-- Theresia Purbandini
BABAK baru dalam perkembangan kesenian di Indonesia dirintis sejak berdirinya Taman Ismail Marzuki (TIM) yang merupakan sebuah institusi kebudayaan yang berlokasi di Jalan Cikini Raya 73, Jakarta Pusat. Sejak 1968, secara resmi taman itu disahkan Ali Sadikin. Pementasan drama, pagelaran orkes simfoni, pertunjukan tari, pantomim, pameran lukisan hingga pusat dokumentasi sastra milik HB Jassin, serta diskusi kesenian ikut menyemarakkan arena tersebut.
Penamaan Taman Ismail Marzuki diambil untuk menghormati jasa Ismail Marzuki (1914 – 1957) yang merupakan seorang komponis pejuang kelahiran Betawi (Jakarta), yang telah menciptakan lebih dari 200 lagu, di antaranya lagu-lagu perjuangan bangsa yang hingga kini masih sering diperdengarkan. Antara lain, lagu Halo-Halo Bandung, Berkibarlah Benderaku, Nyiur Melambai, Sepasang Mata Bola.
Dan bertepatan dengan pada Hari Pahlawan yang jatuh pada tanggal 10 November, Taman Ismail Marzuki yang lebih populer disebut TIM menjadi saksi kelahiran seniman-seniman seperti Rendra, Putu Wijaya, Ratna Madjid bahkan Joko Pekik, seniman yang dikenal dengan Pelukis 1 Miliar yang akhirnya mendapat kesempatan mengelilingi Amerika karena memajang lukisannya di TIM.
TIM memfasilitasi para seniman untuk memanggungkan karya-karya mereka, di antaranya di Graha Bhakti Budaya, TIM. Sebuah gedung pertunjukan besar yang sering dimanfaatkan untuk pertunjukan konser musik, teater tradisional maupun modern, tari, dll. Selain itu adapula Galeri Cipta II (GC II) yang merupakan ruang pameran yang lebih besar dari Galeri Cipta III (GC III). Kedua ruang tersebut dapat dipergunakan untuk pameran seni lukis, seni patung, diskusi dan seminar, dan pemutaran film pendek. Gedung ini dapat memuat sekitar 80 lukisan dan 20 patung.
Sedangkan Teater Kecil (Teater Studio) yang mampu menampung 200 orang ini memilki fungsi sebagai arena pembacaan puisi, pertunjukan musik dan teater. Selain itu disediakan pula Teater Halaman (studio pertunjukan seni) yang merupakan wadah eksperimen seniman muda teater dan puisi.
Bagi Suka Hardjana, seorang pengagas program Pekan Komponis pada awal masa berdirinya TIM dianggap sebagai momen yang sakral saat itu. “Pada masa itu, saya bersama teman-teman mencetuskan ide program yang belum pernah ada sebelumnya sehingga benar-benar dikenang hingga kini,” kenang peniup clarinet ini.
Stagnasi Sejak 1980-an
TIM sebagai sebuah institusi juga dianggapnya merupakan sarana yang baik bagi para seniman untuk mengekspresikan hasil karyanya. “TIM lahir karena adanya seniman, bukan karena sebuah institusi kebudayaan ini lantas seniman itu ada. Seorang seniman saya yakin dapat berdiri sendiri dengan eksistensinya asal tetap kreatif. Dulu awalnya TIM memang menjadi tempat berkumpul para seniman, tetapi sejak tahun 1980 menuju ke 1990-an mulai mengalami stagnansi hingga sekarang,” ungkapnya.
Diakui juga oleh Martin Aleida seorang sastrawan yang juga mantan wartawan, “TIM sekarang sudah tidak semaju dulu." Bahkan program demi program yang seharusnya menjadi agenda tetap Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) gagal dilaksanakan. Martin menganggap, pengurus Dewan Kesenian Jakarta yang sekarang lalai mengurusi tugas yang diembannya. “Publik banyak terkecoh dengan baliho-baliho yang ada. Sebenarnya yang banyak membuat program malah Pusat Kesenian itu sendiri,” ujarnya.
Bahkan menurut Martin, walaupun pada masa jabatan Ratna (pengurus Dewan Kesenian Jakarta sebelumnya), lebih menuai kontroversi, tapi terasa lebih dinamis dan terbuka bila dibandingkan dengan yang sekarang di bawah kepengurusan Marco. “Kesalahan yang dilakukan Ratna pada masa itu karena dia tidak mengerti prosedur yang seharusnya dia lakukan, tetapi niatnya untuk memindahkan lukisan ke dalam ruangan ber-AC harus kita hargai meskipun caranya salah dengan membawa lukisan-lukisan tersebut ke rumahnya,” ungkapnya.
Tidak Semata Dana
Secara transparan pula, Martin menggambarkan bahwa kendala tidak terpentok semata pada dana seperti yang dikira banyak pihak. “Sejumlah tiga hingga empat miliar rupiah dana dari pemerintah disalurkan untuk DKJ, bahkan terkesan lebih melayani komunitas kesenian tertentu, sementara masih banyak kantong-kantong kesenian lainnya yang layak diperhatikan juga.”
Nada protes juga disampaikan Suka Hardjana yang pernah membentuk Grup Musik Klasik Seruling hingga pada 1985. “Seharusnya pihak pengelola tidak cepat merasa puas dan tidak hanya melihatnya dari segi pemerintah. Senimanlah yang berjasa kepada TIM, bukan justru sebaliknya. Maka seharusnya pihak manajemen dapat kembali merangkul seniman untuk terus berkarya di sana. Jika tidak sebuah institusi kebudayaan tidak akan menjalankan fungsinya karena hanya sebagai benda mati,” paparnya.
Ia juga senada dengan Martin, untuk kehidupan kesenian yang lebih baik lagi di masa depan, TIM nampaknya harus segera dibenahi dengan menyelenggarakan kegiatan yang lebih terarah demi pertumbuhan kesenian yang jelas.
Tahun berganti tahun, perkembangan tekonologi pun semakin canggih. Bahkan perkembangan musik di luar TIM sendiri telah lebih hebat lagi prestasinya. Seperti Slank yang diundang keliling Amerika secara independen memperlihatkan bahwa begitu besar bakat-bakat muda yang makin terasah tak hanya bergantung dari sebuah institusi kebudayaan semata.
TIM secara insidental hanya sebagai sebuah institusi kebudayaan tanpa seniman di dalamnya. “Harusnya kita para seniman banyak diajak untuk bertukar pikiran, berdiskusi atau diundang ke dalam pertunjukan-pertunjukannya agar senantiasa terjalin hubungan dua arah antar seniman dan institusinya,” tambah Suka.
Maka, menurut Suka lagi, dibutuhkanlah strategi untuk memperkuat posisi sebuah pusat kesenian yang sehat dan produktif. “Tidak harus menyajikan sesuatu yang aktraktif, tapi setidaknya membuka alternatif terhadap gagasan yang baru,” kata pria yang pernah menimba ilmu musik di Akademi Musik Detmold, Jerman ini.
Sumber: Jurnal Nasional, Minggu, 30 November 2008
No comments:
Post a Comment