Wednesday, November 15, 2006

Konferensi Sejarah: Menghapus Jawa-sentris lewat Buku

JAKARTA (Media): Pemerintah akan menerbitkan buku sejarah versi baru tahun depan. Kehadiran buku sejarah tersebut bertujuan melengkapi buku Sejarah Nasional Indonesia yang telah terbit lebih dahulu.

Buku yang diberi judul sementara Indonesia dalam Arus Sejarah terdiri dari delapan bab. Pada bab awal diisi dengan masa prasejarah dan berakhir pada bab delapan, dengan penulisan sejarah Orde Baru dan Reformasi.

Hingga saat ini tim penulis baru menyelesaikan 80% dan masih tersisa satu bab yang belum diselesaikan. ''Bab terakhir tentang masa Orde Baru dan Reformasi belum diselesaikan. Penulisan pada bab tersebut membutuhkan pemikiran yang lebih dalam,'' kata ketua tim penulis buku sejarah itu, Taufik Abdullah, di sela-sela pembukaan Konferensi Sejarawan Indonesia VIII yang berlangsung di Jakarta, kemarin.

Data-data yang telah ada dan pernah ditulis tim penulis sejarah terdahulu tetap digunakan sebagai referensi. ''Kami kira akan terjadi perdebatan untuk mencari kebenaran,'' ujar Taufik.

Kehadiran buku sejarah baru tersebut, kata Taufik, bentuk jawaban kerisauan dari para sejarawan dalam melihat fakta sejarah di Tanah Air. Mereka juga tidak memungkiri bahwa kehadiran buku Sejarah Nasional Indonesia sebanyak enam jilid, telah diterbitkan pada 1976, sangat kental dengan nuansa politis. Menurut kalangan sejarawan, Sejarah Nasional Indonesia lebih tepat sebagai sejarah penguasa Jawa.

''Bisa dikatakan Sejarah Nasional Indonesia lebih banyak tentang sejarah di Pulau Jawa atau Jawa-sentris. Sedangkan buku sejarah yang baru lebih variatif. Seluruh peristiwa sejarah baik di Jawa maupun luar Jawa dijelaskan dengan lebih dalam,'' kata Taufik yang juga menjadi editor umum bersama sejarawan AB Lapian.

Kelebihan lain buku tersebut penjelasan lebih komplet dalam sebuah peristiwa. Taufik memberikan contoh buku sejarah sebelumnya hanya menjelaskan peristiwa perang dilengkapi dengan tempat dan siapa pemimpinnya. Dalam buku terbaru, sebuah peristiwa perang bisa dijabarkan lebih dalam. ''Misalnya dari mana dana yang diperoleh kerajaan itu untuk mendanai perang,'' jelasnya.

Dengan hadirnya buku baru tersebut, tidak serta-merta buku sejarah yang sudah ada ditarik dari peredaran. Menurutnya, buku sejarah edisi terbaru bukanlah kebenaran tunggal. ''Dan tugas sejarawan hanya memberikan temuan-temuan sejarah baru. Kita tidak bisa menarik buku sejarah lama. Toh, buku ini bisa saja berubah kalau di kemudian hari ditemukan lagi hal-hal baru,'' ia menegaskan.

Dalam kesempatan sama mantan Dirjen Kebudayaan Edy Sedyawati mendukung kehadiran buku sejarah baru tersebut. ''Sudah waktunya Indonesia memiliki acuan sejarah yang lengkap dan benar.''

Sebelumnya Wakil Presiden Jusuf Kalla saat membuka konferensi meminta agar para sejarawan dalam menulis babad Tanah Air harus netral dan bisa dipertanggungjawabkan. (Eri/Rdn/H-4).

Sumber: Media Indonesia, Rabu, 15 November 2006

No comments: