Saturday, November 01, 2008

Degung di Amerika

-- Nano S.*

KETIKA saya mendapat undangan dari beberapa universitas di Amerika dan Kanada untuk mengajar gamelan (dari awal Maret hingga akhir Mei 2008), maka yang terpikir harus dipersiapkan adalah lagu atau gending dalam gamelan pelog atau salendro. Tetapi ketika kontak terus berlangsung, dalam rangka persiapan untuk kegiatan itu, mulailah terbuka, bahwa selain mempersiapkan lagu-lagu dalam gamelan pelog salendro, baik untuk lagu tradisi atau komposisi baru, mereka juga meminta untuk diajarkan lagu-lagu dalam gamelan degung. Sejenak agak kaget juga, karena setahu saya hanya di Universitas Santa Cruz California yang mempunyai gamelan degung. Lebih kaget lagi, selain mempersiapkan lagu- lagu degung klasik, mereka juga meminta diajarkan lagu-lagu degung perkembangan, bukan saja untuk perbendaharaan lagu bagi para mahasiswa, tetapi juga untuk dipertunjukkan.

Tentu bukan masalah untuk menyiapkan lagu degung, karena buku tentang lagu degung klasik, yang disusun oleh Juju Sa`in atau Encar Carmedi, sudah lama ada. Tetapi untuk mempersiapakan lagu-lagu degung perkembangan, saya sendiri cukup repot menulis notasinya, karena belum ada bukunya. Kalaupun satu dua saya pernah mencipta untuk lagu degung perkembangan, saya sendiri jarang menulis notasinya, atau lupa menyimpannya, terutama kreasi tabuh gendingnya.

Sesuai dengan jadwal, awal Maret 2008 saya datang ke Amerika. Pertama ke Bates College di Maine Portland. Di sana ada Gina Fatone yang mengajar gamelan. Saya kenal Gina waktu dia masih menjadi mahasiswa Santa Cruz California pada 1990. Dia pemain gamelan yang baik, dan pernah datang ke Bandung untuk mempelajari karawitan Sunda. Di sini saya mengajar dan mempersiapkan materi untuk pertunjukan, antara lain komposisi baru dalam gamelan salendro, iringan tari, dan degung. Selama dua minggu, mereka benar-benar berlatih dengan tekun, dan hasilnya pun mendapat sambutan yang baik dari penonton.

Dari Bates College, pindah ke Emory University di Atlanta. Yang menjadi pembimbing gamelan Soon Tong Lee asal Singapura, yang sudah menjadi warga negara di sana. Di Emory University hanya sekitar 10 hari saja. Yang diajarkan dan dipertunjukkan hanya gamelan degung. Di sini yang ingin belajar degung bukan saja mahasiswa, tapi juga dosen-dosen dari jurusan musik. Dalam pertunjukannya, bukan saja membawakan lagu klasik degung dan lagu-lagu perkembangannya, tetapi juga sekaligus selamatan pemberian nama gamelan degung yang baru mereka miliki. Soon Tong Lee pernah datang ke Indonesia, dan belajar gamelan Jawa. Untuk gamelan Sunda dan degung, dia sama sekali belum pernah mempelajarinya. Bagaimana dia mengajar degung, cukup dengan mendengarkan rekaman (CD) tentang lagu- lagu degung, baik yang klasik atau perkembangannya. Dalam pergelaran itu, sebelum acara diadakan semacam prosesi seni, untuk pemberian nama gamelan degung, dengan rajah pantun, lagu, dan puisi. Nama gamelan baru itu, saya beri nama "Nyi Mandala Sari".

Dari Atlanta, menuju Kenyon University di Ohio. Di sini ada Maria Mendoza yang mengajarnya. Dia pernah datang ke Bandung, dan belajar karawitan Sunda di Jugala Grup. Seperti halnya dari daerah lain, di sini pun mereka baru mengenal gamelan degung. Mereka sangat menyenanginya, dan ketika mengadakan pergelaran mendapat sambutan yang baik pula. Sayang waktunya singkat sekali. Hanya satu minggu saja. Tetapi walau singkat, mereka umumnya sudah agak terampil, karena sebelum saya datang Maria telah melatihnya dengan baik. Seperti halnya di Atlanta, selain mengajar gamelan, di Kenyon University, saya pun harus masuk kelas, memberi apresiasi tentang karawitan Sunda. Untung waktu itu ada Rita Tila yang datang dari Bandung atas undangan dari Pittsburgh University, sehingga contoh lagu, bisa dilantunkan oleh Rita Tila yang serba bisa, walau hanya dengan iringan kacapi saja.

**

SESUAI jadwal, setelah dari Ohio, saya menuju Pittsburgh University, di mana ada Andrew Weintraub yang menjadi pembimbingnya. Andrew sudah sering datang ke Bandung. Dia pernah meneliti dan menulis tentang pantun Sunda. Kemudian untuk disertasinya, dia menulis tentang wayang golek di Jawa Barat. Power Play, bukunya yang baru terbit, mengungkap tentang perkembangan wayang golek yang mengambil contoh dari dalang- dalang terkenal di Jawa Barat, yang rekaman kasetnya tersebar luas di masyarakat. Andrew memang istimewa. Dia bisa main kendang dengan baik. Selain itu, dia mendirikan grup Dangdut Koboy. Dengan grup Dangdut Koboy-nya, dia pun piawai membawakan lagu-lagu pop Sunda.

Dari informasi Andrew itulah saya menjadi tahu, bahwa adanya gamelan degung baru di beberapa universitas di Amerika, tidak terlepas dari upayanya untuk mengenalkan karawitan Sunda kepada orang-orang Amerika. Dan gamelan degung yang baru itu merupakan pemberian dari seorang dermawan yang cinta musik tradisi, yaitu Tony Lydgate dari Hawaii. Gamelan degung itu kualitas barangnya bagus, terbuat dari bahan perunggu. Kalau dibanding dengan gamelan degung yang ada di Universitas Santa Cruz California yang katanya pemberian dari Pemkot Bandung beberapa tahun silam, gamelan degung yang baru ini, sangat baik sekali. Menurut Andrew Weintraub, Tony Lydgete menghibahkan enam perangkat degung untuk beberapa universitas di Amerika, di antaranya di Bates College, Emory Atlanta, Kenyon Ohio, Davis California, Pittsburgh, dan satu lagi di Hawaii.

Andrew yang sudah "jatuh hati" pada kasenian Sunda, dengan sengaja menyebarkan gamelan degung kepada beberapa rekannya di beberapa universitas di Amerika, agar mereka mempelajari dan mengajarkan gamelan degung. Konon, katanya, untuk tahun ini Tony Lydgate akan menyumbangkan lagi perangkat gamelan degung kepada beberapa universitas di Amerika. Dengan gaya humor Sunda, Andrew berceloteh bahwa beberapa universitas yang biasanya mengajarkan gamelan pelog salendro ( terutama gamelan Jawa) akan didegungkeun!

**

MENGAPA degung yang dipilih? Dari pengalaman mengajar kesenian Sunda di luar negeri, dan dari pengakuan mereka yang mempelajarinya, dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain: Pertama, lagu degung terasa lebih spesifik Sunda. Kedua, laras dan melodinya enak didengar. Ketiga, lagu degung punya perbendaharaan instrumentalia, baik dalam bentuk klasik atau perkembangannya. Dan yang keempat, tidak terlalu banyak alat, dan mudah untuk berkolaborasi dengan alat musik lain. Hal lain, degung membawa suasana tenang dan rileks.

Apabila degung menjadi salah satu pilihan yang mereka pelajari, bukan berarti kesenian Sunda yang lainnya tidak menarik bagi mereka. Gamelan salendro atau kacapi suling misalnya, banyak pula diminati. Yang menjadi masalahnya adalah, degung lebih variatif dalam perbendaharaan lagu-lagunya, baik dalam bentuk instrumentalia, ataupun dalam nyanyiannya (vokal). Hal ini tersedia, baik dalam bentuk klasik atau kreasi barunya. Me lodi lagu yang dibawakan oleh suling, lebih mudah dipelajari dibandingkan dengan rebab.

Bahkan yang cukup menarik, mereka banyak yang mengenal dan menyenangi lagu-lagu degung, bukan beranjak dari lagu-lagu klasik/tradisinya, melainkan dari degung perkembangan, terutama dari instrumentalia degung yang digarap Ujang Suryana, dalam album instrumentalia Sabilulungan. Degung garapan Ujang Suryana, oleh kalangan tertentu kita, sering disebut degung totoleot, karena melodi sulingnya yang banyak nyenggakan melodi lagu pokok. Degung ini, termasuk degung instrumentalia terlaris di seluruh dunia!

Dari Pittsburgh, menuju Santa Cruz di California. Dibandingkan dengan universitas lain, di Santa Cruz keberadaan gamelan Sunda, sudah lama ada. Di sana ada Undang Sumarna, yang mengajar gamelan sejak 1974. Mahasiswa yang mengambil kuliah gamelan Sunda, cukup banyak. Ada sekitar 120 jumlahnya, yang datang dari berbagai jurusan. Banyak lulusan dari Santa Cruz, yang kemudian mengajar gamelan Sunda, di beberapa universitas di Amerika. Di sini ada Katy Foley, yang sejak tahun delapan puluhan telah mencapai gelar doktor dalam disertasinya mengenai wayang golek Sunda. Linda Burman Hall, yang menekuni gamelan Bali, tetapi senang sekali main gamelan Sunda. Karena begitu kuatnya Santa Cruz dalam mempelajari dan menyenangi kesenian Sunda, mereka sering menyebut sendiri, bahwa Santa Cruz itu, Kampung Sunda!

Dalam mengajar gamelan, baik degung atau pelog salendro, tidaklah mendapat kesulitan, karena mahasiswanya umumnya telah terbina dan terlatih baik oleh Undang Sumarna. Yang menjadi masalah adalah banyaknya mahasiswa yang belajar, dalam waktu yang terbatas. Untunglah Undang Sumarna punya cara lain untuk mengisi kekosongan ketika mereka bergiliran menabuh gamelan, dengan cara menyiapkan banyak alat kendang. Mereka yang tidak menabuh gamelan, bisa menabuh kendang untuk mengiringi lagu itu. Ada satu hal yang akhirnya tak terduga, bahwa dengan cara itu, banyak para mahasiswa yang belajar gamelan, akhirnya menjadi kendang minded!

Ketika mempersiapkan pertunjukan, acara rampak kendang menjadi acara yang menarik, karena pemain kendang pria dan wanita, jumlahnya sama banyaknya. Dalam acara rampak kendang, saya hanya tinggal mengarahkan teknik pukulan dan geraknya saja, karena cara mereka bermain sudah baik.

Gamelan degung di Santa Cruz telah ada sejak 1990. Gamelan itu pemberian dari Wali Kota Bandung, yang ketika itu dijabat Ateng Wahyudi. Sedangkan di Davis University Of California, di sana ada Henry Spiller yang mengajar gamelan degung, baru sekitar dua tahun yang lalu. Saya sendiri pernah menyempatkan datang untuk membantu pergelaran degung di tempat ini, ketika saya sedang berada di Santa Cruz.

Acara pentas yang dipersiapkan dalam gamelan degung di Santa Cruz, saya membuat komposisi baru dengan judul "Bubat!" Penabuhnya, terdiri dari dosen dan mahasiswa. Peniup sulingnya dibantu oleh Burhan, yang telah lama bermukim di San Jose. Dulu, Burhan pemain suling tembang Sunda yang terkenal, dan pernah bekerja di RRI Bandung.

Dibuatnya komposisi baru dalam acara pertunjukan, sesuai dengan permintaan dari mereka, karena lagu-lagu lain (klasik atau tradisi) sudah sering mereka mainkan. Hal ini tentunya bisa dimaklumi, karena selain untuk menarik minat mahasiswa dan penontonnya, juga bisa memberdayakan banyak pemain yang telah tersedia, sehingga banyak mahasiswa yang bisa mendukungnya. Selain saya membuat komposisi baru dalam gamelan pelog salendro, saya pun membuat komposisi baru dalam gamelan Bali, dengan judul Linda, singkatan dari Bali in Sunda! Saya merasa beruntung, karena kalau tidak ditantang seperti ini, belum tentu saya bisa membuat komposisi dalam gamelan Bali!

**

DARI Santa Cruz California, saya menuju Toronto Kanada. Di sini ada grup gamelan degung Ever Green yang didirikan oleh John Sidal, dan telah berdiri sejak tahun delapan puluhan. Mereka mengundang saya untuk mempersiapkan dan mendukung pergelaran, yang telah mereka siapkan. Ternyata kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Andrew Tilmar ( salah seorang pemain suling dari Ever Green ), untuk membentuk grup baru yang pemainnya para mahasiswa dari berbagai universitas yang ada di Toronto, nama grupnya Sora Parahiangan. Indah sekali!

Kalau siang saya melatih grup Sora Parahiangan, sore hari sampai malam, saya mengolah materi dengan grup Ever Green. Untuk sang pemula seperti grup degung Sora Parahiangan, bagi saya tak menemui masalah, karena mungkin sudah biasa. Tetapi dengan grup Ever Green, saya benar benar banyak merenung dan belajar. Pertama, pemainnya umumnya para komposer dari musik Barat, yang kemudian berkiprah pada degung. Kedua, mereka profesional dan telah terbiasa dengan pentas-pentas kelilingnya. Ketiga, mereka lebih banyak mengolah kreasi dari degung kreasi (perkembangan), di antaranya lagu-lagu degung kawih yang pernah saya buat.

Para penyanyinya membawakan lagu dengan memakai lirik dalam bahasa Inggris ( dari bahasa Sunda diterjemahkan/diolah ke dalam bahasa Inggris). Sejenak saya bengong dibuatnya, karena memang menjadi lain. Tapi lama kelamaan, saya bisa menerimanya, walau lagu degung itu dibuat jadi multiinterpretasi. Benar-benar saya merasakan degung baru dalam olahannya yang utuh dalam laras dan alat-alatnya. Ketika saya diminta saran atas komposisi mereka, saya hanya memberi usul tentang sambung rapatnya saja.

Maksudnya, bagaimana jalinan komposisi saya dan mereka menyambung dengan luwes agar lebih enak kedengarannya, mereka begitu terbuka menerimanya. Satu hal yang saya anggap menarik adalah, kesan mereka ketika saya membuat aransemen baru untuk sambung rapat itu, saya buat secara langsung, karena ( maaf) bagi saya itu tidak terlalu sulit.

Mereka mengatakan, untuk membuat hal seperti itu, mereka harus merenung dan menuliskannya dalam not balok. Jelasnya membutuhkan waktu lama. Sedangkan yang saya lakukan, lebih spontan dalam waktu yang hanya memenitan! Untuk hal seperti itu mereka merasa aneh dan kagum. Ketika saya bersama mereka main (saya main kendang atau kecapi), pada melodi yang ritmis saya bubuhi dengan senggakan. Lagi-lagi mereka merasa aneh, karena katanya senggakan sambil menabuh itu cukup sulit, sedangkan di Sunda seperti yang main-main saja, tapi tetap enak didengarnya!

Tentunya masih banyak hal pengalaman baru bagi saya, ketika berkerja sama dengan grup Degung Ever Green di Toronto Kanada. Saya hanya bisa bangga, karena degung telah diminati oleh mereka. Kalau di California ada grup Sekar Jaya dalam gamelan Bali, maka di Kanada ada Ever Green dalam garapan gamelan degung. Dua-duanya berkiprah secara profesiaonal.

Ketika pulang, saya kembali merenung bercampur senyum. Sedikit pun saya tidak menyangka, kalau beberapa lagu kreasi degung yang saya buat di Cigereleng, bisa dikenal orang di belahan bumi lain seperti Amerika dan Kanada. Masih terngiang, hampir di setiap pergelaran degung ketika saya di Amerika dan Kanada, mereka meminta lagu "Kalangkang", "Anjeun", atau "Potret Manehna". Masih terbayang pula, bagaimana aplaus penonton, seusai pertunjukan degung. Saya jadi ingat ka lembur. Di lembur mah, termasuk langka orang yang mendengar degung dengan saksama, karena ketika degung dihidangkan dalam pertunjukan, biasanya hanya dianggap musik yang berfungsi sebagai pengisi acara, untuk memberi suasana kepada para tamu yang datang, atau mengisi kekosongan sebelum acara dimulai.

Setelah saya pulang, dalam dua bulan terakhir ini, ada tiga orang yang datang dari Amerika, yang secara khusus mau belajar degung di Bandung. Ada dosen, mahasiswa, dan komposer. Degung kini menjadi perhatian orang Amerika, dan degung kini makin menjauh dari orang Sunda. Dukun mah tara sohor di lemburna!***

* Nano S., seniman.

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 1 November 2008

No comments: