Thursday, November 06, 2008

Wacana: Dimabuk Dekonstruksi

-- Geger Riyanto*

SPIRITUALITAS merupakan teks yang sifatnya relatif. Sebagai produk budaya ia dapat dimanufaktur, dikonstruksi oleh industri menjadi sebuah kultur massa yang akan laku dikonsumsi khalayak ramai ketika dilempar ke pasar. Bila di satu tempat spiritualitas didefinisikan sebagai ketakjuban personal yang mendobrak kemapanan rutinitas dan otoritas, bisa jadi khalayak di tempat lain mendefinisikan spiritualitas sebagai kerinduan terhadap formalitas dan otoritas agama. Mengapa tidak?

Industri dan pasar memiliki sifat yang konservatif. Ketimbang memulai sebuah tren atau hal yang baru, demi meminimalkan risiko kerugian ia cenderung mengikuti selera mayoritas dan mengekalkannya (bukan membongkarnya). Maka tak mengherankan, mengapa dalam survei kepada pembaca sastra sekitar Jakarta yang diadakan belum lama ini, ketimbang Danarto, Abdul Hadi WM, atau pengarang-pengarang karya spiritualis lainnya, pembaca cenderung memilih Habbiburahman El-Syirazi sebagai pengarang yang paling kuat aspek spiritualitasnya.

Bahwa novel yang ditulisnya lebih sarat dengan persoalan romantika adalah soal belakangan, sebab ia dikemas dan ditampilkan ke publik dengan unsur-unsur keislaman. Karyanya, Ayat-Ayat Cinta—yang membuka bendungan walhasil novel-novel Islami membanjir hari ini—dalam pemahaman saya, adalah satu suara yang menegaskan keindahan cinta dilihat dari geladak narasi Islam.

Dengan memasukkan adegan-adegan dialog dengan tokoh Barat—kendati sebenarnya menyerupai khotbah bila dibandingkan dengan strategi naratif yang apik karya Hamka—terlihat bagaimana karya ini berusaha masuk dalam kontestasi wacana global, dan menjungkirbalikkan pemahaman dikotomis: Barat/liberal/baik, sementara Islam/konservatif/buruk. Ada pesan terselubung yang tidak sublim sehingga bisa ditangkap semua pembacanya: cinta indah, khususnya dalam koridor prosedur-prosedur Islam yang formal.

Agaknya, kalangan pembaca kita menangkap aspek inilah yang patut menjadikan karya ini karya yang spiritualis. Di sini spiritualitas tidak dimaknai sebagaimana koridor alternatif yang menyimpang dari institusi agama, tetapi sebagai kategori yang diapropriasi oleh institusi agama. Sebuah pernyataan yang sekaligus sebuah pertanyaan (agar tidak menggeneralisir) dapat diajukan di sini: inikah spiritualitas hasil manufaktur industri media yang beroperasi di atas masyarakat yang religius? Inikah spiritualitas manufaktur itu, yakni pemuasan kerinduan terhadap agama dengan prosedur-prosedurnya yang siap pakai?

Bukan dekorasi

Dalam hal ini, keberatan ini dapat diajukan melalui pertanyaan-pertanyaan kritis: apakah karya yang menjadikan spiritualitas sebagai dekorasi prosedural dari kisah romantika merupakan sebuah karya spiritualis? Dan coba kata ’spiritualitas’ kita ganti dengan ’kota’ (atau bisa juga yang lainnya), dengan maksud pertanyaan yang sama: apakah novel yang mengambil tempat di kota dengan otomatis disebut sastra kota? Apabila kota hanya menjadi semacam prosedur ke mana para tokoh harus berjalan, apakah otomatis karya itu menjadi karya sastra tentang kota?

Sebagai dekorasi prosedural, saya pikir spiritualitas manufaktur semacam itu lebih sesuai bila disebut religiusitas, konsistensi untuk mengikuti jalan yang sudah rampung terbentuk. Dan karya-karya terkait dinyatakan sebagai karya religius. Sebab spiritualitas itu sendiri, dasarnya, sesuatu yang sukar untuk dibentuk dan dimapankan dalam struktur logika yang rampung. Sebagaimana yang dijelaskan teolog Rudolf Otto, perjumpaan dengan Yang Transenden adalah perjumpaan dengan ketidakpastian dan kehanyutan dalam keterasingan (otherness). Pasalnya, bila Yang Transenden bisa ditundukkan dalam kerangkeng kepastian bahasa, benarkah ia memiliki sifat Maha sebagaimana yang dilekatkan kepadanya?

Kedua, bahasa adalah citraan mental manusia yang terbatas terhadap fakta, dan dicerapnya berdasarkan kedudukan dan posisi manusia tersebut. Jadi bahasa bukan fakta itu an sich. Namun, agar makna tak terus mengalir dalam ketidakpastian, manusia berusaha untuk menangguhkan makna dengan mengobyektivisasi citraan mental/bahasa yang subyektif ini menjadi fakta—yang sebenarnya adalah fakta sosial, bila memakai istilah sosiolog Emile Durkheim. Walhasil, bahasa tak pernah benar-benar netral dari struktur kekuasaan dalam masyarakat. Bahasa melayani kebutuhan manusia untuk mendapatkan institusi yang melindunginya dari palu godam ketidakpastian.

Berarti, bila Yang Transenden dapat diapropriasi mentah-mentah ke dalam bahasa, bukankah itu berarti ia dimanfaatkan dalam struktur kekuasaan buatan manusia?—dengan kata lain, bisa dimanfaatkan manusia sebagai alat penyaluran hasrat destruktifnya untuk memberangus hal-hal baru yang dianggapnya mengancam keberadaan dirinya. Sedangkan kalau Yang Transenden dibatasi sebagai milik kelompok tertentu, dengan segera, secara logika ia akan tereliminasi sebagai Yang Transenden. Tak masuk akal bila Yang Transenden dapat dibatasi.

Mengalahkan ketidakmungkinan

Tetapi, ketika otoritas buatan manusia itu kian membelenggu, spiritualitas lantas hadir mewujud praktik pembongkaran terhadapnya. Ia memberikan spekulasi alternatif terhadap tafsir tentang keberadaan Yang Transenden, bukan dengan modus untuk mengklaim, namun mendobrak keterbatasan dan membuka ruang perjumpaan dengan yang asing. Maka, tak jarang tafsir yang diajukan dalam modus spiritualis membuat kita terperangah, atau bahkan tertawa terpingkal-pingkal, sarat dengan selera humor. Taruhlah Tuhan dalam buku Persepolis yang dikatakan pengarangnya: entah mengapa, kok menyerupai Karl Marx ya?

Dan sastra itu sendiri menanggung peran untuk bersifat spiritualis. Sastra adalah praktik menggugat, mendakwa, sehingga tak jarang pengarangnya sendiri kemudian digugat dan didakwa kembali oleh masyarakat. Sastra adalah praktik penyegaran pemahaman—yang dalam definisi ala Roman Jakobson—praktik kekerasan terhadap keseharian berbahasa/berideologi.

Apa yang dilakukan oleh Naguib Mahfouz, Mahmoud Darwish, Salman Rushdie, Adonis, dan pengarang lainnya, tak lain dari perayaan spiritualitas yang paling meriah: karya mereka membongkar kekuasaan bahasa, bukan semata karena hasrat pribadi mereka untuk menghancurkan otoritas yang membelenggu. Namun, karena karya mereka menghadirkan Yang Transenden, yang menghancurkan segala macam ketidakmungkinan (impossibility) yang dibuat oleh manusia dengan bahasa yang sifatnya material dan terbatas. Simaklah bagaimana Adonis yang dituduh pemurtad itu sebenarnya dimabuk keilahian:

Siapakah engkau? Siapakah yang kau pilih, oh, Mihyar?/neraka Tuhan dan neraka Setan di mana pun engkau melangkah/neraka datang, neraka pergi./Dan dunia adalah pilihan./Aku tak memilih Tuhan maupun Setan./Masing-masing adalah tembok./Masing-masing menutup mataku./Mengapa menggantikan satu tembok dengan tembok lain,/ketika kebingunganku adalah kebingungan yang/memberikan cahaya,/kebingungan yang maha mengetahui?

Jauh dari apa yang dituduhkan penguasa, mereka justru lebih spiritualis ketimbang siapa pun. Menari-nari dalam ekstase keilahian yang membongkar segala ketidakmungkinan, dan menjadikan ”diriku” meluruh utuh dengan apa yang ”di luarku”, hilang semua batasan. Kendati ketika kembali ke dunia, tubuh mereka diatur, dipenjarakan, diancam, hal tersebutlah yang kian membuktikan asketisme seorang pengarang dari dunia. Dunia, dengan sendi-sendi kekuasaannya yang ditopang batasan-batasan aku/diri/superior dan kau/asing/ inferior, membenci kehadiran Yang Transenden. Agaknya, memang aneh jika mereka dicintai oleh masyarakat yang religius.

* Geger Riyanto, Penulis; Bergiat di Bale Sastra Kecapi

Sumber: Kompas, Minggu, 2 November 2008

No comments: