nasib korban-korban bencana alam.
Dari keempat gejala tersebut tampak manusia Indonesia dihadirkan sebagai manusia yang terjepit di antara berbagai dinding tembok. Dinding tembok agama yang keras dan masif, dinding modernitas yang transparan dan merangsang penasaran, serta dinding tradisi yang kian keropos, kian tak dimengerti, namun memesona. Di sisi lain, sehubungan dengan masa depannya, orang Indonesia membutuhkan sejenis gerak ke belakang, menggapai sejarah autentik dan pengalaman traumatik di masa lalu. Sayangnya, tidak mudah juga untuk memahaminya.
Demikian pandangan Prof. Dr. Bambang Sugiharto ketika tampil bersama Prof. Jakob Sumarjo dalam seminar Temu Sastra Mitra Praja Utama (MPU) III Tahun 2008 di Lembang, 5 November 2008. Temu Sastra MPU III Tahun 2008 merupakan forum pertemuan sastrawan dari sepuluh propinsi anggota MPU, yakni Lampung, Banten, DKI, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Bali, NTB (tidak hadir), dan NTT.
Dari pengalamannya menjadi juri pada lomba novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2006, Bambang Sugiharto memandang bahwa dalam dunia modern (postmodern) manusia Indonesia menunjukkan keinginan untuk memahami segala gelagat kosmopolitan hightech dari intuisi purba perspektif magis atau memintalnya dengan suasana perilaku perdesaan terpencil, yang kemudian merasuki dunia penulisan di Indonesia.
"Percampuran-percampuran itu menghasilkan suasana surealis, disengaja ataupun tidak. Namun, kelemahan bentuk surealis adalah cenderung terperangkap dalam dunia sendiri yang `autistik` dan `ideosinkretik` sehingga tak jelas menyimbolkan atau merujuk realitas dan persoalan mana dalam kenyataan konkretnya. Akan tetapi, antusiasme penulisan dan sastra mampu menunjukkan dilema-dilema penting serta menyingkap pelarian-pelarian individu di dalam kerumitan jaringan tekanan berbagai struktur kekuasaan mutakhir," ujar Bambang.
Sementara itu, Prof. Jakob Sumarjo yang mengurai fungsi dan makna pantun dalam budaya masyarakat Sunda menyebutkan, sebagai salah satu ekspresi budaya masyarakat Sunda, pantun mengandung sistem pengetahuan, cara berpikir, dan pandangan dunia masyarakatnya. Alam pikiran masyarakat Sunda dapat ditafsirkan melalui cerita pantun, sekurang-kurangnya masyarakat Sunda di masa lampau. "Alam pikiran semacam itu tidak hanya dalam pantun, tapi terdapat pula pada tingkah laku sosial masyarakat, dan benda-benda budaya yang dihasilkan, seperti pengaturan sosial, pengaturan negara, pengaturan ruang rumah, atau peralatannya," ujarnya.
Dalam perkembangannya, pantun Sunda terdapat di hampir seluruh Jawa Barat. Tentunya, di setiap daerah memiliki perbedaan gaya penuturan. Seperti pantun Priangan, pantun Sukabumi, pantun Bogor, pantun Kuningan, dan lain-lain. Sementara di daerah Priangan unsur Islam dalam pantun lebih menonjol dibandingkan dengan Sukabumi.
Isi cerita pantun selalu berkisah mengenai heroisme pahlawan di zaman kejayaan Kerajaan Galuh dan Pajajaran, terutama Prabu Siliwangi. Tokoh-tokoh pantun merupakan bagian mitologi Sunda lama yang dipercayai kebenaran adanya. Namun, nilai historis pantun bukan pada jalan ceritanya, tetapi alam pikiran kolektif yang kemudian dapat ditafsirkan. "Penafsiran itu sendiri membutuhkan pengetahuan ilmu-ilmu agama Hindu-Buddha-Sunda, antropologi Sunda, arkeologi Sunda, sosiologi Sunda, sejarah Sunda, filsafat agama, dan dengan sendirinya ilmu sastra dan ilmu musik Sunda," tutur Jakob.
Prof. Jakob Sumardjo juga menyampaikan ihwal data pantun tertua yang terdapat dalam naskah Siksa Kandang Karesian, yang ditulis sekitar tahun 1518. Dalam kitab tersebut disebut lakon pantun Siliwangi. Jika pantun Siliwangi sudah ada pada 1518, dapat diperkirakan pantun Sunda sudah berkembang sejak abad ke-14 atau ke-15. Pantun-pantun Sunda diduga berasal dari lingkungan istana, mengingat semua mitos pantun berisi kisah-kisah raja dan pahlawan pantun Pajajaran dan Galuh.
Meski setelah kerajaan-kerajaan Hindu lenyap, menurut Jakob, cerita pantun tetap digemari masyarakat yang memeluk agama Islam, dan tersebar di kalangan masyarakat perdesaan dengan mengalami sedikit perubahan sesuai tuntutan kaidah-kaidah normatifnya.
Baik Prof. Jakob Sumardjo maupun Prof. Dr. Bambang Sugiharto, dalam uraian keduanya mencoba menyingkap bagaimana manusia dalam perkembangan peradaban tidak dapat terlepas dari lingkungan, situasi sosial polik, dan kekuasaan yang melingkupinya. Dua bentuk sastra, pantun Sunda dan karya sastra mutakhir, merupakan sebuah cara yang mampu merepresentasikan manusia, dengan harapan dan persoalan-persoalannya yang tidak saja bersifat personal, tapi juga kolektif.
Selain Prof. Jakob Sumarjo dan Prof. Dr. Bambang Sugiharto, Temu Sastra MPU III Tahun 2008 yang berlangsung 4-6 November 2008 ini juga menghadirkan pembicara Dr. Maman S.Mahayana, Dr. Safrina Noorman yang mengurai jejak alam dan manusia Indonesia dalam karya sastra. Juga tampil Beni Setia, Trianto Triwikromo, Warih Wisatsana, dan Irfan Hidayatullah. Temu Sastra MPU III Tahun 2008 ini ditutup dengan rekomendasi pelaksaan Temu Sastra MPU yang semula berlangsung dua tahun sekali, mulai 2009 berubah menjadi setahun sekali. Provinsi Jawa Tengah pun ditunjuk sebagai tuan rumah Temu Sastra MPU IV Tahun 2009 mendatang.
* Yopie Setia Umbara, Penyair
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 15 November 2008
No comments:
Post a Comment