-- Afri Meldam*
MESKI ada kalangan yang kurang setuju dengan istilah ‘cerpen koran’, realitas hari ini memang menunjukkan bahwa, genre cerpen - yang tumbuh subur seiring menjamurnya koran baru pascarefomasi 1998 – menawarkan sesuatu yang ‘khas’. Cerpen (yang terbit di) koran memperlihatkan suatu bentuk (pen)cerita(an) yang relatif menantang. Hal ini demi mengingat ruang di koran yang terbatas dan tuntutan pembaca koran yang menginginkan sesuatu yang up-to-date.
Cerpen koran, dengan demikian, tentu berbeda dengan cerpen yang dimuat di majalah sastra atau media-media lain yang memberikan ruang yang lebih lapang bagi para penulis cerpen untuk bercerita.
Pada kasus tertentu, seperti yang disinggung Sapardi Djoko Damono dalam esainya yang berjudul ‘Dongeng di Koran Kompas’ (Epilog Kumpulan Cerpen Kompas Pilihan 2007), keterbatasan ruang koran tentu menyulitkan penulis cerpen. Namun, di sisi lain, keterbatasan ruang koran tersebut justru mengembalikan cerpen pada khittah aslinya, yaitu cerita ‘yang habis dibaca dalam sekali duduk’.
Meski kriteria ‘cerita yang habis dibaca dalam sekali duduk ini’ masih bisa diperdebatkan (karena, penggagas ‘teori’ ini, Edgar Allan Poe, justru banyak menulis cerpen yang boleh dibilang long-short story), namun cerpen-cerpen yang muncul di koran memang kebanyakan bisa selesai dibaca dalam beberapa menit saja.
Masalah yang lebih mendasar dan sering dikhawatirkan terkait keterbatasan ruang bercerita dalam koran ini adalah kualitas karya yang dihasilkan. Ruang koran yang terbatas tentu menuntut penulis cerpen untuk mencari cara bagaimana agar bisa bercerita dalam porsi yang telah dibatasi (dengan jumlah karakter tertentu). Dengan ruang ekplorasi yang sempit, pengolahan konflik tokoh maupun cerita secara keseluruhan tentu akan menjadi kurang maksimal. Artinya, penulis – walau bagaimanapun – harus mampu bercerita ‘tuntas’ daam ruang yang sempit tersebut, sehingga terkadang cerpen di koran pun terkesan setengah jadi atau bahkan asal jadi. Bobot cerita pun, kemudian seolah tidak begitu diperhatikan.
Bagi seorang penulis yang berpengalaman, hal ini sebenarnya tidak akan jadi soal. Namun, tetap saja banyak yang mengkhawatirkan kalau ‘keterbatasan ruang koran’ akan membuat penulis jadi malas baik dalam mengolah konflik maupun dalam menemukan teknik baru penceritaan untuk menghasilkan sebuah cerpen yang lebih bernas dan ‘menggigit’.
Memang, ukuran berkualitas atau tidaknya sebuah cerpen bukanlah dinilai dari panjang pendeknya cerpen tersebut, tapi lebih kepada bagaimana sebuah cerita mampu terbangun dengan baik dan pesan yang diusung di dalamnya pun mengena. Namun, tetap saja, sebuah cerpen yang (terlalu) pendek sering dicurigai tidak berkualitas.
‘Kecurigaan’ akan rendahnya kualitas cerpen yang (terlalu) pendek ini mungkin saja muncul karena kebanyakan cerpen yang bagus adalah cerpen yang mampu memberikan suatu jalinan kisah yang padat, matang, ‘meyakinkan’, dan tereksplorasi dengan bagus baik melalui plot maupun karakterisasi tokoh yang dihadirkan. Syarat-syarat tersebut secara sepintas lalu tentu hanya bisa dipenuhi oleh cerpen yang memiliki ruang penceritaan yang lebih lapang. Namun, jika ditilik lebih jauh, bukan tak mungkin cerpen yang pendek justru lebih ‘siap’ dilempar ke pembaca ketimbang cerpen panjang yang hanya bertele-tele. Dengan kata lain, istilah ‘size doesn’t matter’ juga berlaku dalam dunia cerpen.
Hal lain yang juga sering disinggung ketika berbicara tentang kualitas cerpen koran adalah sifat koran (sebagai media berita) yang aktual. Cerpen koran juga dikhawatirkan ‘terbawa arus’ berita di koran. Artinya, untuk bersaing dengan berbagai berita yang dimuat di koran, cerpen pun mau tak mau harus mengikuti ‘irama’ berita yang menuntut sesuatu yang baru (up to-date). Maka, muncullah istilah cerpe aktual atau cerpen tematik.
Sesuai istilahnya, cerpen aktual atau tematik ini memang seolah diset untuk ‘menyaingi’ berita-berita yang muncul di koran. Para pembaca koran yang haus dengan berita-berita terkini, dengan demikian, seolah ‘dirayu’ untuk (juga) membaca cerpen yang dimuat di sana. Karena memang, tema yang diangkat dalam cerpen tersebut biasanya menyangkut berita-berita yang tengah happening atau hangat diperbincangkan.
Karena sifatnya yang aktual dan tematik, cerpen sejenis ini tentu sangat bergantung paa timing pemuatan. Misalnya, cerpen bertema lebaran tentu lebih berterima dan kesempatan dimuat lebih besar pada saat-saat lebaran, bukan pada hari-hari biasa. Maka, penulis pun harus betul-betul mampu mengejar tenggat waktu yang diperkirakan tepat untuk memuat sebuah karya yang tematik.
Kekhawatiran bahwa cerpen tematik kurang berbobot muncul karena sifatnya yang memanfaatkan momentum atau tema tertentu. Alhasil, penulis yang ingin karyanya dimuat pada suatu moment jadi tergesa-gesa dalam menulis, sehingga bobot cerita pun tidak begitu diperhatikan. Namun, jika seorang penulis mampu menyeimbangkan antara keinginan untuk dimuat dan kualitas karya, maka cerpen yang dihasilkan tentu akan lebih berisi. Begitu juga jika cerpen tersebut telah dipersiapkan jauh-jauh hari – yang tentnya juga telah direvisi dan dibaca ulang.
Kearifan media
Keterbatasan ruang koran serta sifat koran yang aktual, boleh jadi memang menjadi masalah bagi sebagian penulis dalam menghasilkan karya yang berkualitas. Namun, bagi sebagian yang lain, hal tersebut justru menjadi tantangan tersendiri untuk membuat cerita yang padat dan berbobot. Dengan kata lain, berkualias atau tidaknya sebuah karya lebih terantung pada bagaimana sang penulis mampu mengolah cerita dalam ruang yang disediakan.
Terlepas dari semua itu, dalam beberapa kasus, kekhawatiran akan pengaruh keterbatasan ruang koran terhadap kualitas karya memang tetap muncul. Untuk itu, media (redaktur, editor beserta jajarannya) diharapkan mampu bersikap arif dalam hal ini. Pihak media hendaknya mampu mempertimbangkan apakah sebuah cerpen memang pantas tampil ‘apa adanya’ atau memang harus dikebiri atau diperpanjang di beberapa bagian, sebelum dimuat. Artinya, cerpen yang memang bisa bercerita dalam ruang yang pendek, dimuat seperti itu. Begitu juga dengan cerpen yang mungkin hanya bisa menyampaikan isi cerita dalam ruang yang lebih panjang, hendaknya diberi keleluasaan yang lebih.
Pihak koran, dengan demikian, sangat diharapkan mampu menyediakan ruang sesuai kebutuhan sebuah cerita. Melanggar ‘sedikit’ ketentuan jumlah maksimal/minimal karakter yang diminta tentu tak perlu terlalu dipersoalkan. Yang penting tentu adalah kualitas karya, yang pada gilirannya juga akan mengangkat kualitas koran di mana karya tersebut dimuat.
* Afri Meldam, Mahasiswa Sastra Inggris Universitas Andalas
Sumber: Padang Ekspres, Minggu, 09 November 2008
No comments:
Post a Comment