BANDUNG, KOMPAS - Alam dalam novel Indonesia tidak tersentuh sebagai problem serius. Perjalanan novel Indonesia tidak memandang alam sebagai persoalan yang perlu diangkat secara tema cerita. Jejak alam yang muncul dalam novel Indonesia berupa ekspresi keterpesonaan, kekaguman, pemujaan, dan hasrat melakukan persahabatan dengan alam.
Hal itu dipaparkan Dr Maman S Mahayana, pengamat dan pengajar sastra dari Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, dalam acara Temu Sastra III, Mitra Praja Utama 2008, di Hotel Panorama, Lembang, Bandung, Jawa Barat, Rabu (5/11). Temu Sastra Nasional yang digelar seniman dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Pemerintah Provinsi Jawa Barat itu mengangkat tema ”Peran Sastra dalam Meningkatkan Kesadaran dan Kecintaan Masyarakat terhadap Lingkungan.”
Juga tampil sebagai pembicara, antara lain, Jakob Sumardjo, Bambang Sugiharto, Beni Setia, Triyanto Triwikromo, Safrina Noorman, dan Warih Wisatsana.
Maman dalam makalah bertajuk ”Jejak Alam dalam Prosa Indonesia” memaparkan, novel Indonesia sebelum perang, seperti Muda Teruna karya Muhammad Kasim tahun 1922, Dian yang Tak Kunjung Padam (Sutan Takdir Alisjahbana, 1932), dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk (Hamka, 1939), cenderung berjenis novel sosial. Problem kemasyarakatan yang paling banyak mendapat sorotan.
Gambaran alam yang harus diselamatkan juga belum muncul dalam novel Indonesia mutakhir. Keluarga Gerilya (Pramoedya Ananta Toer, 1948) menjadikan hutan sebagai daerah perlindungan gerilyawan. Titik perhatian novel itu pada nasionalisme.
Maman menunjuk Kemarau karya AA Navis (1957) sebagai novel yang telah memperlihatkan kesadaran pentingnya alam bagi kehidupan manusia. ”Inilah novel Indonesia yang memperlakukan alam sebagai lahan garapan, sebagai lapangan pekerjaan yang dapat mengangkat kesejahtera- an hidup manusia,” katanya. (XAR)
Sumber: Kompas, Jumat, 7 November 2008
No comments:
Post a Comment