Wednesday, November 29, 2006

Esai: Piil Pesenggiri, Antara Langit dan Bumi

(Diskusi buat Firdaus Augustian dan Fachruddin)

-- Muhamamad Aqil Irham*



Saya sangat berterima kasih atas undangan LSM Cerdas dan Lampung Post pada 19 Oktober 2006 di Hotel Indra Puri. Dalam diskusi membedah buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran karya Rizani Puspawijaya, salah seorang tokoh adat sekaligus akademisi yang telah memperkenalkan piil pesenggiri. Tokoh LSM, akademisi berbagai perguruan tinggi, praktisi pers, dan ormas hadir memberi tanggapan dan krrtik atas isi buku tersebut.

Firdaus Augustian, peserta bedah buku mengkritisi piil pesenggiri dan ternyata kemudian ide-idenya dituangkan dalam di Lampung Post, 11 November 2006, "Puzzle Bernama Piil Pesenggiri". Tulisan tersebut ditanggapi Fachruddin, "Piil Pesenggiri Bukan Puzzle" (Lampung Post, 18 November 2006).

Tulisan Firdaus Augustian dan Fachruddin berbeda dalam aspek pendekatan. Pendekatan pertama berada pada domain analisis atas realitas empirik sosiologis (baca: bumi), sedangkan Fachrudin lewat pendekatan idealitas-filosofis-historis (baca: langit).

Tulisan saya berusaha menyinergikan kedua pendekatan tersebut untuk keperluan pembangunan sistem nilai baru bagi masyarakat Lampung yang majemuk.

Masyarakat Lampung, sebagai kelompok etnik dalam sejarahnya pernah mencapai puncak peradaban yang tinggi dan dikenal oleh puncak-puncak peradaban dunia. Era itu saya sebut sebagai zaman keemasan bagi komunitas etnik Lampung. Beberapa ciri suatu masyarakat memiliki peradaban ditandai adanya filsafat dan falsafah hidup sebagai refleksi atas kesemestaan. Memiliki kebudayaan yang tercermin dalam ilmu pengetahuan, budaya, tradisi, bahasa, arsitektur, sastra (seni), termasuk adat istiadat yang establish secara turun-temurun.

Filsafat dan falsafah hidup piil pasenggiri, bahasa Lampung dalam dialek nyow dan api, aksara-baca tulis (ka ga nga), tatanan pemerintahan yang terbukukan dalam kitab Kuntara Raja Niti (Kitab Hukum Tata Negara), kerajaan dan keratuan, sastra lisan dan tulisan, hasil kerajinan tenun tapis, teknologi arsitektur rumah panggung, sesat agung, pakaian, senjata, dan masih banyak lagi yang belum disebutkan adalah bukti masyarakat etnik Lampung pernah mengalami kebudayaan dan puncak peradaban.

Sebagai daerah strategis dan terbuka, komunitas Lampung kemudian diketahui dunia luar, sehingga mengundang orang datang berinteraksi menjalin hubungan politik dan dagang, baik dari Cina maupun Eropa. Kisah sukses ini karena orang Lampung memiliki semangat dan etos piil pesenggiri. Etos ini mendorong orang bekerja keras, kreatif, cermat, dan teliti, orientasi pada prestasi, berani kompetisi dan pantang menyerah atas tantangan yang muncul. Semua karena mempertaruhkan harga diri dan martabat seseorang di tengah-tengah masyarakat (status sosial).

Adakah jejak-jejak dan bekas-bekas kebudayaan dan peradaban yang amat agung tersebut di era kontemporer dewasa ini?

Orang Lampung hari ini sudah mulai tak kenal bahasanya sendiri. Aksara baca tulisnya, tidak banyak yang tahu tentang hukum adatnya, banyak yang kurang memahami falsafah hidup piil pesenggiri. Bahkan, yang sangat ironis orang Lampung dipersepsikan banyak orang sebagai orang yang malas, etos kerjanya rendah, pendidikannya rendah, dan stereotipe kurang baik lainnya.

Alhasil sebagai kelompok etnik, Lampung telah terjadi mobilitas sosial vertikal yang turun secara tajam dan terkesan menjadi penonton, bahkan tamu di rumahnya sendiri. Faktanya, kita akan mengalami kesulitan mencari dan menemukan di tengah-tengah komunitas (pekon, tiyuh, anek) yang masih memegang teguh nilai-nilai piil pesenggiri secara genuine.

Dahulu, piil pesenggiri sebagai falsafah hidup dan sistem nilai, norma sosial terintegrasi dalam sikap dan perilaku hidup masyarakat. Meskipun terdapat dalam kitab dan melembaga dalam kehidupan, belum menjadi kajian secara akademik.

Bagi masyarakat etnik Lampung, tradisi lisan lebih mendominasi khususnya di kalangan masyarakat awam. Tradisi tulisan (kitab-kitab hukum adat, sastra, dalam aksara Lampung) hanya ada di kalangan elite (tokoh adat) yang tidak diwariskan melalui proses belajar/diajarkan. Belakangan nilai-nilai tersebut disistematisasikan secara akademik oleh Hilman Hadikusuma dan Rizani Puspawijaya. Kemudian wacana ini meluas di tingkat elite pemerintahan maupun tokoh masyarakat, dan akhirnya diakomodasi sebagai pendekatan politik-kultural dalam pembangunan di Lampung.

Wacana piil pesenggiri dewasa ini marak secara teoritik, filosofis, dan historis, namun realitas empirik sosiologis sudah mulai tak terlihat aktualitasnya. Kesan ini dianggap Firdaus Augustian bahwa piil pesenggiri telah kehilangan relevansinya dalam dunia yang mengglobal. Bagi saya, pandangan ini tidak keliru, meskipun tidak sepenuhnya benar. Seharusnya ini menjadi starting point melakukan otokritik atas nilai-nilai yang disadari atau tidak sudah mulai pudar.

Masyarakat etnik Lampung sebagai sebuah komunitas sedang mengalami perubahan sosial yang sangat mendasar dan dramatis akibat developmentalisme dan modernisme sebagai paradigma pembangunan pasca-Indonesia merdeka. Nilai-nilai kearifan lokal, termasuk piil pesenggiri dan sistem budaya lainnya, dianggap kurang mendukung pembangunan kalau tidak dikatakan menghambat pembangunan.

Terpisahnya nilai-nilai "langit" dengan sikap hidup aktual sebagai implementasi dalam domain "bumi" menyebabkan perdebatan dan polemik piil pesenggiri semakin abstrak, yang berada pada posisi antara langit dan bumi.

Mewacanakan piil pesenggiri dengan sengaja melepaskan nilai-nilai historis filosofis adalah naif dan ahistoris. Begitu pun sebaliknya dengan asyiknya kita bermain di tataran filosofis historis tanpa berpijak pada realitas perubahan dan kondisi kekinian akan terjebak pada sikap romantisme dan apologetik.

Adalah hal yang menarik bila keprihatinan ini mengarah pada kesadaran melakukan penelitian dengan pertanyaan mendasar mengapa hal itu bisa terjadi dan faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebabnya dan akibatnya?

Dalam perkembangan sejarah yang cukup panjang dengan melewati fase-fase pemerintahan dari keratuan, kerajaan, masa penjajahan, era kemerdekaan, dan pembangunan, masyarakat Lampung mengalami proses perubahan sosial yang cukup signifikan dalam berbagai aspek, yaitu meliputi perubahan struktur sosial politik budaya dan ekonomi.

Perubahan sosial tersebut disebabkan faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal, kebijakan penjajah Belanda menerapkan kebijakan kolonisasi tahun 1905 untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja perkebunan, kebijakan pemerintah sejak Indonesia merdeka dan diproklamirkan sebagai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Faktor internal adalah kelambanan adaptasi atas perubahan sosial yang terjadi. Di antara yang cukup penting adalah perubahan pola nafkah di sektor pertanian ke luar sektor pertanian, seperti lapangan pekerjaan baru di birokrasi pemerintahan, dan industri tanpa diikuti akses pengetahuan dan keterampilan. Proses ini terjadi secara alamiah tanpa dukungan desain perencanaan dan kebijakan pemerintah.

Untuk itu patut kita cermati perkembangan tersebut. Mengkritisi dan mempertanyakan, menemukan pola dan kebijakan baru dan tepat. Kenyataan atas pluralitas, khususnya dari segi kesukubangsaan pendatang?

Tidakkah pluralitas kesukubangsaan ini menawarkan sistem nilai lain? Apakah proses asimiliasi, akulturasi, dan integrasi sudah terjadi di masyarakat kita? Mungkinkah kita mampu membangun falsafah hidup dan sistem nilai baru dalam bingkai pluralitas kesukubangsaan? Apakah relevan kita meredefinisi, reinterpretasi, dan reaktualisasi piil pesenggiri yang dibangun dari fenomena empirik masyarakat kita hari ini dan dalam perspektif ke depan? Betapa urgenkah itu untuk kita risaukan?

* Muhamamad Aqil Irham, Direktur Fordemala dan Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Bandar Lampung

Sumber: Lampung Post, Rabu, 29 November 2006

Monday, November 27, 2006

Seniman Betawi SM Ardan Berpulang

Jakarta, Kompas - Seniman dan tokoh Betawi, SM Ardan (74), yang sudah sepekan tidak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Jakarta karena tertabrak sepeda motor, Minggu (26/11) pukul 10.18 mengembuskan napas terakhir. Ardan berpulang ke hadapan Sang Pencipta dikelilingi istri dan ketiga anaknya.

"Kondisi Pak Ardan saat itu semakin kritis. Kami sekeluarga sudah pasrah untuk melepas beliau," kata Masfufah (54), istri Ardan.

Peristiwa tabrak lari di Rawa Belong, Jakarta Barat, pada 19 November lalu menyebabkan pria kelahiran Medan, 2 Februari 1932, itu mengalami pendarahan di kepala, sementara kaki kanannya patah. Sejak saat itu Ardan tidak sadarkan diri.

Di mata keluarganya, Ardan adalah sosok ayah yang pendiam dan bijaksana. Keluarganya pun memaklumi kecintaan Ardan untuk bergulat mengembangkan budaya Betawi.

Meski harus naik angkutan umum atau ojek, Ardan tidak kenal lelah jika diminta hadir dalam seminar atau acara yang membicarakan kebetawian.

Tidak dibayar pun bukan masalah bagi penyair, penulis cerita pendek, novel, esai, dan drama ini.

Dalam pandangan Ardan, kata Masfufah, siapa saja yang mencintai budaya Betawi, meskipun bukan keturunan atau tidak lahir di tanah Betawi, tetap akan menjadi orang Betawi. Kakek dua cucu ini pun percaya, pemikiran Betawi itu tidak kuno.

Luncurkan buku

Bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-75, Februari mendatang, Ardan sebenarnya akan meluncurkan buku kumpulan cerpennya yang disusun JJ Rizal, peneliti sastra dan sejarah di Komunitas Bambu. Buku bertajuk Cerita dari Sekeliling Jakarta itu berisi 22 cerpen karya Ardan. "Bisa dikatakan beliau itu tokoh pemula dari penggunaan dialek Betawi yang lebih baik dari yang sebelumnya," ujar Rizal.

Untuk kumpulan cerpennya itu, Ardan tinggal menulis kata pengantarnya saja tentang perasaannya setelah meninggalkan sastra 20-30 tahun lalu.

Belakangan ini, Kurator Sinematek Indonesia sejak tahun 1975 itu resah dengan adanya citra-citra buruk pada orang Betawi. (ELN)

Sumber: Kompas, Senin, 27 November 2006

Sunday, November 26, 2006

Editorial: Pelajaran Berharga dari Konflik Lampung

KONFLIK politik Lampung yang melelahkan itu berakhir. Gubernur Lampung Sjahroedin Zainal Pagaralam dan Ketua DPRD Indra Karyadi melaporkan islah itu kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jumat (23/11). Ini artinya Sjachroedin tetap Gubernur Lampung hingga masa tugasnya berakhir pada 2009.

Konflik politik Lampung harus menjadi pelajaran yang amat berharga. Betapa saling meniadakan antara dua lembaga, yakni eksekutif dan legislatif, merugikan semua pihak. Eksekutif tidak bisa bekerja maksimal karena berbagai program yang berkaitan dengan anggaran diganjal legislatif. Yang rugi bukan siapa-siapa, melainkan seluruh rakyat Lampung. Karena ujung dari pemerintahan adalah untuk rakyat.

Meskipun konflik antara gubernur dan DPRD terjadi sejak Juli tahun lalu, masyarakat Lampung sesungguhnya sudah tidak mempunyai gubernur definitif sejak 30 Desember 2002. Waktu itu pasangan Alzier Dianis Thabranie dan Anshori Yunus terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2002-2007. Mereka tidak pernah dilantik karena Alzier diduga tersangkut kasus pidana. Alzier bahkan dibawa paksa ke Mabes Polri karena tuduhan itu.

Mendagri (waktu itu Hari Sabarno) pada Desember 2003 membatalkan kemenangan kader Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang kini berpindah ke Partai Golkar itu. Tetapi, pada Mei 2004, Alzier memenangi gugatan atas Mendagri. Pembatalannya sebagai Gubernur Lampung dinilai tidak sah.

Beberapa hari setelah Alzier memenangi gugatan, Sjachroedin dan Syamsurya Ryacudu terpilih menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung. DPRD kemudian menetapkan pasangan itu sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Lampung 2004-2009.

Sementara itu, Alzier terus mencari keadilan dan Mahkamah Agung (MA) memenangkannya atas perkara kasasi melawan Mendagri. Juli tahun lalu MA pun menyerahkan konflik Lampung kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Masih pada bulan yang sama, DPRD Lampung dalam sidang paripurnanya tak mengakui Sjachroedin sebagai gubernur.

Sejak itulah boikot-memboikot program-program kedua lembaga itu terjadi. Hubungan Gubernur Sjachroedin yang diusung PDIP dan Wakil Gubernur Syamsurya yang dari Golkar ikut terganggu. Ketidakkompakan itu kian 'menyempurnakan' konflik politik Lampung.

Karena itu, sekali lagi, konflik politik di Lampung harus menjadi pelajaran berharga. Bahwa, dalam alam demokrasi seperti sekarang, roda pemerintahan tidak akan berjalan optimal tanpa 'kemitraan' eksekutif dan legislatif. Konflik itu ternyata hanya membuahkan ketidakpastian rakyat.

Padahal, politik yang sesungguhnya adalah bagaimana memerintah secara benar. Politik selalu punya cara untuk mengatasi konflik. Anehlah jika konflik politik tak bisa diselesaikan.

Sekeras apa pun permainan politik tidak boleh mengorbankan rakyat. Sebab rakyat modal utama pemerintahan. Karena itu, dalam keadaan apa pun, rakyat harus mendapat penghormatan terdepan. Adalah sebuah pengkhianatan yang tak termaafkan jika para elite politik hanya mementingkan diri sendiri, dan bukan untuk rakyat.

Islah politik Lampung harus dijadikan momentum untuk melakukan perbaikan-perbaikan kehidupan rakyat yang selama ini terabaikan.

Para elite yang menggenggam kekuasaan hanya untuk kepentingan dan kekayaan diri sendiri, harus bersiap-siap turun gelanggang politik. Jika tidak, rakyat menilai demokrasi tak punya makna apa-apa, kecuali untuk para elite. Dan, ketidakpercayaan pada elite kini telah menjadi kenyataan. Elite Lampung dan juga elite di seluruh negeri ini harus cepat mengembalikan ketidakpercayaan itu.

Sumber: Media Indonesia, Minggu, 26 November 2006

Saturday, November 25, 2006

Konflik Lampung Berakhir

BANDAR LAMPUNG (Lampost): DPRD Lampung dan Gubernur Sjachroedin Z.P. mengakhiri perseteruan yang berlangsung sejak 16 bulan silam.

KONFLIK LAMPUNG. Presiden Yudhoyono (kedua dari kanan), didampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla (kanan), menerima Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. (kedua dari kiri) dan Ketua DPRD Lampung Indra Karyadi (kiri) di Istana Kepresidenan, Jumat (24-11). Pertemuan itu juga dihadiri Wagub Syamsurya Ryacudu dan tiga wakil ketua DPRD. (RUMGAPRES)

"Sjachroedin tetap gubernur Lampung hingga akhir masa jabatannya," kata Menteri Dalam Negeri Moh. Ma'ruf di Kantor Kepresidenan, Jumat (24-11).

Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menerima Gubernur Sjachroedin Z.P. dan Ketua DPRD Indra Karyadi beserta rombongan selama satu jam untuk membicarakan Lampung. "Ini kali pertama Presiden dan Wapres bersama-sama menerima seorang gubernur dan pimpinan DPRD," kata dia.

Mendagri menegaskan Gubernur Sjachroedin dan Wakil Gubernur Syamsurya Ryacudu tetap memimpin Lampung hingga 2009 sesuai dengan Keppres No. 71/M/2005. Sementara itu, menurut Sjachroedin, Presiden berharap eksekutif dan legislatif Lampung dapat membangun hubungan harmonis agar pembangunan berjalan lancar dan masyarakat sejahtera.

Sebelum ke Istana, rombongan petinggi Lampung terdiri dari Sjachroedin Z.P., Syamsurya Ryacudu, Indra Karyadi beserta tiga wakilnya; Nurhasanah, Ismet Romas, dan Ahmad Junaidi Auli, lebih dulu bertemu dengan Moh. Ma'ruf di Depdagri pukul 10.15.

Pertemuan diawali laporan Sjachroedin bahwa DPRD Lampung sudah aktif kembali bertugas seperti sedia kala. Rapat paripurna yang biasanya dipimpin Nurhasanah, kini dipimpin Indra Karyadi dan dihadiri lengkap tiga wakilnya. Anggota DPRD yang hadir pun mencapai kuorum. Sementara itu, dari pihak pimpinan DPRD menyatakan mulai aktif menjalankan tugas dan fungsinya, terutama fungsi bujet dan pengawasan yang selama ini tidak optimal.

Setelah itu, dengan didampingi Mendagri, rombongan menuju Istana menemui Presiden Yudhoyono dan Wapres Jusuf Kalla. Rombongan diterima pukul 11.00 dan saat itu di Istana sudah hadir Menteri Sekretaris Kabinet Sudi Silalahi dan juru bicara Presiden Andi Mallarangeng. Rombongan diterima sampai pukul 12.00 karena memasuki waktu salat jumat. Usai salat, rombongan diundang dalam acara santap siang di Istana. "Saya ikut jamuan makan siang, tapi pada pertemuan resmi saya di luar," kata Asisten I Pemprov Lampung Irham Djaffar Lan Putra melalui ponselnya, tadi malam.

Pada kesempatan itu, Presiden menyambut baik DPRD yang mulai aktif kembali. Presiden dan Wapres juga menyoroti teknik kepemimpinan Gubernur Sjachroedin dalam menjalankan disiplin. Sjachroedin mengakui hal itu sebagai kekurangannya karena dia dibesarkan di lingkungan polisi, sehingga ada yang menilainya arogan. "Namun, semua itu dilakukan semata-mata untuk menegakkan disiplin," kata Irham mengutip Sjachroedin.

Usai pertemuan, Wapres Jusuf Kalla yang juga ketua umum DPP Partai Golkar menyatakan dapat menerima islah tersebut. Menurut Kalla, rapat DPP Partai Golkar meminta kadernya menerima Sjachroedin demi kepentingan daerah. Saat ditanya apakah Golkar mengakui Sjachroedin hingga masa jabatannya berakhir, Kalla mengiyakan: "Tentu, tapi bergantung pada perkembangan kepemimpinan bulan per bulan," ujarnya. n AAN/U-2

Sumber: Lampung Post, 25 November 2006

Gubernur, DPRD Lampung Islah

JAKARTA (Media): DPRD dan Gubernur Lampung Sjachroedin Z Pagaralam akhirnya islah guna mengakhiri perseteruan mereka yang selama ini menyebabkan mandegnya pemerintahan daerah tersebut.

''Mereka menyampaikan kepada Presiden bahwa pada dasarnya pihak-pihak (esekutif dan legislatif) yang bermasalah di sana (Lampung) sudah islah tepatnya pada 17 November,'' ujar Mendagri M Ma'ruf usai diterima Presiden di Kantor Presiden, kemarin.

Mendagri menemui Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama jajaran eksekutif dan legislatif Lampung, seperti Gubernur Sjachroedin ZP, Wakil Gubernur Syamsurya Ryacudu, Ketua DPRD Indra Karyadi, Wakil Ketua DPRD Nurhasanah, Junaidi Auli, Ismet Romas, Abdulah Fadri Auli, dan Asisten Gubernur Bidang Pemerintahan Irham Jafar.

Turut hadir dalam pertemuan tersebut antara lain, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Mensesneg Yusril Ihza Mahendra, dan Seskab Sudi Silalahi.

Menurut Mendagri, bagi pemerintah yang paling utama ialah roda pemerintahan di Lampung dapat berjalan dengan baik dan pelayanan publik tidak terbengkalai. Dia menegaskan Gubernur Sjachroedin ZP dan Wagub Syamsurya Ryacudu akan tetap memimpin Provinsi Lampung hingga 2009 sesuai dengan Keppres No 71/M/2005.

Menurut Sjachroedin, pimpinan eksekutif dan legislatif Provinsi Lampung melaporkan kepada Presiden bahwa kegiatan antara eksekutif dan legislatif di Lampung sudah berjalan normal.

"Ketua DPRD, para Wakil Ketua, dan eksekutif sudah melaksanakan sidang pleno dan membahas APBD 2007 yang dimulai 17 November 2006,'' jelas Sjachroedin.

Menurut Sjachroedin, Presiden Yudhoyono berharap eksekutif dan legislatif Provinsi Lampung dapat membangun hubungan yang lebih baik dan lebih harmonis agar program pembangunan berjalan lancar dan masyarakat sejahtera.

Konflik kepemimpinan di Lampung mencuat ketika DPRD memutuskan mencabut Surat Keputusan (SK) DPRD Lampung tentang penetapan Sjachroedin-Syamsurya sebagai Gubernur dan Wagub Lampung periode 2004-2009. DPRD juga mengeluarkan SK yang meminta Presiden mencabut Keppres 71/M/2205 yang mengukuhkan Sjachroeddin-Syamsurya.

Sikap DPRD itu diambil setelah Mahkamah Agung (MA) mengabulkan gugatan Alzier Dianis Thabrani sekaligus menyatakan dua SK Menteri Dalam Negeri yang menetapkan Sjahroedin-Syamsurya cacat hukum. Namun, MA tidak memerintahkan Alzier dikembalikan ke kursi gubernur.

Wakil Ketua DPRD Lampung Nurhasanah mengakui situasi konflik pimpinan daerah di Lampung sudah membaik. "Kita tidak berbicara tentang adanya berbagai kubu, tetapi bagaimana lebih kompak sebagai penyelenggara negara di Lampung. Kuncinya, semua harus melakukan sesuai aturan."

Sementara itu, Wapres Jusuf Kalla yang juga Ketua Umum DPP Partai Golkar mengatakan bisa menerima islah tersebut.

"Yang paling penting, kepemimpinan daerah di sana harus membuktikan bahwa dengan kembali pada fungsi masing-masing harus betul-betul daerah itu bisa berkembang," kata Kalla. (Wis/Rdn/Fud/MJ/X-11)

Sumber: Media Indonesia, Sabtu, 25 November 2006

Friday, November 24, 2006

Esai: Pemikir(an) Kebudayaan Lampung

-- Udo Z. Karzi*


Terus terang, saya berharap banyak mendapatkan "sesuatu" ketika menghadiri peluncuran buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran (Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2006) karya H. Rizani Puspawidjaya, S.H. di Hotel Indra Puri, Bandar Lampung, 19 Oktober 2006. Meski telat saya dapat menangkap substansi dari acara ini: tak lebih dari membicarakan masalah lama yang -- menurut saya -- sudah terlalu sering dibahas.

Ah, mungkin saya terlalu berharap banyak pada pertemuan itu. Barangkali juga saya terlalu terobsesi ingin menemukan hal yang terasa menggairahkan dari apa yang saya angan dari "kebudayaan Lampung". Sungguh, terlalu minim untuk berbicara secara lebih komprehensif tentang yang disebut dengan kebudayaan Lampung. Buku Hukum Adat dalam Tebaran Pemikiran terlalu sedikit untuk menjawab rasa ingin tahu saya tentang: Apa, siapa, dan bagaimanakah manusia dan kebudayaan Lampung itu?

Relatif tidak ada yang baru -- minimal interpretasi baru tentang kebudayaan Lampung -- dari isi buku ini. Kalau dirujuk, masalah-masalah yang dibahas tidak jauh dari hasil diskusi/seminar yang melibatkan, antara lain Prof. Hilman Hadikusuma (alm.), Anshori Djausal, A. Effendi Sanusi, Sanusi Husin, Firdaus Augustian, dan Rizani Puspawidjaya sendiri selama ini. Semua pembicaraan itu sebenarnya sudah terangkum dalam buku Adat Istiadat Lampung (diterbitkan Kanwil Depdikbud Lampung, 1979/1980; cetak ulang 1985/1986) yang ditulis Hilman Hadikusuma dkk.

Sebenarnya, tidak ada persoalan kalau tak ada buku-buku: Manusia Indonesia (karya Mochtar Lubis) yang disusul buku-buku tentang manusia/kebudayaan Jawa, Sunda, Bugis/Makassar, Batak, Minangkabau, dan lain-lain yang ditulis para sejarahwan-sosiolog-antropolog. Dan, baru-baru ini terbit dua buku antropologi dan sejarah terjemahan: Bugis (karya Christian Pelras) dan Kerajaan Aceh, Zaman Iskandar Muda 1607-1636 (karya Denys Lombard).

Membaca buku-buku textbook itu, saya merasa semakin "cemburu" ketika dihadapkan pada sebuah konsep yang mahakomplek tentang manusia/masyarakat dan kebudayaan Lampung. Referensi yang sudah ada -- menurut saya -- sangat tidak cukup untuk menerangkan konsep itu. Kebanyakan ulun Lampung hanya bicara hal-hal kecil tentang sastra lisan Lampung, bahasa Lampung, kesenian Lampung, piil pesenggiri, adat istiadat, kebiasaan, serta hal-hal lain yang serbakecil semacam Tugu Siger, perbedaan Pepadun dan Peminggir (menurut textbook bukan Pesisir atau Saibatin!), dan pembagian orang Lampung secara sektarian (orang Abung, orang Menggala, orang Pubian, orang Sungkai, orang Way Kanan, orang Belalau, dll) yang tidak akan mampu menerangkan apa yang dimaksud dengan kebudayaan Lampung secara general.

Kebudayaan Lampung?


Sebelum masuk terlalu jauh, saya ingin mengutipkan sebuah definisi tentang kebudayaan. Soalnya, konsep ini terlalu sering disempitkan artinya dengan kesenian, adat-istiadat, atau apalah.

Kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu sikap dan orientasi nilai yang mempengaruhi pemikiran dan mendorong ke suatu tindakan; serta seni budaya sebagai wujud material kebudayaan yang dapat menghasilkan interaksi secara dinamis dan reflektif antara jati diri bangsa dan modernitas. Wujud konkretnya, antara lain mendorong tumbuhnya rasa percaya di antara sesama warga bangsa, disiplin, meletakkan pendidikan dalam pusat kehidupan, dan tidak hidup konsumtif.

Kebudayaan bisa diteropong dari berbagai sudut pandang. Tetapi, setidaknya ada tiga dimensi yang dicakup kebudayaan. Ketiga dimensi itu adalah dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku.

Dimensi ide menyangkut nilai-nilai kehidupan, tujuan-tujuan, dan cita-cita yang kadang-kadang bersifat utopis dan dikemukakan sebagai sesuatu arahan untuk bergerak maju. Budaya material berwujud ke dalam, antara lain seni dan bentuk-bentuk peninggalan masa lalu seperti karya arsitektur, prasasti, dan bangunan candi. Dimensi perilaku adalah wujud yang hadir sehari-hari, termasuk di dalamnya bahasa.
Saat ini ada kecenderungan kebudayaan diasingkan dari fakta sosial, ekonomi, dan politik. Tetapi, pada saat yang sama kebudayaan menemukan perannya sebagai pentas untuk merayakan gaya hidup yang menakutkan dan juga membius (Ninuk Mardiana Pambudy, Kompas, Senin, 31 Juli 2006).

Definisi kebudayaan ini menunjukkan kepada kita betapa luasnya cakupan konsep kebudayaan. Maka, ketika kita disodorkan sebuah pertanyaan tentang apa dan bagaimana kebudayaan Lampung itu, tidak bisa tidak tercakup di dalamnya dimensi ide, dimensi material, dan dimensi perilaku. Pertanyaannya, dimensi ide, material, dan perilaku apakah yang khas yang melekat pada ulun Lampung (masyarakat Lampung secara kolektif)? Saya pikir, tidak mudah menggambarkan masalah ini secara sistematis, komprehensif, dan ilmiah; yang bukan berdasarkan prasangka.

Piil Pesenggiri


Bagian yang kembali menyulut perdebatan adalah konsep piil pesenggiri. Rizani Puspawijaya menuturkan, pada 1988, saat digelar Dialog Kebudayaan Daerah Lampung, Rizani Puspawijaya dan almarhum Hilman Hadikusuma berusaha mereaktualisasikan konsep piil pesenggiri sebagai kearifan budaya Lampung. Ketika itu, para intelektual Lampung masih sulit menerimanya dengan berbagai argumentasi penolakan. "Saya yang pertama sekali memperkenalkan konsep filsafat piil pesenggiri dalam skripsi gelar sarjana. Bersama almarhum Prof. Hilman Hadikusuma, konsep itu terus dipelajari dan dikaji sehingga bisa dirumuskan unsur-unsur pembentuk piil pesenggiri yang terdiri dari juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai-sambaiyan, dan titie gemanttei," kata Rizani Puspawidjaja (Lampung Post, 20 Oktober 2006).

Beberapa minggu setelah itu, Firdaus Augustian menulis "Puzzle Bernama Piil Pesenggiri" (Lampung Post, 11 November 2006) yang menggugat piil pesenggiri. "Rasanya terlalu berlebihan kalau kita mengatakan tatanan moral piil pesenggiri yang merupakan inspirasi dan motivasi berpikir dan bersikap masyarakat Lampung, hanya dikenal masyarakat Lampung. Kebudayaan lain pun apalagi pada masyarakat tradisional amat akrab terhadap tatanan moral ini. Bahkan, tatanan moral ini telah built in dalam kehidupan mereka," kata Firdaus.

Tapi segera saja Fachruddin (Lampung Post, 18 November 2006) menampik dengan mengatakan, piil pesenggiri sudah menjadi milik perguruan tinggi, diuji para guru besar dengan pendekatan akademis, bukan sekadar puzzle dengan tantangan yang relatif ringan. Piil pesenggiri sebuah keseriusan, seriusnya mereka yang mengidamkan berdirinya Kesultanan Islam Lampung, di mana piil pesenggiri sebagai dasar nilainya.

Masih menurut Fachruddin, berbeda dengan piil pesenggiri yang dipanuti masyarakat Lampung. Banten memberikan advokasi dengan kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diturunkan kepada Keratuan Darah Putih, yang diniatkan untuk masyarakat mulai dari Kalianda, Padang Cermin, Cukuh Balak, hingga Semaka. Sebenarnya para pimpinan adat telah siap mendukung berdirinya Kesultanan Islam Lampung bersama Keratuan Pugung.

"Saya pernah dikejutkan ketika menghadiri upacara anjau marga di daerah Cukuh Balak, ternyata ada seorang tokoh adat yang berpidato dengan inti pidato: khepot delom mufakat, khopkhama delom bekekhja, tetengah tetanggah, bupudak waya, bupiil bupesenggir. Berarti di daerah pesisir pun dikenal piil pesenggiri, kendati sedikit berbeda. Tetapi mengapa kita harus sibuk mencari perbedaan, bukankah lebih baik kita mencari persamaan agar kekayaan yang masih terpendam ini dapat digali sebagai sumbangan bagi kemajuan ummat manusia," tulis Fachruddin.

Begini -- ini menurut saya -- masih dibutuhkan penelitian (reseach) mendalam soal piil pesenggiri. Saya pikir, piil pesenggiri bukan kitab suci yang tidak bisa dipermasalahkan. Misalnya, masih dibutuhkan bukti yang lebih banyak lagi soal betapa orang Lampung tak bisa lepas dari piil pesenggiri-nya. Syukur-syukur ada interpretasi atau tafsir baru piil pesenggiri.

Ada tidak ada, yang jelas dia sudah menjadi wacana publik, menjadi bagian dari konsep adat-istiadat Lampung dan sebagian kecil dari konsep besar bernama kebudayaan Lampung.

Pemikir(an) Kebudayaan Lampung


Saya sebenarnya gembira ketika Rizani mengatakan, orang Lampung itu terbuka, demokratis, dan ada konsep kepemimpinan Lampung?

Wah, saya pikir ini kan kajian yang menarik tentang konsep-konsep kekuasaan Lampung (sebagai contoh, konsep kekuasaan Jawa sudah jelas dipaparkan oleh Benedict Anderson, Cliffort Geerth, dll). Sayangnya, tidak ada yang mengelaborasi lebih jauh, tentang bagaimana sikap terbukanya orang Lampung itu, dimana letak demokratis orang Lampung, dan bagaimana contoh kepemimpinan Lampung itu.

Saya hanya memimpikan penelitian dan diskusi sosial dan kebudayaan Lampung marak. Dengan kata lain, Lampung memiliki banyak pemikir dan pemikiran kebudayaan Lampung. Sehingga orang tak lagi berkata, "Kebudayaan Lampung, Api Muneh" (Udo Z. Karzi, Lampung Post, 23 Oktober 2005). Cuma siapakah yang mau memulai? Pemerintah daerah yang lebih berorientasi "proyek" susah diharap. Yang paling mungkin adalah perguruan tinggi, terutama Universitas Lampung (baca: Udo Z. Karzi, "Unila sebagai Pusat Kebudayaan Lampung", Lampung Post, 8 April 2006), yang paling kompeten. Atau adakah orang atau lembaga yang lebih tepat?

Pemikiran kebudayaan Lampung hanya akan lahir dari pemahaman konsep kebudayaan yang benar dan dari riset dengan metodologi yang benar oleh peneliti/pemikir kebudayaan yang teliti, tekun, dan konsisten. Tentu saja, gagasan kebudayaan yang muncul tidak berasal dari pemikiran sempit dan sektarian yang membagi-bagi Lampung menjadi bagian yang kecil-kecil: adat Pepadun dan adat Peminggir, bahasa dialek A (api) dan O (nyo), Menggala, Abung, Pepadun, Melinting, Belalau, Way Kanan, Kalianda, dan seterusnya.

Budaya Lampung. Bahasa Lampung. Adat Lampung. Kesenian Lampung. Sastra Lampung.... dst. Lampung!

Saya menulis dalam bahasa Lampung. Tidak saya namai bahasa Lampung Pesisir. Cukup saya katakan: memakai bahasa Lampung?

Bisakah kita -- ulun Lampung -- berbicara dengan bahasa kesatuan: Lampung (!) untuk kemudian secara bersama merumuskan kebudayaan Lampung?

Sungguh, belum ada lagi pengganti pakar hukum adat Lampung almarhum Prof. Hilman Hadikusuma!

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 2 Desember 2006

Thursday, November 23, 2006

Pembukaan Program Studi Kesehatan dan Bahasa Lampung Terbentur Aturan

BANDAR LAMPUNG (Lampost): Dekan FKIP Universitas Lampung (Unila) Sudjarwo mengatakan, Program Studi Sarjana Kesenian dan Bahasa Lampung belum bisa dibuka Unila. Pasalnya, sesuai dengan peraturan Ditjen Pendidikan Tinggi (Dikti), dalam rangka menata kualitas perguruan tinggi negeri dan swasta tidak ada izin untuk pembukaan prodi baru.

"Kami tidak tahu pembatasan izin ini sampai kapan, tetapi hingga kini, Dikti belum memberikan lampu hijau untuk pembukaan jurusan baru. Sebab, menata kualitas perguruan tinggi bukan hal yang mudah," kata Sudjarwo, Rabu (22-11). Padahal, FKIP Unila sejak lama mempersiapkan pengembangan program studi yang dibutuhkan masyarakat. Beberapa di antaranya program S-1 Kesenian dan Bahasa Lampung yang sangat dibutuhkan tenaga-tenaga pendidik di Lampung yang rata-rata masih D-1, D-2 dan D-3.

Sebab itu, kata Sudjarwo, untuk sementara pihaknya masih mengoptimalkan peningkatan kualifikasi guru-guru mata pelajaran MIPA murni untuk menyongsong sertifikasi guru seperti program kualifikasi untuk guru Matematika, Fisika, Kimia dan Biologi yang belum bergelar sarjana. "FKIP Unila menjalin kerja sama dengan Pemkot Metro dan Lampung Tengah meningkatkan kualifikasi akademik 80 guru yang masih D-2," kata Sudjarwo.

Sebelumnya, Kepala SMPN 2 Bandar Lampung, Sartono, mengatakan SMPN 1 Bandar Lampung masih memiliki dua guru mata pelajaran yang mengajar tidak sesuai dengan latar belakang studinya, yaitu pelajaran Bahasa Lampung diajar guru yang berlatar belakang Sarjana Bahasa Indonesia, dan pelajaran Kesenian oleh guru yang hanya lulusan D-2. Apabila sertifikasi guru diterapkan mulai 2007, guru dua bidang itu akan kesulitan mengikuti sertifikasi guru.

Hal itu juga terjadi di SMPN 1 Bandar Lampung. Kepala SMPN 1, Haryanto, mengatakan guru bidang studi Kesenian masih lulusan D-3 Kesenian. Begitu juga di SMAN 9 Bandar Lampung, mata pelajaran Kesenian dipegang guru yang berlatar belakang PPKn. RIN/S-1

Sumber: Lampung Post, Kamis, 23 November 2006

Wednesday, November 22, 2006

Jejak Peradaban: Batanghari dan Eksploitasi Emas

-- Bambang Budi Utomo*


KETIKA Sungai Batanghari sedang surut, di sebuah kampung, seorang nenek bersama cucunya asyik mengais rezeki di tanah pasir pinggiran sungai. "Kalau sedang mujur, kami bisa mendapatkan dua-tiga gram emas di pasir ini," ujar si nenek sambil mengayak butiran pasir.

Tidak seperti nenek dan cucunya tadi, mereka yang mempunyai modal cukup membuat donfeng (perahu penyedot pasir) untuk mencari "hanyutan" emas dari daerah hulu. Alih-alih menyedot pasir atau kerikil, yang dicari adalah bijih emas. Aktivitas itulah yang terjadi sepanjang tahun di Sungai Batanghari sampai ke daerah hulunya.

Nama asli Pulau Sumatera, sebagaimana ditemukan dalam cerita rakyat, adalah "Pulau Emas". Sejak zaman purba, pulau ini memang sangat terkenal oleh hasil tambang emasnya.

Istilah Pulau Ame terdapat dalam kaba Cindua Mato dari Minangkabau. Dalam cerita rakyat Lampung tercantum nama tanoh emas. I-tsing, pendeta Buddha dari Tiongkok, menyebutkan chin-chou (negeri emas). Berita-berita Arab menyebut dengan nama Sarandib, yaitu transliterasi dari nama Sanskerta, Swarnnadwipa, yang artinya "Pulau Emas".

Nama Sanskerta lain untuk Swarnnadwipa adalah Swarnnabhumi (tanah emas). Dalam berbagai prasasti, Sumatera dikenal dengan nama Swarnnadwipa atau Swarnnabhumi.

Penambangan emas

Pada umumnya kegiatan penambangan emas pada masa lampau dilakukan baik di daerah endapan aluvium maupun endapan sungai yang mengandung bijih emas. Emas demikian bersifat sekunder dan disebut dengan istilah plaser.

Emas sekunder itu berasal dari batuan yang ditemukan di daerah pegunungan. Emas sekunder ini kemudian dipengaruhi oleh proses pelapukan serta pengikisan.

Hasil kedua proses itu kemudian dihanyutkan air ke tempat yang lebih rendah. Di tempat yang rendah ini kemudian terkumpul di suatu dataran. Di tempat inilah terdapat konsentrasi emas yang tinggi dan dapat ditambang dengan menggunakan teknologi sederhana.

Manuel Godinho de Ereda, pengelana Portugis yang berkunjung ke Sumatera pada tahun 1807, melaporkan kegiatan pendulangan emas. Setiap pagi, sekelompok penduduk Kerajaan Kampar masing-masing membawa ayakan halus untuk mengayak pasir dari Sungai Sunetrat (Sungai Dareh). Dengan cara ini, butiran emas sebesar biji-bijian atau seukuran sisik ikan dapat tertinggal dalam ayakan.

Butiran yang lebih besar didapat dari tanah yang berasal dari sumur galian di tepi sungai. Tanah galian ini kemudian dijemur di tepi sungai hingga kering. Panas matahari menjadikan bongkahan tanah itu pecah dan hancur. Dari tanah yang hancur ini, kemudian tampak butiran emas. Segenggam tanah kering dapat diremas dengan tangan secara mudah dan butiran emas dapat diambil.

Di daerah tepian Sungai Batanghari, penduduk mencari emas sekunder dengan cara menyirami tepian sungai dengan air. Siraman air digunakan untuk menyingkirkan tanah atau pasir yang ada di permukaan.

Apabila tanah di tepi sungai mengandung emas, setelah permukaannya tersingkap akan tampak butiran emas sebesar biji jawawut atau kacang hijau. Kadang-kadang pasir atau tanah yang mengandung butiran emas ini diendang dengan menggunakan wadah bundar yang bagian bawahnya mengerucut.

William Marsden, pengelana Inggris yang bertandang ke Sumatera (1771-1779), menceritakan tentang kegiatan penambangan emas di daerah Minangkabau. Berdasarkan tempat asalnya, bijih emas dibagi menjadi dua kelompok, yaitu amas sepayang atau emas primer dan amas sungei abu atau emas sekunder.

Peralatan yang dipakai untuk kegiatan itu, antara lain, adalah linggis, sekop, palu besi besar untuk menghancurkan batuan yang mengandung bijih emas, lumpang batu, dan wadah untuk tempat mengumpulkan hancuran batuan yang mengandung bijih emas.

Wadah ini bentuknya seperti perahu dengan ujungnya mempunyai tali untuk penarik. Setelah penuh, tempat itu kemudian ditarik keluar dari terowongan tambang ke suatu tempat yang berair. Air dipakai untuk memisahkan butiran emas dari batuan kuarsa pengandungnya yang telah ditumbuk halus.

Daerah penghasil emas di wilayah Kabupaten Tanah Datar ada di sekitar lembah Sungai Selo, Sungai Sinamar, dan Sungai Sumpur. Dari tempat-tempat ini, emas ditambang dan diendang untuk kemudian dipasarkan melalui dua jalan yang cukup sulit untuk masa itu. Daerah pemasaran emas ada di wilayah pantai barat dan pantai timur Pulau Sumatera.

Daerah lain yang merupakan tempat penghasil emas adalah di suatu tempat yang dikenal dengan nama Pangkalan Jambu, berdekatan dengan Kerinci, dan lembah Sungai Mesuji, Sungai Merangin, Batang Asai, Sei Limun, yang kaya dengan endapan emas. Di daerah ini masyarakat mendulang emas pada musim kering. Kegiatan ini sudah berlangsung sejak lama.

Emas merupakan hasil tambang yang utama dari Sumatera. Logam ini telah ditambang di Sumatera sejak sebelum kedatangan bangsa Eropa ke Asia Tenggara. Demikian pentingnya emas dari daerah Minangkabau. Sebuah sumber menginformasikan bahwa Kesultanan Malaka pernah menantang Kesultanan Deli, Rokan, Siak, Kampar, dan Indragiri untuk memastikan ia dapat menjamin keamanan perdagangan emas dari kawasan pedalaman Minangkabau.

Artefak emas

Sebagai kawasan penghasil emas, sejak zaman purba dan ketika Malayu mencapai kejayaannya, penduduk di sekitar Batanghari telah menghasilkan barang-barang emas. Barang tersebut ada yang berupa arca dan ada pula yang berupa perhiasan.

Pada sungai yang panjangnya lebih dari 1.000 kilometer itu banyak situs arkeologi yang mengandung temuan artefak emas. Mulai dari kawasan hilir di daerah delta Batanghari hingga kawasan hulunya samapai saat ini banyak ditemukan artefak emas. Dapat dikatakan hampir di setiap situs percandian ditemukan artefak yang terbuat dari emas.

Di situs Lambur, di kawasan delta Batanghari, ditemukan ikat pinggang dan perhiasan berupa kalung dari emas. Temuan ini bercampur dengan temuan lainnya yang berupa manik-manik dan barang-barang keramik. Di situs Percandian Muara Jambi, artefak emas juga ditemukan dalam bentuk perhiasan dan lembaran-lembaran prasasti. Meskipun ukurannya kecil, jumlahnya cukup banyak.

Di daerah hulu, masih di wilayah Provinsi Jambi, di situs Rantau Kapas Tuo, ditemukan arca perunggu yang dilapisi emas. Ukurannya cukup besar, yaitu sekitar 40 cm. Meskipun mempunyai gaya seni India Selatan, ada indikasi arca tersebut dibuat di Sumatera. Arca Awalokiteswara yang memakai pakaian kulit harimau merupakan ciri bahwa arca tersebut dibuat di Sumatera.

Sumatera memang layak disebut Swarnnadwipa atau Swarnnabhumi yang berarti "pulau emas". Di saat yang sulit ini, ketika Sumatera sedang kemarau dan kebakaran di mana-mana, banyak penduduk kampung yang mengendang emas. Hasilnya cukup lumayan jika sekadar untuk makan.

Mungkin yang perlu segera diwaspadai adalah para pemilik donfeng karena mereka menggunakan air raksa untuk memisahkan bijih emas. Apabila jumlahnya sudah banyak, akan sukar untuk mencegahnya, seperti yang terjadi di Bangka dengan tambang inkonvensionalnya.

* Bambang Budi Utomo, Kerani Rendahan pada Puslitbang Arkeologi Nasional

Sumber: Kompas, Rabu, 22 November 2006

Esai: Memahami Kreativitas Nawal


-- Jaleswari Pramodhawardani*

Konon menurut Tao, seorang pemimpin yang baik adalah ibarat sebuah danau. Dalam dan menampung. Dia tidak lasak dan tidak berada di pucuk tertinggi. Karena itu, kepemimpinan yang baik tidak dinilai dari sekadar keberaniannya bertindak, namun terjadi ketika sebuah tindakan merupakan bagian dari hidup yang utuh yang mengaktualisasikan diri. Termasuk menghargai sebuah kreativitas dan ketidaksepakatan yang berhadapan dengan dirinya.

Mungkin almarhum Anwar Sadat, Presiden Mesir saat itu belum mengetahui hal ini. Memang, dunia internasional memberikan penghargaan Nobel Perdamaian (1978) kepadanya. Tetapi ia juga tampaknya sebuah contoh dari apa yang dikatakan Nawal El Saadawi sebagai produk dari sebuah sistem demokrasi Barat yang salah. Kekuasaan kepemimpinannya diterjemahkan tidak lebih dari pusaran kekuatan militer, kekuasaan uang, kepentingan multinasional dan lain-lain.

Itulah sebabnya ketika Nawal melalui sebuah artikelnya menunjukkan kontradiksi kebijakan Sadat yang membawa implikasi bagi kehancuran ekonomi dalam negeri dengan meningkatnya jurang antara si miskin dan si kaya dan juga menggambarkan bagaimana Sadat mendorong gerakan fundamentalisme keagamaan di negaranya, hasilnya adalah penjara baginya.

Menurutnya, kenyataan pahit itu bukanlah khas Mesir, negaranya, namun juga terjadi di belahan bumi mana pun, seperti yang dikatakannya dalam sebuah wawancaranya.

If you really want to change the system, the capitalist system here, or in any country, you will be a dissident and you may land in jail, in prison, as happened to me in Egypt. Now here the system, the establishment is so strong, that writers can not change anything. In Bangladesh, in Egypt, in Africa, you know, you can make a revolution by an article. Sadat put me in prison because of one article I wrote. Just one article.

Siapakah Nawal el Saadawi?


Dilahirkan pada 1931, dari sebuah keluarga terhormat di Desa Kafr Tahla di daerah delta Mesir, Nawal tumbuh sebagai seorang feminis Mesir terkemuka yang disegani di panggung feminisme internasional. Ayahnya adalah pejabat tinggi dalam Departemen Pendidikan Mesir. Nawal sendiri adalah seorang ahli sosiologi, dokter, dan seorang pengarang.

Nawal tergolong pengarang Mesir kontemporer dengan hasil karya yang paling banyak diterjemahkan ke dalam 12 bahasa sedunia. Ia menghasilkan karya klasik tentang perempuan dunia Islam. The hidden face of eve (Wajah Rahasia Kaum Hawa) dan banyak karya terbitan lain, termasuk naskah sandiwara, koleksi cerita pendek, karya nonfiksi, dan novel yang sebagian besar telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, beberapa di antaranya dalam terjemahan bahasa Indonesia, antara lain Women at Point Zero (Perempuan di Titik Nol), Death of an Ex-Minister (Akhir Hayat Seorang Mantan Menteri), Searching (Mencari), The Innocence of the Devil (Tak Berdosanya Sang Setan) (California, 1994).

Karya-karyanya banyak menohok kalangan muslim dan penguasa di negaranya. The Fall of the Imam (Jatuhnya Sang Imam) misalnya, dalam novel tersebut Nawal berkisah tentang perjuangan dan perlawanan seorang anak perempuan yang lahir tanpa ayah. Sang ibu dianggap sebagai seorang perempuan pezina, namun semua orang, mulai dari penjaga hingga sang Imam telah tidur bersamanya. Akibat keingintahuannya tentang keturunannya, ia selalu dikejar-kejar dan akhirnya tertangkap dan dijatuhi hukuman mati. Novel ini berisi tentang kejatuhan para pemimpin yang selalu bersembunyi di balik nama agama dan Tuhan.

Yang menarik dalam novel ini adalah keberanian pengarangnya dalam mendobrak sistem dan (manipulasi) ajaran agama yang selama ini sering terjadi. Semua itu banyak terungkap dalam dialog-dialog lugas yang terjadi antara sang putri dan para pengikut sang Imam, juga dengan teman-temannya

Selain itu, karismanya di bidang kesehatan umum sangat mencolok, baik di Mesir maupun di luar negeri, sampai ia mengakhiri jabatan sebagai Dirjen Pendidikan Kedokteran, Kementerian Kesehatan di Kairo tahun 1972. Ia diberhentikan oleh instansi tersebut termasuk pencopotannya sebagai direktur kesehatan masyarakat akibat tulisannya yang blak-blakan tentang seksualitas, terutama dalam karyanya Woman and Sex.

Sembilan tahun kemudian, pada 1981, ia dipenjarakan atas tuduhan 'perbuatan kriminal terhadap negara' oleh Presiden Anwar Sadat sebagai bagian dari penangkapan dan penahanan besar-besaran tokoh-tokoh intelektual Mesir. Bahkan setelah pembebasannya, jiwanya terancam dan selama beberapa tahun rumahnya di Giza dijaga oleh satpam bersenjata, sehingga ia meninggalkan negerinya untuk menjadi profesor kunjungan pada berbagai universitas di Amerika Utara. Hingga sekarang ia tetap menulis dan berkampanye demi kebebasan dan keadilan perempuan dan laki-laki.

Feminisme Nawal

Nawal sering terkesan menyerang Islam dan sistem politik negaranya, Mesir. Namun, dalam pembicaraannya di berbagai forum internasional dan sebagai pembicara kunci di hampir seluruh universitas di Amerika serta institusi akademik lainnya, ia tidak kehilangan daya kritisnya terhadap AS terutama prasangka buruknya terhadap dunia Islam. Dalam hal ini ia mempunyai pendapatnya sendiri When you criticise your own culture, there are those in your culture who are against you, who say: 'Don't show our dirty linen outside.' I don't believe in this theory. I speak one language, whether inside the country or outside. I must be honest with myself."

Mungkin kepedulian, keberanian, dan kejujurannya ini merupakan pilihan sikap dan bentuk perlawanannya terhadap sistem patriarkat dan corporate capitalism yang ditolaknya selama ini.

Tentang feminisme, ia mengatakan bahwa di Mesir sedikit sekali, untuk tidak mengatakan tidak ada feminis. Menurutnya, feminisme adalah perjuangan melawan patriarkat dan kelas. Sekaligus perlawanan terhadap dominasi laki-laki dan dominasi kelas. Dan menurutnya opresi yang dilakukan keduanya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Karena hal itu saling berkaitan.

Ia juga mengkritik kaum feminis, yang menurutnya sebagian besar memiliki 'kesadaran palsu' terhadap perjuangan yang mereka lakukan. Menurutnya, kalangan feminis sering tidak menyadari bahwa mereka menjadi korban fundamentalisme keagamaan dan konsumerisme Amerika. Ketidaksadaran mereka tentang hubungan antara kebebasan perempuan di satu sisi dan ekonomi serta negara di sisi lain, sering membuat perempuan hanya terfokus pada perjuangan melawan patriarkat semata dan mengabaikan bahaya corporate capitalism bagi kehidupan perempuan dan masyarakat.

Pernyataan keras ini sekilas mengesankan pandangan seorang feminis konservatif, feminis eksistensialis gelombang kedua yang masih meneguhkan wacana hegemonik dominan. Namun jika kita meletakkan dalam konteks apa yang dikatakan spoonley (1995) sebagai ''...kekhususan yang muncul sebagai hasil dari politik identitas yang dilokalisasi, kita akan melihat suatu model perlawanan pluralistik yang telah dijelaskan oleh Yeatman (1993) sebagai saling menghubungkan penindasan''.

Nawal tidak sendirian di sini, Yeatman mengutip Bell Hooks sebagai contoh dari seorang feminis Afrika-Amerika, yang dalam mengkritik feminisme gelombang kedua, mengartikulasikan politik perbedaan dalam menunjukkan apa yang dimaksud dengan menjadi kulit hitam dan seorang perempuan.

Hooks (1984) mengatakan bahwa sebagai suatu kelompok, perempuan kulit hitam berada pada posisi yang tidak lazim dalam masyarakat. Tidak saja karena status sosial ekonomi pekerjaan yang memosisikan mereka sebagai kelompok paling rendah di kelompok mana pun, namun kelompok mereka adalah kelompok yang tidak disosialisasikan untuk berasumsi pada peranan pengeksploitasi/penindas.

Dengan demikian, mereka tidak diizinkan untuk mengeksploitasi atau menindas 'yang lain' yang diinstitusionalkan. Berbeda dengan perempuan kulit putih dan laki-laki kulit hitam yang memiliki dua cara. Mereka dapat bertindak sebagai yang menindas dan ditindas.

Dalam derajat yang berbeda, agaknya persoalan Nawal dan kelompok perempuan Mesir (Timur Tengah) lainnya dalam perjuangannya melawan 'penindasan' ini harus diletakkan dalam kerangka pemahaman yang sama, kendatipun mempunyai corak dan renik-renik penindasan yang berbeda.

Kunjungannya ke Indonesia sebagai pembicara kunci dalam Konferensi International Ketujuh Women Playwrights International pada 19-26 November 2006, tentulah mempunyai alasan tersendiri dan bisa jadi menginspirasi gerakan perempuan di Indonesia, terutama sikap dalam memperjuangkan sesuatu yang diyakininya melalui kepedulian, keberanian, dan kejujuran.

* Jaleswari Pramodhawardani, Peneliti LIPI dan Board The Indonesian Institute

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 22 November 2006

Tuesday, November 21, 2006

Korupsi Sudah Menjadi Kebiasaan, Birokrasi Patrimonial Sumber Masalah

Jakarta, Kompas - Korupsi menjadi tradisi dalam birokrasi patrimonial, yang mengejawantahkan bentuknya dalam sistem masyarakat feodal. Ironisnya, corak dan sistem seperti ini tetap dipertahankan sebagai sebuah kewajaran. Di Indonesia, korupsi telah menjadi kebiasaan sejak zaman lampau.

Fenomena korupsi yang dikemukakan Mochtar Lubis (1922-2004) itu dipaparkan Mansyur Semma dalam disertasinya berjudul "Negara dan Korupsi dalam Pandangan Mochtar Lubis". Mansyur yang menganalisa pandangan Mochtar Lubis dalam editorial harian Indonesia Raya dengan pendekatan antropologi politik memperoleh gelar doktor dalam bidang ilmu sosial dari Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin (Unhas), akhir pekan lalu.

"Pemikiran Mochtar tentang korupsi terkait dengan budaya politik di kalangan penguasa. Mochtar tidak memandang korupsi sebagai fenomena budaya, dalam arti korupsi bukanlah budaya. Akan tetapi, korupsi bisa saja membiadab bila struktur sosial, ekonomi, dan juga politik mengalami kebuntuan birokratis. Korupsi dapat berubah menjadi kanker yang sangat ganas dan mematikan," papar lulusan Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia (UI) itu.

Menurut dosen Komunikasi FISIP Unhas yang menyandang tunanetra itu, Mochtar menggunakan pandangan Max Weber tentang kekuasaan birokrasi patrimonial sebagai dalil dalam menjelaskan segenap akar tindakan korupsi yang terjadi di Indonesia. Negara birokrasi patrimonial adalah lingkungan terbaik bagi tumbuh suburnya korupsi.

Mochtar melihat bahwa praktik korupsi tidak saja dalam bentuk-bentuk yang tradisional di masa lampau, melainkan juga dalam bentuk-bentuk yang baru, dengan memakai kedok birokrasi modern seperti badan pengawas keuangan negara, inspektur jenderal di tiap kementerian, parlemen, dan aparat penuntut umum.

"Warisan birokrasi patrimonial modern dan masa feodalismenya di Indonesia telah menimbulkan birokrasi nepotisme, yang memberi jabatan atau jasa khusus kepada sanak dan sahabat. Dalam lingkungan yang seperti itu, korupsi dianggap sebagai sesuatu yang wajar saja dan masyarakat pun tidak marah jika mengetahui berbagai tindak korup telah terjadi," tutur Mansyur Semma.

"Bung" yang hilang


Dalam disertasi Mansyur, dikemukakan gambaran Mochtar mengenai kuatnya kekuasaan birokrasi patrimonial di Indonesia dengan hilangnya sapaan "Bung" di antara lelaki.

Sapaan "Bung" yang digunakan dari opas kantor dan prajurit sampai pada jenderal dan presiden pada masa revolusi kemerdekaan itu kini berganti menjadi "Bapak’, meski yang menyapa jauh lebih muda. Itu menunjukkan betapa sangat kuatnya kebiasaan- kebiasaan yang berakar dari negara birokrasi patrimonial.

Menurut Mochtar, akibat dari korupsi tidak saja akan menggerogoti struktur kenegaraan secara perlahan, tetapi akan menghancurkan segenap sendi penting dalam negara. "Akibat paling nyata yang dilihat Mochtar dari fenomena korupsi adalah hilangnya kesadaran rakyat banyak tentang hak mereka sebagai warga negara dan ketidakpeduliannya pada sistem kenegaraan suatu bangsa tempat korupsi berlangsung," kata Mansyur.

Mansyur mengemukakan, penelitiannya menunjukkan bahwa Mochtar Lubis adalah tokoh yang terbentuk dari sejarah yang panjang dan dipengaruhi oleh latar belakang keluarga, pendidikan, ideologi jurnalis, pemilik media, serta konteks kebudayaan dan sejarah masyarakat sekitarnya.

"Ia tak pernah mengkritik tanpa alasan atau merusak kehormatan orang. Yang ia kritik adalah kesalahan, tingkah laku yang merugikan masyarakat," kata Mansyur. (LAM)

Sumber: Kompas, Selasa, 21 November 2006

Monday, November 20, 2006

Nuansa: Jangan Bilang Tidak

-- Udo Z. Karzi


JANGAN sering-sering bilang tidak. Sebab, Mamak Kenut paling sebel dengar orang bilang tidak. Secara tata bahasa, kalimat yang mengandung kata "tidak" atau "bukan" digolongkan sebagai kalimat negatif. Bukan kalimat positif. (Dalam tata bahasa Inggris dikenal kalimat positif, negatif, dan interogatif).

Kalimat negatif lebih sering bermakna negatif. Kadang-kadang penuh keraguan, ambigu, dan bisa menimbulkan salah pengertian.

Tapi, entahlah. Mamak Kenut mulai mengeja kalimat-kalimat dan judul berita begini:

Pemkot tidak jamin keamanan papan reklame. Pemkot Bandar Lampung ternyata tidak pernah memeriksa keamanan konstruksi papan reklame yang kini menjamur di setiap sudut kota. Padahal, setiap tahun Pemkot menarik PAD miliaran rupiah dari retribusi. Sejauh ini, kata dia, upaya Pemkot mengantisipasi kemungkinan terjadinya musibah akibat konstruksi papan reklame yang tidak layak hanya dilakukan melalui surat imbauan.

Buruk kan? Tidak dapat menjamin keamanan, tidak pernah memeriksa, dan papan reklame yang tidak layak adalah kalimat-kalimat negatif yang menunjukkan sikap lepas tangan, teledor, dan sembrono.

Sekarang soal bantuan puting beliung. Bawasko simpulkan tak ada penyimpangan, begitu judulnya. Lead lengkapnya: Tim verifikasi Bawasko Bandar Lampung tidak menemukan penyimpangan dalam penyaluran dana bantuan bagi korban angin puting beliung di Kelurahan Jagabaya I. Padahal, sebelumnya sejumlah warga melaporkan adanya pemotongan dana tersebut oleh Ketua RT 03 Nartojo.

Ini juga kebiasaan jelek. Dalam sejarah keberadaan Bawasko-- di mana pun--pernahkah dia menyatakan, telah terjadi manipulasi, korupsi, penyimpangan, atau apa pun? Jawabnya: tidak! Ini tradisi buruk dari Bawasko (ehh... kepanjangannya, Badan Pengawas Kota). Wajar aja, Bawasko ya tak lebih dari lembaga "pembersih" citra pejabat dan dinas/instansi pemerintah kota.

Kesimpulan "tidak menyimpang" menjadi semakin ironi manakala dihubungkan dengan berita "Karena tak Punya Uang, Luka Marzuki Hanya Disumpal Kopi". Ceritanya, pakai pepatah dulu: Nasib Ibu Jaiz seperti sudah jatuh tertimpa tangga. Lanjutnya: Belum hilang kesedihan atas kepergian suaminya, Marzuki, yang meninggal akibat tertimpa batu saat terjadinya angin puting beliung awal bulan ini, kini ia pun terlilit utang.

Syukur, dalam tubuh berita tak banyak kalimat negatif. Padahal, sebenarnya kalimat positif, "Ia bahkan enggan memberitahukan nama aslinya....", bisa dibikin negatif "Ia bahkan tidak mau memberitahukan nama aslinya". Ini bagus! Soalnya, "Gimana mau berobat kalau nggak punya duitnya," kata Ibu Jaiz.

Satu contoh lagi soal etos kerja, petugas tak temukan ada PNS mangkir. Tak seperti hari-hari sebelumnya, Rabu (15-11), Tim Gerakan Disiplin Nasional (GDN) Pemprov Lampung tidak mendapati satu PNS yang mangkir. Inspeksi mendadak (sidak) di tujuh unit pelaksana teknis daerah (UPTD) Tim GDN tidak menemukan seorang pun pegawai yang berkeliaran saat jam kerja. Kepala Satuan Polisi Pamong Praja (Pol. PP) Pemprov Lampung Muhjadi, Rabu (15-11), mengatakan tidak menyangka dengan hasil sidak yang dilakukan.

Kemajuan dong!

Iyalah jangan sering-sering tidak masuk, tidak di tempat, tidak ada, atau tidak-tidak....

Maka, cobalah membuat kalimat positif. Bukan kalimat negatif! Jadi, bukan "tidak masuk", tetapi "mangkir". Bukan "tidak disiplin", tetapi malas. Bukan "tidak bisa", tetapi memang "goblok". Bukan "tidak mampu", tetapi "bloon". Bukan "tidak bertanggung jawab", tetapi "suka lepas tangan". Bukan "tidak cantik", tetapi "jelek". Bukan "tidak baik", tetapi "bangsat". Bukan "tidak sesuai prosedur", tetapi "menyimpang". Bukan "tidak lurus", tetapi "bengkok". Bukan "tidak jujur", tetapi "tukang kibul". Bukan "tidak dapat dipercaya", tetapi "pengkhianat".

Mat Puhit sih tidak menyuruh wartawan selalu berpikir positif. Sebab, kalau jurnalis senantiasa "positive thinking", dia takkan bisa membuat berita bagus. Wartawan sih mestinya berpikir "skeptis", agar bisa menulis dengan tegas dan jelas: "Di sana ada korupsi!" Dan, bukannya sebaliknya, justru ngebelain atau memang tidak menemukan data/fakta, berkata: Tidak ditemukan bukti korupsi.

Cobalah untuk tidak berkata tidak. Caranya temukan data dan fakta di lapangan! Bukan sekadar dari omongan pejabat.

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 November 2006

Esai: Piil Pesenggiri Bukan Puzzle, Catatan untuk Firdaus Augustian

-- Fachruddin*


Menarik membaca tulisan Firdaus Agustian, Puzzle Bernama Piil Pesenggiri (Lampung Post edisi 11 November 2006). Kalau saya sarikan, dapat dikelompokkan jadi lima persoalan.

Pertama, bukan hanya piil pesenggiri, komunitas tradisional lain pun banyak yang sarat pesan kultural.

Kedua, tidak semua kelompok masyarakat Lampung akrab dengan unsur-unsur piil pesenggiri, banyak komunitas Saibatin tidak familiar dengan sakai sambaian tetapi mereka memiliki kearifan yang lain.

Ketiga, otokritik semacam yang pernah dilontarkan Muchtar Lubis perlu juga dilontarkan kepada piil pesenggiri.

Keempat, membicarakan kebudayaan lokal piil pesenggiri di tengah arus pengaruh global dirasakan bagaikan anak kecil yang main puzzle.

Kelima, budaya besar seperti Yunani, Mesir, Romania, hilang dengan sendirinya akibat eksklusifitas pendukungnya.

Gagasan Firdaus perlu dilontarkan kepada kita semua, sehingga piil pesenggiri dapat digali lebih dalam lagi.

***

Piil pesenggiri sudah menjadi milik perguruan tinggi, diuji para guru besar dengan pendekatan akademis, bukan sekadar puzzle dengan tantangan yang relatif ringan. Piil pesenggiri sebuah keseriusan, seriusnya mereka yang mengidamkan berdirinya Kesultanan Islam Lampung, di mana piil pesenggiri sebagai dasar nilainya.

Niat Fatahillah mengawini Putri Sinar Alam dari Keratuan Pugung, bukan sekadar pelepas libido, tetapi sebuah rintisan untuk mendirikan Kesultanan Islam Lampung, sebagai penyangga Banten, Cirebon, dan Demak untuk melanjutkan perjuangan dakwah Walisongo. Itu sebabnya Pangeran Sabakingking dan Ratu Darah Putih bersegera menyelesaikan konflik yang mereka hadapi dengan piil pesenggiri sebagai acuannya--simak isi Prasasti Bojong yang sejalan dengan piil pesenggiri, yaitu nemui nyimah (saling menghargai), nengah nyappur (kesetaraan), sakai sambaian (kebersamaan), dan juluk adek (terprogram) dan titi gemeti (sistematis).

Bukan hanya orang Lampung memiliki piil pesenggiri, di Batak ada dalihan na tolu, di Padang ada adat basendi syara, syara bersendi Kitabullah, Banten ada kiai dan jawara, di Madura ada NU dan carok di Bugis ada syiri. Jangan ditanya lagi di Jawa, banyak sekali ragamnya, tetapi ada dua yang benar benar populer. Pertama, tri ojo (ojo kagetan, ojo gumunan, dan ojo dumeh). Kedua, nyaris dianut para pejabat di zaman Orde Baru yaitu sugih tampo bondo, digdoyo tanpo aji, ngluruk tampo bolo, dan menang tampo ngasorake. Menang tampo ngasorake membahana disebut berkali kali di gedung DPR RI ketika Soeharto berhasil dipilih kembali untuk kesekian kalinya sebagai Presiden RI.

Itulah sebabnya para aparat istana tidak boleh pamer kekayaan (sugih tampo bondo), jangan unjuk kekuasaan (digdoyo tampo aji), jangan terlalu demonstratif dalam tindakan persuasif (ngluruk tampo bolo), dan jangan terlalu unjuk kemenangan (menang tampo ngasorake).

Konsep ini dirumuskan para bangsawan, tetapi apa arti kebangsawanannya tanpa masyarakat jelata. Karena itu, masyarakat jelata tidak boleh disakiti hatinya. Tetapi di pihak lain masyarakat jelata ditekan sedemikian rupa, dilarang unjuk pendapat, unjuk rasa, protes, apalagi berontak.

Para aparat membina budaya pepe, apabila ada resi yang protes atas kebijakan orang istana, ia harus menjemur dirinya (pepe), menentang matahari di alun alun dan jalan menuju istana. Nanti akan datang hulubalang yang akan menanyakan, protes perihal apa hingga ia menjemur diri, menentang mata hari. Barulah disampaikan protes dan ujuk pendapat secara baik. Maka, muncul istilah di kultur Jawa yaitu jo ngidoni Srengenge (jangan meludahi mata hari).

***

Berbeda dengan piil pesenggiri yang dipanuti masyarakat Lampung. Banten memberikan advokasi dengan kitab Kuntara Rajaniti, seperti yang diturunkan kepada Keratuan Darah Putih, yang diniatkan untuk masyarakat mulai dari Kalianda, Padang Cermin, Cukuh Balak, hingga Semaka. Sebenarnya para pimpinan adat telah siap mendukung berdirinya Kesultanan Islam Lampung bersama Keratuan Pugung.

Walaupun Kerajaan Tulangbawang telah tidak efektif, di lingkungan masyarakat Pepadun masih banyak persoalan yang harus diselesaikan terlebih dahulu, baik masalah internal maupun eksternal. Secara internal, hingga ketika adat Pepadun dibentuk ternyata masih banyak diantara kelompok itu yang belum menganut Islam, serta belum adanya kecocokan siapa yang ditunjuk sebagai pemimpin. Sedangkan masalah eksternal, kelompok ini terpaksa menyelesaikan sengketa dengan Palembang lebih dahulu (Hilman Hadikusuma). Persoalan demi persoalan datang hingga kelak masuknya bangsa penjajah--lihat Facruddin dalam "Konflik Mengakar Sepanjang Abad" (Lampung Post edisi 19 September 2006).

Piil pesenggiri yang diketemukan dan dihimpun Rizani dalam penyusunan skripsinya di Fakultas Hukum Unila tahun 1966 merupakan hasil proses akulturatif. Unsur-unsurnya selalu berpasangan, juluk berpasangan dengan adek, nemui dengan nyimah, nengah dengan nyappur, sakai dengan sambai. Dua kata yang digabung-gabung itu belum tentu populer di satu tempat secara utuh. Nemui, umpamanya, populer di lingkungan masyarakat Pepadun, tetapi kata simah lebih populer di daerah pesisir. Penggabungan itu bukan tanpa sebab dan makna.

Sebab itu, bila ada kata-kata yang kurang populer di daerah tertentu, jangan serta merta menolak, karena ia populer di daerah lain di Lampung ini. Itu berarti bahasa Lampung, kekayaan Lampung, milik kita bersama.

Saya pernah dikejutkan ketika menghadiri upacara anjau marga di daerah Cukuh Balak, ternyata ada seorang tokoh adat yang berpidato dengan inti pidato: khepot delom mufakat, khopkhama delom bekekhja, tetengah tetanggah, bupudak waya, bupiil bupesenggir.

Berarti di daerah pesisir pun dikenal piil pesenggiri, kendati sedikit berbeda. Tetapi mengapa kita harus sibuk mencari perbedaan, bukankah lebih baik kita mencari persamaan agar kekayaan yang masih terpendam ini dapat digali sebagai sumbangan bagi kemajuan ummat manusia.

Pluralitas komunitas Lampung memiliki kekayaan yang terpendam. Sikap eksklusifivas terhadap piil pesenggiri berarti tidak mengikuti perkembangan terhadap kajian piil pesenggiri itu sendiri.

* Fachruddin, Peneliti Kebudayaan Independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung


Sumber: Lampung Post, Sabtu, 18 November 2006

Thursday, November 16, 2006

Sastra: Sajak sebagai Alat Kontrol Politik

-- Eri Anugerah*

MENDIANG Presiden Amerika Serikat John F Kennedy pernah memberikan analogi tentang politik dan puisi. Apabila politik membengkokkan, sajak meluruskannya.

Dengan kata lain sajak bisa menjadi sebuah alat untuk mengontrol arah politik. Seperti yang dilakukan Asrizal Nur, Tengku Azmun Jaafar, dan Mastur Taher, serta tujuh orang lainnya yang tergabung dalam Yayasan Panggung Melayu, menjadikan puisi sebagai alat kontrol kekuasaan. Terlebih lagi, Tengku Azmun Jaafar dan Mastur Taher adalah politikus. Tengku Azmun ialah Bupati Pelelawan, Riau. Sedangkan Mastur Taher adalah Wakil Bupati Bintan. Asrizal Nur adalah seniman yang pernah dijebloskan ke penjara gara-gara terlibat pementasan drama Marsinah.

Ketiga orang tersebut membuat antologi sajak berjudul Jalan Bersama, yang diluncurkan di Yayasan Panggung Melayu, Beji, Depok, kemarin. Sebagian besar sajak yang diciptakan bertema kritik sosial.

Belum lama ini sajak-sajak tersebut dipentaskan di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki (TIM).

Misalnya sajak karangan Tengku Azmun Jaafar yang sebagian lariknya berbunyi, Elok kain karena benang, bila dicelup amatlah cantik. Elok pemimpin berdada lapang. Seumur hidup berbuat baik.

Demikian juga karya Mastur Taher yang menuliskan sajak berjudul Nur...Nyut...Nyut, yang menggambarkan betapa pusingnya rakyat menghadapi ulah pejabat. Nyut nyut nyut, kepala senut-senut, pikirkan bangsa carut-marut, segala urusan semrawut. Para pemimpin asyik saling sikut, rakyat dibuat pusing kalang kabut, tak paham mana yang mesti diturut.

Sastrawan Taufik Ismail dalam komentarnya berjudul Puisi sebagai Saluran Ekspresi Siapa pun, yang termuat dalam buku antologi tersebut, mengatakan sejak dahulu penyair melalui sajaknya telah menjadi penjaga kerja raja atau pemimpinnya. ''Bila kerjanya bagus, raja berhak mendapat pujian. Bila kerjanya buruk, sajak akan menjadi alat untuk meneriakkan kritikan yang lantang.''

Ketua Yayasan Panggung Melayu Asrizal Nur membenarkan pemikiran Taufik Ismail. ''Kita perlu curiga bahwa di antara penyebab keterpurukan bangsa Indonesia, ialah jauhnya para pemimpin dari seni, termasuk seni sastra. Ketajaman dan kepekaan nurani pemimpin tidak menyentuh rakyatnya,'' ungkapnya.

* Eri Anugerah, wartawan Media Indonesia

Sumber: Media Indonesia, Kamis, 16 November 2006

Wednesday, November 15, 2006

Konferensi Sejarah: Menghapus Jawa-sentris lewat Buku

JAKARTA (Media): Pemerintah akan menerbitkan buku sejarah versi baru tahun depan. Kehadiran buku sejarah tersebut bertujuan melengkapi buku Sejarah Nasional Indonesia yang telah terbit lebih dahulu.

Buku yang diberi judul sementara Indonesia dalam Arus Sejarah terdiri dari delapan bab. Pada bab awal diisi dengan masa prasejarah dan berakhir pada bab delapan, dengan penulisan sejarah Orde Baru dan Reformasi.

Hingga saat ini tim penulis baru menyelesaikan 80% dan masih tersisa satu bab yang belum diselesaikan. ''Bab terakhir tentang masa Orde Baru dan Reformasi belum diselesaikan. Penulisan pada bab tersebut membutuhkan pemikiran yang lebih dalam,'' kata ketua tim penulis buku sejarah itu, Taufik Abdullah, di sela-sela pembukaan Konferensi Sejarawan Indonesia VIII yang berlangsung di Jakarta, kemarin.

Data-data yang telah ada dan pernah ditulis tim penulis sejarah terdahulu tetap digunakan sebagai referensi. ''Kami kira akan terjadi perdebatan untuk mencari kebenaran,'' ujar Taufik.

Kehadiran buku sejarah baru tersebut, kata Taufik, bentuk jawaban kerisauan dari para sejarawan dalam melihat fakta sejarah di Tanah Air. Mereka juga tidak memungkiri bahwa kehadiran buku Sejarah Nasional Indonesia sebanyak enam jilid, telah diterbitkan pada 1976, sangat kental dengan nuansa politis. Menurut kalangan sejarawan, Sejarah Nasional Indonesia lebih tepat sebagai sejarah penguasa Jawa.

''Bisa dikatakan Sejarah Nasional Indonesia lebih banyak tentang sejarah di Pulau Jawa atau Jawa-sentris. Sedangkan buku sejarah yang baru lebih variatif. Seluruh peristiwa sejarah baik di Jawa maupun luar Jawa dijelaskan dengan lebih dalam,'' kata Taufik yang juga menjadi editor umum bersama sejarawan AB Lapian.

Kelebihan lain buku tersebut penjelasan lebih komplet dalam sebuah peristiwa. Taufik memberikan contoh buku sejarah sebelumnya hanya menjelaskan peristiwa perang dilengkapi dengan tempat dan siapa pemimpinnya. Dalam buku terbaru, sebuah peristiwa perang bisa dijabarkan lebih dalam. ''Misalnya dari mana dana yang diperoleh kerajaan itu untuk mendanai perang,'' jelasnya.

Dengan hadirnya buku baru tersebut, tidak serta-merta buku sejarah yang sudah ada ditarik dari peredaran. Menurutnya, buku sejarah edisi terbaru bukanlah kebenaran tunggal. ''Dan tugas sejarawan hanya memberikan temuan-temuan sejarah baru. Kita tidak bisa menarik buku sejarah lama. Toh, buku ini bisa saja berubah kalau di kemudian hari ditemukan lagi hal-hal baru,'' ia menegaskan.

Dalam kesempatan sama mantan Dirjen Kebudayaan Edy Sedyawati mendukung kehadiran buku sejarah baru tersebut. ''Sudah waktunya Indonesia memiliki acuan sejarah yang lengkap dan benar.''

Sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka konferensi meminta agar para sejarawan dalam menulis babad Tanah Air harus netral dan bisa dipertanggungjawabkan. (Eri/Rdn/H-4).

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 15 November 2006

Sunday, November 12, 2006

Esai: 'Puzzle' Bernama Piil Pesenggiri

-- Firdaus Augustian*

Kebudayaan merupakan way of life, petunjuk bagi tindakan dan tingkah laku manusia, sebuah ekspresi nilai-nilai dan cita-cita. Sebuah kebudayaan mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial. Kebudayaan berada di belakang sikap dan tingkah laku lahiriah masyarakat yang secara eksklusif share a different tradition (AL Kroeber & Clyde Klukhon, 1952).

Rizani Puspawijaya menyatakan pemahaman utuh terhadap tatanan moral suatu masyarakat perlu dilakukan, sehingga penafsiran yang keliru dan negatif dapat dihindarkan. Agar tatanan moral dapat dipahami secara utuh dan memadai, tatanan moral perlu diketahui secara proporsional.

Tatanan moral masyarakat Lampung yang merupakan pedoman perilaku budaya yang luhur terbangun dalam sebuah sistem yang selama ini kita kenal sebagai piil pesenggiri. Tatanan moral yang terbangun dalam sistem dan prinsip piil pesenggiri sejak 1970-an menjadi wacana di kalangan elite Lampung, mulai dari H. Zainal Abidin Pagar Alam, R. Sutiyoso, Yasir Hadibroto, Pudjono Pranyoto, Oemarsono, Sjachroedin, barangkali secara substantif telah dibicarakan juga oleh Kusno Dhanupoyo.

Pembicaraan ini bunga-bunga pemikiran yang meluncur dan mengalir bagai air sebagai pesan moral pemimpin-pemimpin lain di Lampung. Buat siapa pun di antara kita sebagai orang Lampung, baik dari masyarakat Pepadun maupun Pesisir (Sai Batin) istilah piil pesenggiri sangat akrab dan melekat. Pemahaman kita terhadap piil pesenggiri, dengan sama sekali tidak pernah memikirkan mempersoalkan apakah prinsip ini, ada atau tidak pada masyarakat lain.

Piil pesenggiri menurut Rizani Puspawijaya merupakan suatu keutuhan dari unsur yang mencakup juluk adek, nemui nyimah, nengah nyappur, sakai sembayan. Barangkali perlu kita cermati secara jujur, terminologi sakai sambayan sebagai sebuah kosakata tidak dikenal masyarakat Lampung Pesisir, ini dikemukakan kepada saya oleh beberapa pemuka adat Sai Batin, termasuk Pangeran Bandar Marga (Gedong Pakuan), Radin Jaksa (Padang Cermin), Batin Kesuma Ningrat/H. Irfan Anshory (Suka Banjar, Talangpadang).

Tetapi substansi sakai sambayan sebagaimana pada masyarakat tradisional lain juga dikenal pada masyarakat Lampung Pesisir (Sai Batin). Sakai sambayan suatu sikap tolong-menolong dan gotong royong, memahami makna kebersamaan, hakikatnya merefleksikan partisipasi, dan solidaritas yang tinggi terhadap lingkungan. Semangat semacam ini bukan hanya ada pada masyarakat Lampung, juga ada pada masyarakat tradisional lain.

Sebuah orasi kebudayaan yang disampaikan Mochtar Lubis (1977) membedah tentang manusia Indonesia, rasanya merupakan puncak otokritik terhadap manusia Indonesia yang selama ini dianggap berkebudayaan luhur dengan peninggalan kebudayaannya Borobudur, Mataram, Sriwidjaya, Majapahit, dan sebagainya.

Faktanya kita pernah dijajah 200 tahun oleh VOC, sebuah badan usaha yang didirikan di Kerajaan Belanda, dijajah hampir 150 tahun oleh Kerajaan Belanda, dan 3,5 tahun oleh Kekaisaran Jepang. Kemerdekaan 17 Agustus 1945, naskah Proklamasi dirancang secara damai dengan perlindungan dan jaminan keamanan Laksamana Muda Tadashi Maeda setelah mendapat briefing kemerdekaan dari Marsekal Terauchi, Komandon Komandon Angkatan Darat wilayah Asia Selatan di Dalat (Saigon) pada 14 Agustus 1945 (Mr. Ahmad Subardjo Djojoadisurjo, 1978).

Tentunya saya belum mempunyai kemampuan otokritik terhadap piil pesenggiri seperti Mochtar Lubis. Piil pesenggiri bersifat universal pada semua masyarakat kebudayaan tradisional. Pastinya piil pesenggiri sebagai tatanan moral masyarakat Lampung tidak bersifat execlusiv exclusive share a different tradition.

Sulit mencari sifat/sistem tatanan moral yang genuine pada kebudayaan-kebudayaan yang ada, karena pada dasarnya antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lain terjadi proses akulturasi, intervensi, dan interdependensi. Dengan meminjam pemikiran Rizani, kita setuju piil pesenggiri merupakan tatanan moral, yang menjadi motivasi masyarakat Lampung untuk mempertahankan eksistensinya.

Tetapi kita harus menyadari bahwa tatanan moral semacam ini ada juga pada kebudayaan lain, khususnya pada masyarakat tradisional. Kebudayaan Madura, secara jernih diuraikan Dr. A Latief Wiyata (2002). Ada dua hal yang melekat menjadi stereotipe orang Madura: NU dan carok. Latief Wijaya mengungkapkan simbolis carok dalam konteks budaya Madura. Carok adalah suatu kekerasan yang memiliki latar dan pesan kultural sekaligus merupakan tatanan moral untuk mempertahankan harga diri, nama baik, solidaritas keluarga, dan kebersamaan. Apabila ada pihak lain yang mengganggu dan merusak norma-norma ini, carok adalah langkah yang dipilih untuk mempertahankan dan menjaga nilai-nilai di atas.

Rasanya terlalu berlebihan kalau kita mengatakan tatanan moral piil pesenggiri yang merupakan inspirasi dan motivasi berpikir dan bersikap masyarakat Lampung, hanya dikenal masyarakat Lampung. Kebudayaan lain pun apalagi pada masyarakat tradisional amat akrab terhadap tatanan moral ini. Bahkan, tatanan moral ini telah built in dalam kehidupan mereka.

Mungkin dapat direnungkan pesan seorang teman saya, yang pada Oktober 2006 lalu dilantik menjadi duta besar RI di Utara Eropa, ulun lappung asli. Apak indukni lappung berpesan pada saya saat bersama-sama mengikuti Spamen 1997, mempertanyakan masih relevankah kalau kita bicara tentang piil pesenggiri seolah-olah kebudayaan lain tidak mengenal piil pesenggiri.

Lebih mendasar lagi pertanyaannya: Kiay, pagun tepatkah kham bicara kebudayaan lokal dilom konstruksi pengaruh kebudayaan regional dan global, mampukah kham dilom tantangan global mempertahankan eksistensi lokal, sai hanya merupakan pernik-pernik. Secara mengejutkan dia mengemukakan begitu banyak Kebudayaan besar dunia di dalam sejarah kemanusiaan, menjadi punah dan sirna, seperti kebudayaan Yunani, Romania, Assiria, Mesir, Inca, karena bersifat eksklusif, selalu merasa besar. Sementara kita asyik dengan puzzle dan scrabble yang berlabel piil pesenggiri. Tabik mahap dikuti rumpok pun.

* Firdaus Augustian, pemerhati budaya

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 11 November 2006

Friday, November 03, 2006

Nuansa: Segalanya Lebar...

-- Udo Z. Karzi


SEGALA rindu dendam telah terlampiaskan. Segala noda dosa telah disucikan. Segala tenaga dan pikiran telah tercurahkan. Segala dana yang dikumpulkan setahun terkuras habis. Semuanya: Lebar. Bubar! Tak ada lagi yang tersisa.

Logika ekonomi mikro mengatakan kerugian besar bagi rumah tangga konsumsi. Belum lagi rintangan yang mengancam sepanjang perjalanan. Antre, berdesak-desakan, berjejal, tidak dapat karcis, dikerjai calo, tidak dapat bangku, dan terpaksa berdiri dalam kendaraan. Ada lagi yang tertipu, ditelantarkan angkutan, dicopet, dirampok, dan kecelakaan.

Mengingat itu, ada pikiran untuk melarang mudik. Tapi jelas itu tak mungkin. Pemudik mempunyai hitungan sendiri. Mudik bukan sekadar buang-buang duit. Meskipun risiko mengadang di sepanjang perjalanan para pemudik, mudik menjadi sebuah seni tersendiri. Boleh jadi inilah bentuk wisata rakyat Indonesia.

Pakar ekonomi mempunyai perhitungan tersendiri tentang mudik. Mereka bilang tradisi mudik membantu pemerataan perputaran uang dari kota ke desa. Jika selama ini perputaran uang tersentral di perkotaan, dengan mudik sirkulasi uang sedikit banyak mengalir ke perdesaan. Ini karena para pemudik biasanya ingin menunjukkan keberhasilannya di kota dengan menunjukkan diri mereka mampu.

Kendati kebiasaan menghamburkan uang yang ditunjukkan pemudik kepada orang desa kurang begitu baik, setidaknya orang-orang desa kebagian juga rezeki dari perilaku konsumerisme ini. Yang ditakutkan memang adalah sikap ini menular kepada orang desa dan menganggap kota sebagai pusat keberhasilan.

Mudik itu tradisi. Tradisi baik atau tradisi buruk sangat tergantung pada orang yang memaknainya. Ada orang yang mendendangkan nikmatnya pulang kampung. Menatap panorama sepanjang perjalanan. Melihat perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi. Menengok kemajuan zaman yang bergerak. Kembali mengenang jalan-jalan yang pernah kita lalui. Mengingat pahit dan getirnya kehidupan. Merasakan kembali bahagia dan gembira yang sempat kita lewati.

Orang tua akan berkata, "Lebaran kali ini sepi" jika anak, mantu dan cucu tidak ada yang pulang kampung. Tak peduli pasar bertambah ramai atau acara halalbihalal di sebelah rumahnya yang berlangsung meriah. Boleh jadi anak akan berkirim surat, kartu lebaran, telegram, atau apa pun ditambah sedikit kiriman uang dan barang. Tapi tetap saja, kehadiran benda-benda itu bagi orang tua tak berarti banyak. Lebaran tetap saja sepi.

Kalau Lebaran saja tak bisa pulang ke kampung, apalagi hari-hari biasa yang penuh dengan kesibukan. Lagi pula, pulang Lebaran dan pulang bukan Lebaran jelas berbeda hakikatnya. Lebaran itu momentum untuk mudik.

Sudah tradisi! Mau apa lagi? Tahun depan kita mudik lagi.

Tinggallah kita yang menghitung-hitung kembali berbagai kemungkinan. Soalnya, segalanya sudah lebar di Lebaran kali ini.

Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 November 2006

Esai: Hukum Adat dalam Hukum Islam

-- Fachruddin*


ISLAM adalah agama samawi atau agama wahyu. Dasar-dasar hukum Islam adalah Alquran sebagai kitab yang berisikan wahyu-wahyu yang telah diterima Nabi Muhammad saw. Dasar hukum yang kedua adalah apa-apa yang telah dilakukan, diucapkan, dan disetujui Rasul sebagai contoh untuk melakukan Alquran tersebut, yang selanjutnya disebut hadit. Dasar hukum ketiga adalah ijmak dan kias. Keduanya baru dilakukan manakala ada keharusan penetapan hukum sementara tidak ditemukan aturannya baik dalam Alquran ataupun hadit.

Walaupun begitu, hukum Islam mengenal dan membenarkan hukum adat. Para ahli usul fikih menerima adat yang dalam bahasa fikih disebut dengan urf dengan batasan sebagai sesuatu yang dilakukan atau diucapkan berulang-ulang oleh banyak orang, sehingga dianggap baik dan diterima jiwa dan akal yang sehat. Dalam hal akidah dan ibadah urf tak lazim digunakan, sementara para ahli usul fikih yang menerima cenderung untuk membatasinya dalam masalah masalah muamalah.

Muamalah adalah bagian dari hukum Islam yang menetapkan hukum tentang hubungan seseorang dengan orang lain, baik secara pribadi maupun berbentuk badan hukum. Dalam istilah fikih disebut al-syakhsiyyah al-itibariyyah. Muamalah meliputi jual beli, sewa menyewa, dan perserikatan.

Memang ada perbedaan prinsip antara akidah dan muamalah. Dalam akidah, semua akan dilarang kecuali hal yang diperintahkan. Sedangkan dalam muamalah semuanya boleh kecuali hal yang dilarang. Dengan demikian, dalam hal hukum muamalah, menerima hukum adat adalah sesuatu yang legal.

Ada dua alasan mengapa hukum adat dapat diterima dalam hukum Islam dalam menentukan status hukun atas sesuatu. Pertama, sebuah hadis yang mengatakan, "Sesungguhnya yang dianggap ummat Islam baik, maka di sisi Allah juga akan dianggap baik". Kedua, dalil, "Jadilah engkau sebagai orang yang pemaaf dan suruhlah orang yang melakukan kebaikan (makruf) sebagai penguat untuk menjadikan adat (urf).

Sebagai salah satu dalil hukum (dalam Islam), Islam membagi hukum adat jadi dua bagian. Pertama, urf sahih, yaitu hukum adat yang tidak bertentangan dengan Alquran dan sunah (hadis), tidak menghalalkan yang haram, dan tidak mengharamkan yang halal. Umpama sesan dalam adat perkawinan di Lampung, tetapi bukan bagian dari mahar melainkan hadiah untuk memuliakan.

Kedua, urf fasid (ditolak syara) karena menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal. Umpama menghalalkan riba atau khamar (minuman keras) pada waktu waktu tertentu.

Hukum adat atau urf sahih dalam Islam dapat dibagi dua: (1) urf yakni hukum adat yang berlaku di berbagai tempat, dan (2) urf khass yakni hukum adat yang berlaku di tempat tertentu. Baik amm ataupun khass dapat dijadikan hukum Islam sejauh hanya meliputi muamalah dan tidak bertentangan dengan hukum Islam yang berdasarkan Alquran dan sunah. Para ulama fikih menyepakati hukum adat sebagai dalil penetapan hukum Islam. Bagi Imam Hanafi, jika urf amm bertentangan dengan kias, ia akan memilih urf amm. Sementara Imam Maliki menggunakan hukum adat sebagai dalil dalam menetapkan hukum dengan rumus al-maslahah al-mursalah (masalah yang tidak didukung dan tidak pula ditolak oleh nas).

Dengan demikian, dalam menetapkan hukum Islam hukum adat dapat dijadikan latar hukum Islam. Para pelaku penetap hukum Islam (mujtahid) harus mempertimbangkan hukum adat dalam menetapkan hukum Islam seperti kesepakatan ahli hukum Islam (fukaha) yang menetapkan rumus dalam ilmu fikih addah muhakkamah (hukum adat dapat dijadikan landasan hukum Islam), dan juga rumus lain al-maruf urfan ka al-masyrut syartan (yang baik itu menjadi kebiasaan, sama halnya dengan yang disyaratkan menjadi syarat).

Rumus-rumus tersebut barangkali yang digunakan para Walisongo dalam menetapkan ajaran-ajarannya di Indonesia, sehingga dakwah saat itu lancar adanya. Kebiasaan lama menyangkut masalah tradisi masyarakat yang penganut Hindu dan animisme sebagian masih dipertahankan. Sayang, Walisongo belum tuntas bekerja, banyak akidah yang masih tercampur- baur sementara tantangan internal dan eksternal semakin bertumpuk, sedangkan kerajaan semakin melemah. Hal tersebut kiranya menjadi PR bagi kita semua.

Sayang pula ahli hukum Islam saat ini mengalami stagnan. Demikian banyak sebetulnya bidang garapan kasus hukum di Lampung yang membutuhkan hukum Islam dan hukum adat.

* Fachruddin, Peneliti kebudayaan independen, PNS pada UPTD BPKB Dinas Pendidikan Provinsi Lampung


Sumber: Lampung Post, Jumat, 3 November 2006