DALAM hampir semua novel Indonesia yang mencoba menempatkan alam tidak sekadar sebagai latar cerita, tetapi juga sebagai masalah yang diangkatnya. Alam bukankah ancaman yang mencemaskan dan menakutkan. Alam tidaklah diperlakukan sebagai problem yang serius. Bahkan, dalam banyak puisi penyair Indonesia, alam (laut, gubung, hutan, sawah) justru menjadi objek yang penuh pesona, inspirasi. Maka yang muncul adalah kekaguman mereka pada alam. Jejak alam dalam novel Indonesia adalah ekspresi kekaguman, keterpesonaan, dan hasrat melakukan persahabatan dan persaudaraan dengan alam.
Alam dalam novel Indonesia, dengan demikian, seolah-olah atau nyaris tak tersentuh sebagai sebuah problem yang serius. Alam adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sastrawan dan manusia Indonesia modern. Alam dalam sastra Indonesia adalah sebuah keterpesonaan, kekaguman, pemujaan. Begitulah, kesusastraan Indonesia. Ia laksana tak memandang alam sebagai persoalan yang perlu diangkat secara tema cerita.
Demikian kritikus sastra Dr. Maman S. Mahayana memandang jejak alam dalam prosa Indonesia. Tampil dalam forum seminar Temu Sastra MPU III Tahun 2008 di Lembang, 5 November 2008, Maman menyebutkan novel Muda Teruna karya Muhammad Kasim mengambil latar alam sebagai bagian penting dari tema cerita. Gunung, hutan, lereng, dan laut adalah tempat bermainnya para tokoh yang sudah bersahabat sejak kecil.
"Maka laut yang mestinya mengubur jasad Marah Kamil, tokoh utama novel itu, justru menjadi penyelamat ketika ia dikejar oleh para perompak," ujarnya, seraya menegaskan betapa jejak alam dalam novel Indonesia sebelum perang adalah jejak alam yang tidak penting karena tak persoalan di situ.
Dalam sejumlah novel Indonesia mutakhir, kata Maman, gambaran ihwal alam yang mengancam atau yang harus diselamatkan, juga tidak atau jarang dijumpai. Novel Harimau! Harimau! karya Moechtar Lubis jelas menempatkan hutan (alam) sebagai latar cerita. Tapi hutan dalam novel ini bukanlah yang menjadi fokus utama. Hutan hanya menjadi lanskap yang tidak begitu fungsional.
"Bahkan lagi dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari, kondisi alam yang sebenarnya tidak memberi kesejahteraan bagi kehidupan penduduk juga masih setia diperlakukan sebagai seusuatu yang harus dijaga dan dihormati," papar Maman.
Novel Indonesia, dalam pandangan Maman S. Mahayana, pada dasarnya adalah novel kemasyarakatan. Alam tidaklah pernah menjadi problem atau bagian dalam konflik di dalamnya. Inilah yang berbeda dengan novel-novel India atau Bangladesh di mana alam menjadi konflik dan ancaman.
"Sebutlah novel Pater Pancali karya Bibhutibhushan Banerji atau novel Bangladesh, Pohon Tanpa Akar karya Syed Waliullah. Membaca kedua novel tersebut kita laksana memasuki panorama kegersangan alam yang kering kerontang. Alam jadi begitu menakutkan. Kelaparan dan kemiskinan bukan lantaran penduduknya yang malas, tetapi lantaran alam yang tak memberi mereka penghidupan," papar Maman.
Menarik benang merah jejak alam dan manusia Indonesia dalam prosa Indonesia mutakhir, menurut Mama, maka yang akan dijumpai di sana adalah sebuah persahaban, persaudaraan manusia Indonesia dengan alam yang telah menyediakan segalanya bagi keberlangsungan hidup mereka.
"Jika kini berbagai persoalan muncul di berbagai wilayah negeri ini , sumbernya bukanlah pada alam itu sendiri, melainkan pada manusianya yang tak bersahabat dengan alam. Karena itu boleh jadi, problem kerusakan alam di negeri ini akan melahirkan karya-karya romantik sebagaimana yang terjadi di Eropa selepas Revolusi Industri," katanya.
Sementara Dr. Safrina Noorman yang menelaah manusia dan alam dalam puisi Indonesia, memandang hubungan penyair dan alam, bahkan pemujaan terhadapnya, dapat dilacak sejak masa-masa Pujangga baru. Seraya menyitir pandangan Sapardi Djoko Damono, Safrina mengatakan sikap para penyair tidaklah bisa dijadikan indikasi dari pengaruh aliran romantisme di Inggris dan Jerman.
Senada dengan Maman S. Mahayana, Safrina menyebutkan, kembali ke alam sebagai gerakan politis dapat dimulai dengan kontemplasi yang intens dengan alam. Penyair alam seperti Wordsworth, Manley Hopkins, Whitman melakukan apa yang disebut "a secular pilgrimage" ke alam liar dalam rangka melayani bumi, yaitu ketika mereka menjauhi kehendak menaklukkan alam dan menumbuhkan niat untuk menyatu dengan alam. (Ahda Imran)
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 15 November 2008
No comments:
Post a Comment